Salah satu cerpen terkenal, ditulis oleh almarhum Haji Ali Akbar Navis berjudul “Robohnya Surau Kami” (diterbitkan pertama kali tahun 1955). Cerpen ini telah dicetak puluhan kali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Jepang. Cerpen ini berisi kritik sosial yang tajam untuk meninjau ulang peran agama dalam masyarakat. Cerpen ini dinilai sangat berani. Kisah di dalamnya, menjungkirbalikkan pemikiran orang-orang awam pada umumnya, yaitu dikisahkan seorang “alim” yang justru dimasukkan Tuhan ke dalam neraka. Dengan kealimannya, orang itu justu melalaikan pekerjaan dan tanggung jawab sosialnya di dunia, secara khusus mengabaikan keluarganya sendiri, dan tetap rela menjadi orang miskin.
“Robohnya Surau Kami.” Judul yang dimaksudkan oleh Navis di sini, bukanlah dalam pengertian “robohnya bangunan secara fisik”, tetapi “robohnya tata nilai dalam masyarakat”, khususnya berkaitan dengan praksis hidup keberagamaan. “Surau” dalam judul cerpen itu, merupakan lambang (metafora) dari “kesalehan”. Dalam lingkungan dan tradisi Minangkabau, tempat Navis dilahirkan, surau memiliki peranan yang signifikan, sebagai tempat melakukan kegiatan keagamaan secara luas, seperti mengaji Al-Qur’an, belajar agama, kegiatan ritual-seremonial, bahkan dijadikan tempat menginap bagi musafir, tempat berkumpul, dan tempat rapat desa. Konsep “kesalehan” yang ditekankan oleh Navis dalam cerpen itu, bukanlah kesalehan ritual-seremonial agama (mengaji, shalat, puasa, naik haji), melainkan kesalehan dalam aspek yang lebih luas dan holistik, yaitu “kesalehan sosial” (seperti bekerja dengan tekun pada jalan yang benar, mengolah hasil bumi atau kekayaan alam, berbelas kasihan, memedulikan dan melayani sesama).
Dalam cerpen ini, dikisahkan ketika di akhirat, orang-orang yang sudah meninggal sedang antre menunggu penghakiman terakhir dari Tuhan, apakah mereka akan masuk surga atau neraka. Tibalah giliran, Haji Saleh, seorang yang taat beribadah semasa hidupnya. Ketika menghadap Tuhan, Haji Saleh tersenyum, karena dia sangat yakin pasti masuk surga.
Tuhan bertanya kepada Haji Saleh: “Apa kerjamu semasa di dunia?” Haji Saleh menjawab dengan yakin: “Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsyafkan umat-Mu.”
Namun, tidak disangka-sangka, Haji Saleh dibuang ke neraka oleh Tuhan. Oleh karena heran dan merasa tidak dapat menerima keputusan itu, akhirnya Saleh mengumpulkan beberapa kenalannya yang dulu taat beribadat ketika di dunia, tetapi juga dibuang ke neraka. Mereka bersama-sama pergi menghadap Tuhan sekali lagi, berdemonstrasi, memprotes keputusan-Nya yang mereka anggap keliru. Lalu terjadilah dialog antara Tuhan dengan mereka.
Tuhan: “Kalian di dunia tinggal di mana?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia”.
Tuhan: “O, di negeri yang tanahnya subur itu, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam? Negeri yang tambangnya kaya-raya itu, tetapi penduduknya banyak melarat, bukan? Negeri yang selalu kacau karena kalian suka berkelahi, sedangkan kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Benar, benar, Tuhan. Tapi kami tak mau tahu dengan kekayaan alam itu, yang penting bagi kami adalah menyembah dan memuji-Mu.”
Tuhan: “Kalian rela tetap melarat, bukan? Bahkan karena kerelaan kalian itu, anak cucu kalian juga ikut melarat, bukan?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Benar, kami rela sekali, Tuhanku. Walaupun anak cucu kami juga melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.”
Tuhan: “Tapi seperti kalian juga, apa yang disebutnya [ajaran agama] tidak dimasukkan ke dalam hatinya, bukan?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Ada, yang masuk ke dalam hati, Tuhanku.”
Tuhan: “Kalau ada yang masuk di hati, mengapa kalian membiarkan diri tetap melarat, sehingga anak-cucu kalian teraniaya, dan membiarkan kekayaan alam sendiri diambil orang lain untuk anak-cucu mereka? Mengapa kalian lebih suka saling menipu dan memeras? Aku beri kalian negeri yang kaya-raya, namun kalian malas dan tidak suka bekerja keras. Kalian lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Kalian kira Aku ini suka pujian, mabuk disembah, hingga kerja kalian cuma memuji-muji dan menyembah Aku saja? Tidak. Kalian semua harus masuk neraka!”
Mendengar hal itu, semua pucat pasi dan terdiam. Kini tahulah mereka apa yang sebenarnya diridhai atau diperkenan oleh Allah di dunia. Namun, Haji Saleh masih penasaran, tetapi dia tidak berani bertanya kepada Tuhan. Akhirnya, Haji Saleh bertanya kepada malaikat yang menggiring mereka: “Menurut pendapatmu, salahkah jika kami menyembah Tuhan di dunia?”
Lalu malaikat itu menjawab: “Tidak salah. Tetapi engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Engkau takut masuk neraka, karena itu engkau taat bersembahyang. Tetapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak-istrimu sendiri, sehingga mereka itu kocar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egois. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tetapi engkau tidak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Dalam cerpen ini, Navis menggugat konsep “kesalehan” yang sempit dalam beragama, yaitu kesalehan yang hanya berhenti pada tataran individual-ritual dan hanya sebatas penentu identitas kelompok agama. Dia mengangkat pentingnya dimensi sosial-horizontal dari hidup beragama, yaitu “kesalehan sosial” yang berorientasi pada kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Cerpen ini ditulis oleh A.A. Navis, seorang sastrawan besar yang beragama Islam. Dalam cerpen itu, Navis seolah-olah berasumsi bahwa “kesalehan sosial” menjadi tolak ukur penghakiman di akhirat. Ditinjau dari perspektif iman Kristen, saya mengimani dan mengamini bahwa keselamatan adalah semata-mata anugerah Allah yang didasarkan pada karya Yesus Kristus, bukan didasarkan pada perbuatan kesalehan manusia. Namun, saya percaya bahwa iman kepada Yesus Kristus bukan semata-mata bersifat individual-vertikal, tetapi juga memiliki dimensi sosial-horizontal. Kasih kepada Tuhan diwujudnyatakan melalui kasih dan kepedulian kepada sesama dan dunia ciptaan Tuhan. Disinilah letak kesamaan keprihatinan Navis dan saya terhadap kondisi keberagamaan di Indonesia, yaitu orang yang mengaku dirinya beragama, tetapi kehilangan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Seolah-olah beragama menjadi wilayah yang sangat privat, yang tidak lagi bersentuhan dengan ruang publik. Motivasi beragama pun menjadi individualistis-egosentris. Ternyata ada begitu banyak motivasi yang keliru dari orang beragama dan rajin bersembahyang. Misalnya, karena takut dihukum Tuhan, takut masuk neraka, mengejar berkat materi seolah-olah Tuhan bisa “disogok” dengan pemberian manusia, bersembahyang untuk menghindari tekanan sosial dari masyarakat, untuk mencari penghargaan dan pujian yang semu dari manusia supaya dilihat lebih religius dari orang lain, dan sebagainya. Semua motivasi itu jika ditelusuri ke akarnya, sebenarnya bermuara pada kepentingan diri sendiri (egoisme), bukan dimotivasi oleh kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama. Seolah-olah Tuhan dapat “diperalat” untuk memuaskan keinginan manusia. Dengan demikian, relasi antara manusia dengan Tuhan seperti seorang anak kecil yang taat kepada orang tuanya dengan tujuan untuk memperoleh hadiah yang diinginkannya. Ada ubi, ada talas; ada budi, ada balas.
Selanjutnya, aspek yang akan datang (urusan masuk surga atau neraka) terlalu diberi penekanan yang berlebihan, sementara aspek kekinian yang sedang dijalani umat di dunia ini, tidak diberi perhatian secara tepat. Orang berlomba-lomba dengan penuh antusias ingin masuk surga dan berduyun-duyun menaikkan doa meminta berkat Tuhan bagi bangsa Indonesia. Namun sayangnya, tidak berlomba-lomba untuk memerangi keegoisan diri sendiri, tidak suka bekerja keras, tidak suka taat hukum, dan hidup tidak berdisiplin.
Keberagamaan di Indonesia mengalami keadaan yang memilukan, yaitu bangkrutnya kesalehan sosial, seolah-olah agama kehilangan perannya di tengah-tengah masyarakat. Apakah “agama” yang salah? Tidak! Kesalahan tentu bukan terletak pada agama itu sendiri, tetapi pada para pemeluknya.
Hasil survei pelaku bisnis yang dirilis pada hari Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Padahal bangsa Indonesia dikenal sebagai “bangsa yang religius” yang didirikan di atas dasar nilai-nilai luhur Pancasila. Korupsi di negara ini justru dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu malu mengaku dirinya sebagai orang beragama. Sambil beribadat, sambil terus melakukan korupsi. Dengan hasil korupsi mereka menafkahi keluarganya, jalan-jalan ke luar negeri, menyuap jaksa dan hakim yang seharusnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran, bahkan mungkin hasil korupsi itu sebagian diberikan ke rumah ibadat, untuk beramal dan bersedekah. Korupsi telah menjadi “dosa kolektif” yang membudaya dalam masyarakat kita. Dalam budaya korupsi, maka tindakan korupsi bukan lagi dianggap sebagai hal yang memalukan.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 1 Januari sampai 30 Juni 2009, kasus korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian negara sebesar 1,17 triliun rupiah. Sedangkan dari 1 Januari sampai 30 Juni 2010, kasus korupsi yang terungkap malah meningkat drastis menjadi 176 kasus dengan tersangka 441 orang dan kerugian negara senilai 2,1 triliun rupiah (Subhan S.D., “Gagalnya Transformasi Nilai-Nilai”, Kompas, 10 Agustus 2010). Menurut ICW, pada periode Januari – Juni 2010 itu, aktor utama korupsi adalah kaum eksekutif, yaitu 280 pejabat dari berbagai tingkatan (63, 49%). Disusul oleh pihak swasta sebanyak 85 orang (19,27%), kemudian anggota Dewan sebanyak 52 orang (11,79%) menjadi tersangka korupsi (Ahmad Arif, “Korupsi Kemanusiaan, Kemanusiaan Yang Terkorupsi”, Kompas, 11 Agustus 2010).
Praktik korupsi sebenarnya bukan hanya menimbulkan kerugian secara material bagi negara dan memukul sendi-sendi ekonomi bangsa, tetapi juga menjatuhkan harkat-martabat manusia sebagai gambar Allah yang seharusnya menjadi tuan dan penatalayan atas harta/uang, dan bukan sebagai budak harta/uang. Korupsi merusak moralitas bangsa dan menghambat terwujudnya keadilan sosial. Itulah sebabnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengategorikan praktik korupsi sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bukan hanya korupsi yang merajalela, tetapi kekerasan antarumat beragama pun seringkali masih terjadi, sebuah “pekerjaan rumah” bagi pemerintah yang sepertinya tidak kunjung usai. Kita masih sering menyaksikan berbagai peristiwa penutupan rumah-rumah ibadah secara paksa dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai hidup beragama. Bahkan yang menyedihkan adalah kekerasan antarsesama itu dilakukan atas nama agama, seolah-olah agama melegitimasi tindakan kekerasan itu. Hal ini diperkuat dengan laporan akhir tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Moderate Muslim Society (MMS), terdapat 81 kasus intoleransi pada tahun 2010, diantaranya ada 33 aksi intoleransi yang dialami umat Kristen dan 25 aksi intoleransi yang dialami pengikut Ahmadiyah (Hasibullah Satrawi, “Mengenang Sang Pelindung Minoritas”, Kompas, 31 Desember 2010).
Munculnya Perda-Perda Syariah dan Perda Injil yang diterapkan di wilayah tertentu di Indonesia, menunjukkan belum tuntasnya pemahaman dan implementasi mengenai hubungan antara agama dan negara. Padahal sejak awal berdirinya, negara Indonesia dibangun berdasarkan realitas kemajemukan yang diyakini sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga dinodai dengan merebaknya konsep “mayoritas dan minoritas” yang diimplementasikan dalam hubungan antarumat beragama yang rentan menimbulkan konflik sosial. Ada anggapan, minoritas harus selalu mengalah terhadap arogansi dan kekuasaan mayoritas.
Semua fakta di atas menunjukkan terjadinya krisis kesalehan sosial kita. Ternyata euforia hidup keberagamaan di Indonesia yang ditandai dengan meriahnya upacara keagamaan dan makin maraknya pendirian rumah-rumah ibadah, tidak serta-merta mendorong lajunya kesalehan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Mengapa dalam konteks negara kita, seakan-akan tidak ada korelasi antara religiositas dan kesalehan sosial? Dimanakah dampak pesan-pesan agama selama ini yang menebarkan keadilan, kebenaran, kebaikan, kejujuran, dan kasih kepada sesama manusia? Dimanakah peran agama dalam mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik?
Saya menyadari, tidak ada jalan pintas untuk membentuk kesalehan sosial dalam masyarakat kita. Hal ini adalah sebuah proses panjang yang tidak mudah. Namun demikian, ada beberapa langkah mendasar yang dapat kita lakukan untuk mendorong lajunya kesalehan sosial. Pertama, kesalehan sosial harus dimulai dari keteladanan diri sendiri, terutama dimulai dari keteladanan para pemimpin negara dan pemimpin agama (rohaniwan). Pembentukan kesalehan sosial mensyaratkan sebuah keteladanan hidup. Masalahnya adalah masyarakat Indonesia “kehilangan” tokoh teladan. Alangkah ironisnya, jika seorang pejabat negara meminta rakyat untuk mencintai negara ini, tetapi dia sendiri mencuri uang negara. Seorang pendeta mengkhotbahi umat supaya saling menghargai, namun ia sendiri iri hati dan berusaha menjegal rekan pelayanannya. Benarlah apa yang pernah dinyatakan oleh Leo Tolstoy, “Banyak orang yang berambisi ingin mengubah dunia, tetapi terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri”. Kedua, pemerintah perlu menciptakan sistem dan iklim kehidupan bernegara yang mendorong lajunya kesalehan sosial melalui perlindungan dan penegakan hukum bagi setiap warganegaranya tanpa pandang bulu. Semboyan “fiat justitia ruat caelum” (tegakkan hukum walaupun langit harus runtuh) harus direalisasikan secara konkret oleh Pemerintah. Maraknya mafia hukum dan peradilan di Indonesia telah melukai hati seluruh rakyat yang merindukan tegaknya keadilan dan kebenaran. Ketiga, pesan-pesan keagamaan yang disampaikan oleh para rohaniwan harus mampu mengintegrasikan kesalehan individual dengan kesalehan sosial. Para pemimpin agama harus mendorong umatnya untuk tidak terkungkung dalam fanatisme identitas kelompoknya, tetapi berjuang untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bersama. Kita patut belajar meneladani Gus Dur, dalam hal kemampuannya untuk memadukan dan menyelaraskan nilai-nilai luhur agama dengan nilai-nilai kebangsaan. (Binsar)