Monday, September 02, 2013

PENGAMPUNAN

Berikut ini adalah naskah khotbah yang pernah saya sampaikan di sebuah gereja. Khotbah ini mengenai pengampunan, sebuah hal yang mungkin sulit untuk kita lakukan tapi harus terus kita lakukan dan pelajari sepanjang hidup kita.


Efesus 4:31 (TB LAI)  Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan.

Efesus 4:32  Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.

 

4:31 Segala kepahitan, amarah, dendam, kebencian, dan fitnah, buanglah dari antara kamu, demikian juga segala bentuk sikap yang melukai perasaan orang lain.

4:32 Sebaliknya, hendaklah kamu baik hati, penuh belas kasihan, dan saling mengampuni seorang terhadap yang lain, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.

       Semua bentuk sikap yang dinyatakan dalam ayat 31, kebencian, kepahitan, fitnah, kemarahan yang tidak terkontrol, semua itu merusak relasi, merusak hubungan antar manusia. Semua itu menimbulkan luka di dalam hati orang lain.

Dalam surat 1 Yohanes 3:15 dikatakan, “Setiap orang yang membenci saudaranya adalah seorang pembunuh manusia”. Yesus dalam Khotbah di Bukit, dalam Matius 5:21-22 juga menegaskan hal yang sama, waspadalah dengan pembunuhan yang kita lakukan di dalam hati.

“Membunuh” bukan hanya berarti kita membunuh orang secara fisik, mengambil nyawa orang lain. Kita bisa juga melakukan pembunuhan di dalam hati, pembunuhan di dalam pikiran, yaitu ketika kita membenci orang yang seharusnya kita kasihi. Kebencian yang menyala, dendam, kepahitan, kedengkian, dan kemarahan yang tidak terkendali terhadap sesama adalah bentuk-bentuk pembunuhan di dalam hati. Kita dapat membunuh perasaan orang lain melalui caci maki, penghinaan yang kasar, yang melukai hati sesama kita. Kita lupa siapa sesama kita. Sesama kita manusia adalah gambar dan rupa Allah. Jika kita menghina manusia, ciptaan Allah, maka kita sebenarnya sedang menghina Allah, Penciptanya.

Kita harus jujur di hadapan Tuhan, saudara dan saya mungkin pernah melakukan pembunuhan di dalam hati. Pada saat kita begitu benci, dengki dengan seseorang. Apa yang ada dalam pikiran kita? Mungkin dalam hati kita berkata, “Gue ngelihat mukanya aja muak rasanya. Mudah-mudahan elu cepat mati deh”. Kita caci maki orang itu dalam hati kita. Kita sumpahi orang itu dalam hati kita. Orang yang kita benci itu masih hidup, masih ada, masih exist, tetapi dalam pikiran kita, kita anggap orang itu sudah mati, sudah tidak ada lagi. Itulah pembunuhan dalam hati.

Apa untungnya kita memelihara kebencian dan kedengkian? Tidak ada! Kita makan pun jadi susah. Tidur susah. Pikiran susah. Ketemu dengan dia susah. Kalau bisa kita menghindari berpapasan dengan orang itu. Misalnya, kalau kita mau pergi ke toilet. Ternyata orang yang kita benci itu baru keluar dari toilet, kita segera menghindari orang itu biar tidak ketemu. Kita segera berbalik ke arah lain untuk menghindar. Alangkah susahnya hidup ini. Sementara orang yang kita benci itu, mungkin dia santai-santai aja tuh. Kita sendiri yang rugi. Pikiran dan emosi kita terkuras habis hanya untuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu sebenarnya. Hidup ini sudah rumit, ditambah lagi dengan kebencian dan kepahitan, jadinya hidup jauh lebih rumit. Pada saat kebencian melingkupi kita; kita bukan saja telah berdosa kepada Tuhan, tetapi kita telah merugikan diri kita sendiri.

Kita harus sadar, musuh kita bukanlah saudara-saudara seiman kita. Musuh kita bukanlah umat beragama lain yang berbeda keyakinan dengan kita. Musuh kita bukanlah orang-orang yang melukai dan menyakiti hati kita. Musuh kita adalah kebencian yang ada dalam diri kita sendiri.

Saudara2, janganlah kebencian, dendam, dan kepahitan kita pelihara dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan bergereja. Kebencian, dendam, kepahitan, tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru akan memperkeruh masalah dan membuat hidup ini lebih berat.

Untuk mengalahkan kebencian dan dendam, kita harus memberikan pengampunan dalam hidup ini. Namun sebelumnya, saya akan memberikan beberapa pemahaman yang salah, konsep yang keliru tentang pengampunan pada masa kini. Saya akan memberikan 3 diantaranya:

1.      Banyak orang beranggapan mengampuni berarti kita mampu melupakan kesalahan orang lain (Forgiving is forgetting).

Ada orang yang beranggapan kalau kita benar-benar sudah mengampuni seseorang, maka kita harus melupakan kesalahan orang itu. Kalau kita masih ingat kesalahan yang orang lain lakukan kepada kita, berarti kita belum sungguh-sungguh mengampuni. Ini pandangan yang keliru.

Manusia diciptakan dengan memiliki daya ingat/memori. Kalau suami kita berselingkuh dan bersetubuh dengan wanita lain, lalu suami kita itu bertobat dan kita sebagai istri mengampuni, mungkinkah kita bisa melupakan pengkhianatan yang pernah dilakukan suami kita itu? Tentu tidak! Karena ketidaksetiaan adalah masalah yang sangat sensitif dalam sebuah pernikahan. Mengampuni berarti kita tidak menyangkali bahwa orang itu pernah menyakiti kita, melukai hati kita, tetapi ingatan itu tidak membuat kita sakit hati, dendam, atau benci lagi kepada orang itu. Ingatan itu tidak menjadi masalah lagi bagi kita, ketika kita berelasi dengan orang yang sudah kita ampuni. Dulu sebelum mengampuni, kita ingat kesalahan orang itu, dan timbul kebencian, kepahitan, dan amarah dalam diri kita. Begitu kita mengampuni, kita juga tetap masih ingat kesalahan yang diperbuatnya, tetapi kita sekarang telah terbebas dari kepahitan, terbebas dari dendam, dan terbebas dari kebencian. Itulah arti mengampuni.

2.      Ada yang beranggapan mengampuni berarti kita mentoleransi kesalahan orang lain (Forgiving is tolerance). Ini juga pandangan yang salah.

Mengampuni bukan berarti kita mentoleransi kesalahan orang lain, seolah-olah kesalahan orang lain itu bukanlah sebuah masalah. Mengampuni bukan berarti membenarkan apa yang salah, bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan yang dibuat. Benar tetap benar, salah tetap salah. Kasih dan pengampunan yang sejati bukan berarti kita mengabaikan keadilan, kebenaran, dan kesucian.

Kita harus membedakan antara “kesalahan yang diperbuat” dengan “orang yang bersalah”. Walaupun hal ini tidak mudah, karena garis pemisah keduanya sangat tipis. Sama seperti Tuhan yang benci terhadap dosa, tetapi mengasihi orang berdosa. Kita mengakui orang itu melakukan kesalahan. Kita mengakui mungkin dia menghina kita. Tetapi orang yang melakukan kesalahan itu tetap adalah manusia, makhluk yang mulia, objek kasih Allah, gambar Allah yang harus kita hargai, terlepas kesalahan yang dia lakukan.

Pada saat kita mengampuni, yang kita toleransi adalah “orangnya”, bukan “kesalahan yang diperbuatnya”. Mengampuni berarti kita memberikan kesempatan kepada orang itu untuk bertobat, untuk memperbaiki kesalahannya. Sama seperti Tuhan dengan panjang sabar memberikan kesempatan kepada kita untuk bertobat, untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Memang pengampunan menjadi tidak mudah tatkala kita bertemu dengan orang yang bersalah, tetapi tidak merasa dirinya salah, merasa diri paling benar. Ini memang sesuatu yang sangat menjengkelkan kita. Tetapi kita dipanggil untuk terus berdoa dan mengingatkan orang itu dengan bijaksana, bukan malah memelihara kebencian dalam diri kita.

3.      Ada yang beranggapan mengampuni berarti membebaskan orang dari hukuman atau konsekuensi yang harus dipikulnya.

Dalam hubungan antar manusia, mengampuni tidak berarti kita mengabaikan konsekuensi yang harus dipikul oleh orang yang bersalah. Zakheus, sang pemungut cukai, sangat mengerti prinsip ini ketika dia bertobat. Ketika bertobat dan menerima pengampunan dari Tuhan Yesus; Zakheus siap mengganti kerugian dari orang yang pernah dia peras, bahkan dia akan ganti empat kali lipat. Dalam Lukas 19:8, Zakheus berkata kepada Yesus: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” Banyak penafsir Alkitab yang mengatakan ketika Zakheus melakukan komitmennya ini, dia menjadi jatuh miskin. Bayangkan, memberikan setengah harta milik kepada orang miskin dan mengganti 4 kali lipat uang dari orang yang pernah dia peras. Ini jumlah sangat besar! Tetapi Zakheus siap menanggung semua itu. Dia rela melakukan semua itu, karena dia mengerti apa artinya menerima pengampunan dari Tuhan Yesus.

Jadi kalau ada karyawan telah mencuri uang perusahaan, misalnya 5 juta, lalu dia mengaku salah, menyesali perbuatannya, tetapi tidak mau mengembalikan uang yang sudah dicurinya itu, dan tidak siap untuk menerima hukuman/sanksi dari perusahaan, maka orang itu tidak sungguh-sunggh bertobat. Itu pertobatan palsu!

Dalam Efesus 4:32, pengampunan Allah yang kita terima di dalam Kristus menjadi dasar perintah supaya kita mengampuni orang lain. Dalam Doa Bapa Kami, kebutuhan manusia akan pengampunan ditempatkan Yesus pada posisi kedua setelah kebutuhan makan dan minum. Manusia bukan saja butuh makan dan minum, tetapi juga butuh pengampunan dalam hidupnya. Dalam Doa Bapa Kami dikatakan, “dan ampunilah kami akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:12). Kalimat ini bukan berarti Allah mengampuni kita oleh karena kita juga mengampuni orang lain. Bukan berarti untuk mendapatkan pengampunan, kita harus mengampuni orang lain. Kita diampuni oleh Allah semata-mata karena kemurahan dan belas kasihan-Nya terhadap kita, bukan karena jasa kita. Tetapi yang Yesus maksudkan dalam doa ini adalah jika kita tidak mau mengampuni orang lain, maka kita sebenarnya tidak mengakui betapa besarnya pengampunan Allah bagi kita. Kita tidak menghargai dan meresapi nilai dari pengampunan Allah. Sikap tidak mau mengampuni orang lain memperlihatkan bahwa kita adalah orang yang keras hati, tidak ada penyesalan, tidak ada pertobatan, tidak kehancuran hati sebagai orang berdosa yang sudah terlebih dahulu mengalami pengampunan yang tak terbatas dari Allah.

Padahal dosa dan kesalahan yang kita lakukan terhadap Allah jauh lebih besar, jauh lebih banyak, jauh lebih sering, jika dibandingkan dengan kesalahan yang orang lain perbuat terhadap diri kita. Mungkin diantara kita ada yang berkata, “Pak, Bapak tidak tahu sih betapa sakitnya hati saya dihina dan dilukai oleh orang itu. Betapa sakitnya hati saya difitnah dan diperlakukan kasar oleh orang itu.” Saya tahu luka hati itu begitu dalam, tidak mudah dihapus begitu saja. Saya tidak ingin mengecilkan masalah yang saudara hadapi. Tetapi kita harus sadar, betapapun sakitnya hati kita akibat dilukai dan dihina orang lain, semua itu tetap jauh lebih kecil jika dibandingkan kita sudah menyakiti hati Tuhan. Pernahkah kita mencoba menghitung, selama kita sekian puluh tahun hidup di dunia ini sampai sekarang, kira-kira berapa kali kita sudah berdosa kepada Tuhan, baik melalui hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan kita? Mungkin tidak terhitung. Berapa kali kita telah menyakiti hati Tuhan? Mungkin tidak terhitung. Berapa kali kita minta pengampunan dari Tuhan? Mungkin tidak terhitung. Jika Allah sedemikian murah hati kepada kita, mengampuni kita dengan pengampunan yang tidak terbatas, mengapa kita justru membatasi pengampunan kita kepada orang lain? Mengapa kita tidak mau mengampuni kesalahan orang lain? Betapa tidak adilnya kita pada diri sendiri! Betapa tidak fair-nya diri kita! Jika kita sadar betapa besarnya kesalahan kita kepada Allah, tetapi Dia masih mau mengampuni kita, maka kesalahan-kesalahan orang lain bukan lagi menjadi penghalang bagi kita untuk mengampuni. Jika kita tidak mau mengampuni kesalahan saudara-saudara seiman kita, apalagi mereka sudah bertobat, dan minta maaf kepada kita, maka kita adalah orang yang egois, yang berpusat pada diri sendiri, yang melihat segala sesuatu menurut ukuran kita, bukan ukuran Allah. Allah memberikan perintah kepada kita untuk mengampuni, perintah ini mengingatkan kita, supaya kita terus-menerus sadar bahwa kita adalah orang-orang berdosa yang sudah terlebih dahulu menerima pengampunan tanpa batas dari Allah.

Dalam pelayanan dan hidup bergereja, kita pasti pernah dilukai dan melukai orang lain. Kadang-kadang perasaan kita dilukai oleh saudara-saudara seiman kita, tetapi kadang-kadang kita juga, mungkin dengan sadar atau tidak sadar melukai orang lain. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jangan lupa, gereja adalah kumpulan orang2 berdosa yang telah diselamatkan oleh Tuhan. Gereja bukanlah kumpulan malaikat, gereja bukan kumpulan orang yang sempurna, yang tidak bisa berbuat dosa lagi, sehingga tidak mungkin ada persekutuan tanpa gesekan, tidak ada persekutuan yang bebas konflik, walaupun kita sudah berusaha mencegah terjadinya konflik. Orang berdosa berkumpul dengan orang berdosa di dalam gereja, pasti ada konflik. Tetapi cara berpikir kita juga harus seimbang. Jangan kita terlalu menekankan natur keberdosaan kita (sinful nature). Kita bukan sekedar orang-orang berdosa yang dikumpulkan dalam gereja ini. Betul kita orang berdosa, masih bisa berbuat dosa selama kita hidup dalam dunia ini. Tetapi kita adalah “orang-orang berdosa yang telah dibaharui dan diselamatkan oleh Tuhan”. Berarti ada kekuatan dan anugerah Allah yang memampukan kita untuk mewujudkan persekutuan yang indah. Persekutuan yang indah bukan berarti tidak ada gesekan, tidak ada konflik, atau tidak ada masalah di dalamnya. Tetapi sebuah persekutuan yang mempraktikkan kebenaran firman Tuhan, sebuah persekutuan yang mempunyai tujuan yang sama, untuk bersama-sama melayani Allah dan sesama. Dalam persekutuan, hidup bergereja, kita belajar memberi dan menerima, belajar mengampuni dan diampuni. Kita belajar memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. Tanpa pengampunan dan kasih, persekutuan yang indah tidak mungkin terwujud. Hanya luka, dendam, dan kebencian yang terus kita bawa dalam pelayanan kita.

Saudara2, kalau kita mungkin merasa ada sesuatu yang kurang dalam gereja kita, maka langkah penting yang harus kita lakukan adalah belajar menuntut diri kita untuk lebih dahulu mengasihi, jangan menunggu orang lain untuk memulai hal itu. Mulailah dari diri sendiri untuk memberikan kontribusi atau perbaikan yang positif bagi gereja.

Saya ingat dengan perkataan seorang dosen saya: “Kalau kamu ingin mencari sahabat baik, setelah kamu cari kemana-mana tidak ketemu, maka yang terbaik adalah mulailah dari diri kamu sendiri untuk menjadi sahabat baik bagi orang lain. Maka mulai hari itu, ada “satu” sahabat baik di dunia, yaitu dirimu sendiri.” Kita menuntut orang lain untuk menjadi sahabat baik buat kita, tetapi alangkah indahnya jika kita yang terlebih dahulu menuntut diri untuk menjadi sahabat baik bagi orang lain. Kita menuntut orang untuk memahami diri kita, tetapi alangkah indahnya jika kita yang terlebih dahulu menuntut diri sendiri untuk memahami orang lain.

Mulailah dari diri kita sendiri untuk mengasihi orang lain, untuk mengasihi gereja ini. Alangkah indahnya jika semua jemaat memiliki pola pikir seperti itu, mulai menuntut diri sendiri untuk lebih dahulu mengasihi orang lain. Mulai terlebih dahulu menuntut diri sendiri untuk mengampuni orang lain, bukan saling menunggu karena gengsi. Ini memang tidak mudah, sangat sulit. Ketika kita mengampuni, seringkali hati kita berontak untuk melakukannya, apalagi jika luka hati itu begitu dalam. Itulah sebabnya seringkali pengampunan bukanlah “tindakan sekali jadi, langsung beres”, tetapi lebih kepada sebuah “proses”. Kita harus menanggalkan kepahitan dan kebencian itu berkali-kali, sebelum akhirnya kita dibebaskan sepenuhnya.

Ketika kita mengampuni, berarti kita sedang menyatakan kemurahan dan anugerah kepada orang lain. Pada saat kita tidak mengampuni, kita kehilangan sifat kemurahan dan belas kasihan dalam diri kita, bahkan kita akan kehilangan banyak hal dalam hidup ini. Ketika kita mengampuni, kita sedang menaburkan perdamaian dalam hidup ini. Tapi ketika kita tidak mengampuni, kita akan terus menaburkan kebencian dan pertikaian yang tidak ada habis-habisnya. Sekarang pilihan ada di tangan kita. Kita mau hidup dalam pengampunan atau tidak. Mau tetap hidup terpenjara dalam kebencian atau hidup dalam kelegaan dan kebebasan. Mau hidup dalam dendam atau hidup dalam anugerah. Mau hidup dalam kepahitan atau sukacita. Salah satu ciri, tanda orang yang makin dewasa rohaninya adalah orang itu akan lebih cepat mengampuni. Pikirkan baik-baik. Dan marilah kita terus berdoa kepada Tuhan, supaya kemurahan dan belas kasihan-Nya memenuhi hati kita, sehingga kita dimampukan untuk hidup saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus sudah terlebih dahulu mengampuni kita dengan pengampunan yang tak terbatas. Amin.

Sunday, December 04, 2011

Checkup Your Spirituality!

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24)


Berikut ini adalah bahan Pemahaman Alkitab yang pernah saya sampaikan di sebuah gereja. Bahan ini adalah salah satu topik dari serangkaian topik tentang Christian Spirituality Series yang pernah saya bawakan. Semoga menjadi berkat....

Pendahuluan
Leo Tolstoy pernah menyatakan, “Banyak orang yang berambisi ingin mengubah dunia, tetapi terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri”. Selanjutnya, William Barclay pernah menyatakan, ”Salah satu tugas besar yang sering terabaikan dalam kehidupan Kristen adalah evaluasi diri (self-examination), dan mungkin hal ini sering diabaikan karena merupakan latihan yang merendahkan diri kita.”
Ketika saya membaca kedua kalimat di atas, saya merenung dalam hati. Iya, benar juga. Kita perlu pergi ke dokter untuk melakukan general check-up terhadap kesehatan kita, untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan kita, bagaimana kadar gula darah kita, tekanan darah kita, kondisi jantung kita, kolestrol, dll, untuk mengetahui apakah kondisi tubuh kita sehat atau tidak. Dunia pendidikan dan dunia kerja juga sangat menyadari pentingnya evaluasi, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Namun, mengapa saya tidak melakukan hal itu terhadap kerohanian saya? Di sekolah, diadakan berbagai macam evaluasi, berupa ulangan-ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir, dan sebagainya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga mengevaluasi dirinya, apakah target sekolah sudah tercapai atau tidak. Perusahaan-perusahaan melakukan evaluasi terhadap kinerja karyawannya. Perusahaan juga mengevaluasi dirinya apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak, apa kendala-kendala yang dihadapinya. Evaluasi dilakukan dalam usaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Kita juga mungkin menyusun target-target dan rencana-rencana dalam hidup kita. Kira-kira umur berapa mau menikah. Kira-kira mau punya anak berapa. Kira-kira kapan bisa punya rumah sendiri. Kira-kira dalam jangka 5 tahun ini berapa banyak uang yang mau kita tabung dan mau digunakan untuk apa, dst. Kita punya rencana. Punya target-target dalam hidup ini, punya evaluasi kerja.
Tetapi sayangnya, hal yang sangat penting itu jarang sekali kita lakukan terhadap kerohanian kita. Kita jarang sekali mengevaluasi kerohanian kita. Kita tidak pernah menyusun target-target dan rencana-rencana untuk pertumbuhan rohani kita. Kerohanian kita berjalan apa adanya tanpa ada evaluasi yang serius. Paling-paling kita cuma merenung perjalanan hidup kita pada saat kita merayakan Ulang Tahun atau Tahun Baru. Itu pun juga cuma evaluasi pada kulitnya saja, tidak mendalam dan menyeluruh. Kita mungkin tidak pernah mencatat satu demi satu, hal-hal apa yang seharusnya kita perbaiki dalam diri kita. Namun kalau dalam pekerjaan, karir, mungkin kita ada catatan, hal-hal apa yang harus kita perbaiki. Ini berarti, ada sesuatu yang salah dalam perjalanan kerohanian kita.
Itulah sebabnya, jangan heran, kita menemukan ada banyak orang Kristen, mungkin termasuk diri kita, yang sudah puluhan tahun jadi orang Kristen, mungkin tiap minggu ke gereja, mungkin terlibat aktif dalam pelayanan gereja, ikut seminar sana dan sini, mungkin sudah jadi majelis, bahkan sudah menjadi Hamba Tuhan; namun kerohaniannya masih seperti anak kecil. Ciri utama anak kecil adalah dia cenderung egosentris, dia ingin selalu dirinya menjadi pusat perhatian. Melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang diri sendiri. Sulit menempatkan diri pada posisi atau perasaan orang lain. Mudah tersinggung. Sulit bersikap bijak terhadap perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat selalu dianggap sebagai serangan atau perlawanan terhadap dirinya. Anak kecil selalu mau menang sendiri. Sudah punya mainan sendiri, pingin ngambil mainan temannya sendiri. Kita perlu memeriksa diri kita secara teratur di hadapan hadirat Allah.

Apakah Dasar Alkitab tentang Pemeriksaan Diri?
·        Mazmur 139:1, 23-24; 2 Korintus 13:5-7; 1 Timotius 4:16
Dalam Mazmur 139: 23-24, Pemazmur seolah-olah ingin berkata, “Tuhan, Engkau mengenal aku dengan sempurna, tidak ada sesuatu pun dalam diriku yang tersembunyi di hadapan-Mu. Oleh sebab itu, jika Engkau melihat ada sesuatu yang salah dalam diriku, beritahukanlah hal itu kepadaku, ya Tuhan.” Pemazmur menginginkan hubungan/keintiman yang lebih dalam dengan Allah, keinginan ini begitu kuat, lebih daripada keinginan tentang apapun dalam dunia ini.
Doa-doa kita kebanyakan berisi permohonan-permohonan yang hanya berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani. Tetapi kita jarang sekali berdoa, bergumul dengan serius di hadapan Tuhan dan berkata: “Tuhan, sudah sekian tahun saya jadi orang Kristen, mengapa saya lebih mudah melihat kesalahan orang daripada kesalahan diri sendiri? Mengapa saya sulit untuk mengampuni kesalahan orang lain? Mengapa saya merasa benar sendiri? Mengapa gairah dan kerinduan saya akan Allah masih dangkal?” Kalimat-kalimat doa seperti itu hanya lahir dari hati orang-orang yang mau dengan rendah hati memeriksa dirinya di hadapan hadirat Allah. Doa pemeriksaan diri adalah bentuk doa yang sangat menyukakan hati Tuhan.
Bagaimana cara Allah menyelidiki diri kita? J.I. Packer dalam bukunya, Praying (2006), bab 5 (Prayer Checkup) menyatakan, ada 2 cara Allah menyelidiki kita. Pertama, Allah menggunakan firman Tuhan melalui kuasa Roh Kudus untuk membawa kita kepada kehidupan yang lebih kudus. Allah menegur dosa-dosa kita, menginsyafkan kita akan dosa-dosa kita, membersihkan kita dengan firman-Nya. Allah menyelidiki kita melalui firman-Nya. Kedua, Roh Kudus membentuk pertanyaan-pertanyaan dalam hati kita yang harus kita jawab. Pertanyaan-pertanyaan mengenai motivasi dan sikap kita dalam melakukan sesuatu, tujuan-tujuan kita yang tersembunyi yang mungkin orang lain tidak ada yang tahu, namun Allah mengetahuinya. Allah seperti Konselor yang sedang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membedah hati kita. Kalau konselor di dunia masih bisa kita tipu, tetapi Allah tidak.

Apakah Pemeriksaan Diri Itu?
Adele Ahlberg Calhoun dalam Spiritual Disciplines Handbook (2005) menyatakan, “Pemeriksaan diri (self-examination) adalah sebuah proses dimana Roh Kudus membuka hati kita dan menyingkapkan keadaan diri kita yang sesungguhnya di hadapan Allah”. Pemeriksaan diri di hadapan hadirat Allah merupakan salah satu disiplin rohani yang penting, tetapi terabaikan pada masa kini. Pemeriksaan diri selalu melibatkan pengakuan dosa, dimana Roh Kudus menolong kita untuk melihat siapa diri kita sesungguhnya (the real me), dan melihat dosa-dosa kita dari sudut pandang Allah, bukan dari sudut pandang diri sendiri. Seringkali ada dosa-dosa yang kita anggap remeh, kita toleransi, karena semua orang juga melakukan hal itu, dianggap biasa. Kita menjadi tidak bisa atau kehilangan kepekaan dalam merasakan kepedihan hati Tuhan atas dosa-dosa yang kita lakukan. Pemeriksaan diri membawa kita kepada transformasi hidup, perubahan hidup, hidup yang makin diperbarui makin serupa Kristus, hidup yang makin dikuduskan.
Pemeriksaan diri bukan sekedar di dalamnya ada pengakuan dosa, tetapi kita menggumuli dengan serius, bagaimana caranya supaya kita bisa keluar dari dosa tersebut. Apa langkah-langkah konkret yang harus kita lakukan untuk tidak mengulanginya lagi.
Pengakuan dosa pribadi kita harus bersifat spesifik, bukan bersifat general. Tidak cukup hanya mengaku dosa, “Tuhan, saya telah berdosa kepada-Mu melalui hati, perkataan, dan perbuatan saya”. Kita harus merinci dosa-dosa kita dalam doa pengakuan dosa itu. Makin spesifik pengakuan dosa kita, makin objektif kita melihat diri sendiri. Tujuannya adalah untuk membangunkan kesadaran diri  kita (awareness) betapa seriusnya dosa di hadapan Tuhan.

Mengapa Kita Perlu Secara Teratur Melakukan Pemeriksaan Diri di Hadapan Allah?

1.      Karena natur kita telah rusak oleh karena dosa, kita mempunyai potensi yang luar biasa untuk menipu diri sendiri (self-deception).
Dalam Yeremia 17:9-10 dikatakan: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.”
Richard Foster mengawali bukunya Celebration of Disciplines dengan sebuah kalimat yang sangat menyentak saya, “Superficiality is the curse of our age.” (Superfisialitas adalah kutukan di zaman kita). Kita hidup di era yang superfisial, era kosmetik, era plastik. Kita mengenakan berbagai “topeng” untuk menutupi diri kita sebenarnya, yaitu the real me. Kita pura-pura berdoa, pura-pura produktif bekerja, pura-pura aktif melayani, pura-pura peduli dengan orang lain, pura-pura cinta Tuhan. Terus-menerus berpura-pura, padahal kita melakukan semua itu bukan untuk kemuliaan Tuhan, tetapi untuk kemuliaan diri sendiri. Apakah betul kita sudah sungguh-sungguh mencintai Tuhan?

2.      Karena di dalam keberdosaan kita, kita memiliki penyakit rohani yang disebut “rabun dekat” secara rohani (Lihat Matius 7:1-5).
"Rabun dekat" di sini maksudnya adalah kita sulit untuk melihat dan menemukan dosa-dosa kita sendiri, tetapi kita paling mudah dan sangat cepat dalam melihat dosa-dosa orang lain. Kita sangat peka dan sensitif dengan kesalahan orang lain, tetapi kadang-kadang tidak peka dengan kesalahan diri sendiri. Kita sangat jelas bisa melihat kesalahan dan dosa orang lain, tetapi kita “kabur” melihat dosa-dosa sendiri. Kita seringkali suka meneropongi dosa-dosa orang lain, sampai-sampai lupa atau kurang mencermati kehidupan kerohanian kita sendiri.
Seringkali tanpa sadar, kita menerapkan standar ganda dalam relasi dengan orang lain. Kita menerapkan standar dan tuntutan yang sangat tinggi terhadap orang lain, tetapi kita menurunkan standar itu bagi diri kita sendiri. Kesalahan orang lain kita kecam habis-habisan, tetapi kalau kita melakukan kesalahan yang sama atau yang bobotnya lebih berat, kita begitu mudah memaafkan diri sendiri, kita begitu tolerir dengan dosa sendiri. Melihat ke luar diri, tanpa diimbangi melihat ke dalam diri sendiri adalah sesuatu hal yang sangat membahayakan kehidupan rohani kita.
Daud pernah mengalami penyakit “rabun dekat” ini. Daud yang membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba, istrinya. Pada waktu nabi Natan memberikan sebuah perumpamaan untuk menegur dosa Daud. Daud tidak sadar, tidak peka bahwa Natan sebenarnya sedang menegur dosanya. Kita semua sudah tahu ceritanya. Justru, Daud berkata: “Demi Allah yang hidup, orang kaya yang telah mengambil anak domba betina dari si miskin itu, harus dihukum mati, karena ia tidak mengenal belas kasihan.” Tetapi pada saat itu, nabi Natan berkata: “Daud, engkaulah orang itu!” (Baca 2 Samuel 12:1-7).
Kadang-kadang kita juga bisa seperti Daud, yang kehilangan kepekaan terhadap dosa-dosa kita sendiri yang sebenarnya menjijikkan di mata Allah. John Calvin pernah menulis satu kalimat, “Orang yang kudus, bukanlah orang yang tidak dapat berbuat dosa lagi, tetapi orang kudus adalah orang yang makin memiliki kepekaan terhadap dosa-dosa diri sendiri, bahkan dosa-dosa yang terkecil sekalipun.” Saya setuju dengan pernyataan Simon Chan dalam bukunya Spiritual Theology bahwa “kita dapat melakukan kesalahan yang fatal tanpa memiliki kepedihan hati nurani.” Jika ada dosa-dosa tertentu yang belum kita sadari dan akui di hadapan Allah, maka hal itu membuat kepekaan rohani kita makin berkurang.
Kalau penyakit rabun dekat secara rohani ini makin parah dan tidak diatasi, maka lama-kelamaan dapat membawa kita kepada kemunafikan, kita buta dengan keadaan diri kita yang sesungguhnya (self-blindness). Martin Luther pernah berkata, “Bukti ultimat/tertinggi dari orang berdosa (the ultimate proof of sinner) adalah kita tidak sadar bahwa kita sedang berdosa”.

Apa Saja Metode Yang Bisa Digunakan untuk Memeriksa Diri Kita?
Seorang teolog, J.I. Packer, dalam bukunya Praying (2006), bab 5 (Prayer Checkup) menyatakan, “Tokoh-tokoh Kristen selama berabad-abad, mulai dari Bapa-Bapa Gereja (abad 1-5), tokoh-tokoh Reformasi, Puritan, Katolik Roma, Wesleyan, dan tokoh-tokoh Gereja Ortodoks Timur; mereka semua sepakat mengenai pentingnya secara teratur memeriksa diri demi kesehatan rohani.” Orang-orang Puritan biasanya melakukan pemeriksaan diri pada Sabtu malam, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi Sabat (hari Minggu).

1.      Bercermin pada Tujuh Dosa Maut (the seven deadly sins)
Berdasarkan catatan sejarah, misalnya, Bapa-Bapa Gereja, seperti Augustinus, melakukan pemeriksaan dirinya melalui menelusuri 7 dosa maut yaitu: (1) kesombongan (2) kemarahan (3) hawa nafsu (4) iri hati (5) ketamakan (6) kemalasan (7) kerakusan. Bagaimana keadaan diri kita tentang dosa-dosa tersebut?
Kesombongan ditempatkan sebagai dosa yang pertama. Bapa Gereja, Augustinus menyatakan, “Initium ominis peccati est superbia” (The beginning of all sin is pride). Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena mereka tidak mau bergantung penuh lagi pada Allah. Manusia berdosa menolak untuk bergantung pada Allah. Dalam hubungan dengan orang tua, makin dewasa kita, maka kebergantungan kita dengan orang tua seharusnya makin berkurang. Tetapi dalam kerohanian, makin dewasa rohani seseorang, maka tingkat kebergantungannya pada Allah harus makin besar.
David W. Gill, dalam bukunya Becoming Good (2000), menyatatakan, “Sifat yang suka mendominasi adalah kesombongan. Kita bisa sombong karena pengetahuan yang kita miliki, kita berpikir kita sudah mengetahui segala sesuatu, dan tidak mau belajar dari orang lain. Orang yang sombong biasanya sangat dominan dalam berbicara, tetapi miskin dalam hal mendengar. Selalu ingin perkataannya didengar dan diperhatikan oleh orang lain, tetapi sulit untuk mendengar dan memperhatikan perkataan dan pendapat orang lain. Kesombongan membutakan diri kita tentang apa yang kurang pada diri kita.

2.      Bercermin Melalui Sepuluh Perintah Allah
Tokoh Reformasi abad 16, Martin Luther, melakukan pemeriksaan diri melalui Sepuluh Perintah Allah. Hukum ke-1: Apakah Allah menjadi pusat hidup saya hari ini? Hukum ke-2: Apakah ada berhala dalam hidup saya? Diri sendiri, uang, pekerjaan, dll? Hukum ke-3: Apakah kita menghormati nama Allah dalam hidup keseharian kita? Alan Redpath, dalam bukunya Law and Liberty (Hukum Taurat dan Kebebasan), menyatakan,“Berdoa, tetapi tidak berbuat; percaya, tetapi tidak menaati; memuji Tuhan, tetapi dalam hati berontak, adalah tindakan yang menyalahgunakan nama Allah.” Hukum ke-4: Apakah kita menghormati dan menguduskan hari Sabat? Hukum ke-5: Apakah kita menghormati orang tua kita? Dan seterusnya.

3.      Journaling Confessions (bersifat pribadi)
Dalam Alkitab dicatat kisah bangsa Israel dalam hubungan mereka dengan Allah. Kisah yang berisi masa-masa dimana mereka setia dan tidak setia kepada Tuhan. Jurnal adalah catatan kisah pribadi kita dalam hubungan kita dengan Allah. Kita sedang membuat sejarah hidup kerohanian kita sendiri. Kita membentuk identitas diri kita dengan Allah. Jurnal berbeda dengan diary (buku harian) yang sering dibuat oleh orang-orang untuk menuangkan curahan isi hatinya. Jurnal berisi “koleksi” atau kumpulan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan kita ketika berdialog dengan diri sendiri. Kita mencoba melihat diri kita sendiri dari sudut pandang Allah. Melalui kegiatan ini kita mengungkapkan pengalaman dan perasaan-perasaan kita ke dalam kata-kata yang konkret. Hal ini membuka kesempatan kepada Allah untuk berbicara pada kita. Point dari journaling adalah mengungkapkan isi hati kita dengan jujur, sehingga membantu kita lebih dapat melihat keadaan diri kita sesungguhnya dengan lebih jelas. Di dalamnya mengandung unsur pemeriksaan diri, penyingkapan dosa-dosa di hadirat Allah dan sekaligus menyatakan kebutuhan akan Allah untuk merestorasi, memulihkan hidup kita.
Misalnya, pada suatu hari itu kita pernah marah kepada seseorang. Kita perlu mengungkapkan perasaan-perasaan dan meninjau kembali pengalaman-pengalaman kita itu, sikap kita ketika marah. Mengapa kita marah? Apa motivasi kita? Apakah kemarahan itu membawa kita pada dosa?

4.      Pemeriksaan Diri oleh Allah (versi J.I. Packer)
J.I. Packer, dalam bukunya Praying (2006), bab 5 (Prayer Checkup), memberikan beberapa kriteria untuk mendeteksi sejauh mana kondisi kerohanian kita dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada diri sendiri untuk dijawab secara jujur di hadapan hadirat Allah:

1.      Periksalah iman kita (Checkup our faith)
·        Apakah kita sungguh-sungguh mengenal Allah dengan benar? Apakah kita mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui tentang Allah dan mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah?
·        Apakah iman kita membawa kedamaian di hati kita, damai dengan Allah melalui pengampunan, damai di dalam berbagai keadaan melalui bersandar kepada Allah, damai dengan sesama karena melalui iman kita mengasihi mereka?
·        Apakah kita memiliki iman yang teguh di tengah-tengah tekanan dan krisis hidup?

2.      Periksalah pertobatan kita (Checkup our repentance)
·        Sebuah kehidupan yang bertobat adalah kehidupan penyangkalan diri. Apakah kita sudah hidup dalam penyangkalan diri?

3.      Periksalah kasih kita (Checkup our love)
·        Seberapa besar kasih kita kepada Allah dan sesama kita?
·        Apakah kita peduli dengan kebutuhan sesama kita? Apakah berbelas kasihan terhadap sesama menjadi kesukaan kita?
·        Apakah doa-doa kita berfokus pada kehendak dan kemuliaan Allah? Apakah kita suka mendoakan kebutuhan orang lain diluar jam-doa doa bersama dijadwalkan gereja?
·        Apakah kita mudah memberikan diri kita, mudah memberi waktu dan uang kita untuk kebutuhan orang lain?

4.      Periksalah kerendahan hati kita (Check up our humility)
J.I. Packer: “Humility is honest realism and realistic honesty”.
Menurut Packer, kerendahan hati berakar dalam sebuah kesadaran:
·        Kita begitu kecil dan berdosa di hadapan Allah.
·        Kita begitu lemah dan tidak mampu untuk mengontrol dan memastikan masa depan kita, karena seluruh hidup kita ada dalam kedaulatan Allah.
·        Dalam keberdosaan kita, sejak lahir kita memiliki daya tarik yang kuat terhadap kebahagiaan dan kesuksesan menurut ukuran dunia, bukan menurut ukuran Allah.
·        Kesadaran bahwa kita egois, lebih mementingkan diri sendiri.
·        Kesadaran bahwa kita lebih berfokus pada apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita daripada apa yang Allah pikirkan tentang diri kita (what others think of us).
·        Kesadaran bahwa setiap kesempatan yang kita miliki dalam hidup ini bukanlah hak yang harus kita miliki, tetapi semua itu adalah pemberian karunia Allah.

J.I. Packer: “Genuine humility is not only Godward in direction, it also colors all relationships with other humans.”
·        Apakah kita bersukacita dan antusias melayani jika kita dipercaya untuk melayani bidang yang “kecil” di gereja, atau pelayanan-pelayanan yang bersifat di belakang layar/tidak kelihatan?
·        Apakah pikiran-pikiran kita dipenuhi anugerah Tuhan terhadap “orang-orang sulit” yang sering kita temui dalam hidup kita? [Ingat: Yesus Kristus tetap membasuh kaki Yudas Iskariot dengan penuh cinta kasih, bukan dengan kasar].
·        Apakah kita menghargai dan menghormati orang lain dalam pikiran, perkataan dan tindakan kita? Atau suka menghina dan merendahkan orang lain dalam pikiran, perkataan, dan tindakan kita?
·        Apakah kita secara teratur memberikan penghargaan dan pujian terhadap pekerjaaan orang lain? (Do we regulary credit for their labor?)

5.      Periksalah kebijaksanaan/hikmat (wisdom) kita.
·        Apakah kita makin mengenal apa yang disukai dan yang berkenan di hadapan Allah?
Apakah kita sudah mempraktikkan Yakobus 1:5, meminta hikmat kepada Allah untuk menjalani hidup yang berkenan di hadapan-Nya? (Yakobus 1:5, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit ,maka hal itu akan diberikan kepadanya.”)
·        J.I. Packer: “We pray with wisdom when we pray for wisdom to see what hopes, expectations, petitions to God and plans for ourselves and others wisdom now suggest.”

Kesimpulannya: Periksalah fokus hidup kita! (Checkup our focus in life!). Periksalah prioritas-prioritas hidup kita! Apakah seluruh agenda hidup kita sudah dikendalikan dan dipimpin oleh Allah? (Binsar)

Monday, October 31, 2011

Anugerah Demi Anugerah dalam Pernikahan Kami

Pernikahan saya dan Grace baru berumur sekitar 15 bulan. Masih sangat muda. Kalau Tuhan izinkan, maka perjalanan pernikahan kami masih sangat panjang. Masih banyak tantangan dan ujian di depan. Masih banyak PR yang juga harus kami kerjakan dalam hubungan pernikahan kami. Namun, saya sungguh merasakan, bisa memasuki usia pernikahan 15 bulan ini karena ada anugerah Allah yang menopang kami. Eben-haezer: sampai di sini Tuhan sudah menolong!
Saya ingin merenung dan melihat ke belakang perjalanan pernikahan kami. Dalam satu tahun pertama pernikahan kami, saya dan Grace tidak bisa berkumpul bersama-sama setiap hari. Ketika itu saya sedang menjalani masa praktik pelayanan satu tahun di salah satu gereja di Bandung, sedangkan Grace masih harus bekerja di salah satu sekolah Kristen di Jakarta. Praktik pelayanan satu tahun adalah tugas terakhir yang harus saya jalani setelah saya menyelesaikan semua kuliah saya di salah satu seminari di Jakarta. Ini adalah tugas terakhir yang harus saya selesaikan sebelum akhirnya saya diwisuda. Saya harus “meninggalkan” istri saya di Jakarta, sembilan hari setelah kami menikah. Baru saja kami menikah, akhirnya kami harus “berpisah” untuk sementara waktu.
Masih segar dalam ingatan saya, Senin, 9 Agustus 2010, pagi-pagi benar, Grace pamit akan berangkat kerja. Sementara di hari Senin itu juga, saya akan pergi ke Bandung untuk memulai praktik pelayanan satu tahun. Jujur, pada waktu itu, perasaan saya sepertinya belum siap untuk “berpisah” dengan Grace. Kami baru saja menikah. Baru saja selesai menjalani masa bulan madu kami, tetapi mengapa kami harus segera “berpisah”. Itulah yang berkecamuk di dalam hati saya. Namun, saya mencoba dengan lapang hati melepas Grace dan mengokohkan langkah kaki saya ke Bandung dengan keyakinan bahwa Tuhan pasti memberikan kekuatan kepada kami untuk melewati semua ini.
Selama saya praktik satu tahun di Bandung, saya hanya dua kali mengunjungi Grace di Jakarta. Walaupun pada waktu itu, ada kesepakatan antara pihak seminari dengan gereja tempat saya praktik, saya diberi kesempatan satu kali sebulan ke Jakarta (selama 2 hari) untuk bertemu dengan istri. Namun karena kondisi, kesempatan itu tidak selalu saya ambil. Pada akhirnya, Grace yang jauh lebih sering datang ke Bandung.
Biasanya Grace datang pada saat week-end. Jumat malam, dia tiba di Bandung, dan Minggu sore kembali lagi ke Jakarta. Namun, hari Sabtu dan Minggu adalah hari-hari yang cukup padat dengan jadwal pelayanan. Grace datang pada saat saya sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan pelayanan di gereja. Walaupun kualitas pertemuan itu belum ideal, kami bersyukur kepada Tuhan untuk kesempatan yang indah ini.
Biasanya Grace datang sebulan dua kali ke Bandung. Namun, kalau ada hari-hari libur lain, seperti libur Lebaran, Natal, Imlek, dan libur semester, Grace juga pasti datang ke Bandung. Pada saat-saat seperti itulah, kami sungguh menikmati kebersamaan lebih dari biasanya, karena masa libur yang cukup panjang. Mungkin, itulah salah satu “keuntungan” menjadi guru di sekolah, ada jadwal libur yang cukup banyak dan panjang!
Dalam satu tahun pertama pernikahan kami itu, walaupun kami belum bisa bersama-sama setiap hari, tetapi kami belajar untuk melihat semua ini sebagai sarana Tuhan untuk mendewasakan kami dan lebih menghargai pernikahan kami. Jujur, walaupun kadang-kadang, terlintas dalam pikiran dan terlontar dalam perkataan kami, mengapa hal ini harus kami alami, tetapi kami percaya bahwa Tuhan lebih besar dari kelemahan kami. Tuhan yang menggendong kami dengan tangan-Nya yang kuat dan penuh kuasa untuk melewati semuanya ini.
Akhirnya, tanggal 10 Agustus 2011 saya kembali ke Jakarta. Saya telah menyelesaikan praktik pelayanan satu tahun. Saat yang dinanti-nanti telah tiba. Sekarang saya dan Grace bisa berkumpul bersama-sama lagi setiap hari! Dalam kemurahan-Nya, pada tanggal 17 September 2011 yang lalu, saya juga telah diwisuda. Tuhan bukan hanya memimpin pernikahan saya, tetapi juga studi saya. Dia yang memanggil saya untuk menjadi hamba-Nya, Dia juga yang menolong dan menggenapi kehendak-Nya atas hidup saya. Tuhan sungguh luar biasa! Dia lebih besar daripada apa yang pernah saya bayangkan dan pikirkan.
Selama 15 bulan pernikahan kami, ada tantangan, pergumulan, dan konflik-konflik pernikahan yang kami hadapi. Namun kami juga merasakan ada pertumbuhan iman yang kami alami. Saya percaya, pernikahan Kristen adalah sekolah didikan Tuhan seumur hidup. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Saya makin disadarkan bahwa pernikahan Kristen bukan sekadar untuk mengatasi rasa kesepian. Bukan sekadar untuk memenuhi hasrat biologis dan punya keturunan. Bukan sekadar hidup bersama dalam satu rumah. Bukan sekadar untuk bisa saling melengkapi antara pria dan wanita. Saya yakin, pernikahan Kristen terutama menjadi sarana yang Tuhan pakai untuk membentuk kita makin serupa dengan Kristus. Saya setuju dengan pernyataan Gary Thomas dalam bukunya berjudul Sacred Marriage (Pernikahan Kudus), “Allah merencanakan perkawinan bukan sekadar membuat kita bahagia, tetapi membuat kita lebih kudus. Pernikahan adalah disiplin spiritual yang dirancang oleh Allah untuk membantu kita mengenal Allah dengan lebih baik, mempercayai-Nya lebih penuh, dan mengasihi-Nya lebih dalam lagi”. Bagaimana dengan pernikahan kita? Apakah tujuan pernikahan kita? (Binsar)

Tuesday, July 26, 2011

Kerendahan Hati

“Inilah pelajaran terbesar dan paling berguna yang dapat kita pelajari:
Mengetahui diri kita sendiri siapa kita sebenarnya, dengan bebas mengakui kelemahan
dan kegagalan kita, menganggap kurang diri kita sendiri karena semua itu,
tidak menonjolkan diri kita sendiri, sebaliknya selalu menganggap orang lain lebih baik
adalah hikmat dan kesempurnaan besar.” (Thomas A. Kempis)


O Yesus, Tuhan yang lembut dan rendah hati
Jadikan hati kami seperti hati-Mu
Dari hasrat dihargai, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat dicintai, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat dihormati, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat dipuji, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat diutamakan, lepaskan, kami, o Yesus.
Dari hasrat disetujui, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat menjadi populer, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan direndahkan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan ditelantarkan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dibatasi, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan disalahpahami, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dilupakan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dicemoohkan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dicurigai, lepaskan kami, o Yesus.
Agar orang lain lebih dicintai ketimbang kami,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain lebih dihargai daripada kami,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain makin bertambah, kami makin berkurang,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain lebih diperhatikan daripada kami,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain lebih diutamakan daripada kami dalam segala hal,
Yesus anugerahi kami hasrat itu. Amin.
(Doa Ibu Teresa)

Kita hidup di tengah-tengah zaman yang memberhalakan status, harga diri, kedudukan, dan kesuksesan duniawi. Oleh sebab itu, kerendahan hati menjadi salah satu kualitas karakter yang langka ditemukan pada zaman ini. Manusia dalam keberdosaannya lebih cenderung untuk menjadi sombong ketimbang rendah hati. Menurut sebagian Bapa-Bapa gereja dan para teolog, kesombongan merupakan dosa terbesar diantara segala dosa. Misalnya, Bapa Gereja, Augustinus dari Hippo (354 – 430) menyatakan bahwa kesombongan adalah awal dari segala dosa. Thomas Aquinas (1224 – 1274) menganggap kesombongan sebagai dosa ultimat. Karena kesombongan, maka Adam dan Hawa telah jatuh ke dalam dosa dengan mengambil alih posisi Allah dalam hidup mereka dan tidak mau bergantung mutlak lagi kepada Allah dan firman-Nya. Kesombongan membawa seseorang kepada sikap mengabaikan Allah dan hidup dalam ketidaktaatan (Mazmur 10:2-11).
John Stott dalam bukunya The Living Church menyatakan bahwa “para pendeta dan pemimpin gereja rentan terhadap godaan kesombongan karena mereka selalu menjadi sorotan orang banyak”. Akibatnya, kepemimpinan dapat dengan mudah turun derajatnya menjadi otoriter atau justru “menjilat” orang lain. Seorang pemimpin Kristen seharusnya menggunakan kuasa dan kedudukannya dalam kerendahan hati sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran Alkitab.
Dalam Alkitab, kita cukup banyak menemukan bahwa Allah memuji dan menginginkan kerendahan hati umat-Nya. Dalam Mikha 6:8 dinyatakan, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” Dalam perumpamaan tentang orang Farisi dan Pemungut Cukai (Lukas 18:9-14), Tuhan Yesus mengecam sikap orang Farisi yang suka membenarkan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain. Sebaliknya, Tuhan Yesus memuji sikap pemungut cukai yang rendah hati dan mengakui keberdosaannya di hadapan Allah. Selanjutnya, Tuhan Yesus Kristus juga pernah berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).
Orang-orang kudus dalam sejarah gereja juga banyak menekankan pentingnya bertumbuh dalam kerendahan hati sebagai salah satu karakter seorang murid Kristus. Bapa Gereja, Augustinus dari Hippo, pernah menyatakan, “Bagi orang yang mau hidup dalam jalan-jalan Tuhan, maka ada 3 hal yang harus dimilikinya. Yang pertama adalah kerendahan hati. Kedua, kerendahan hati. Ketiga, kerendahan hati”. Bagi Augustinus, tanpa kerendahan hati tidak mungkin seseorang hidup dalam jalan Tuhan, karena kerendahan hati dimulai dari sebuah kesadaran siapa sebenarnya Allah dan siapa sesungguhnya kita di hadapan-Nya. Selanjutnya, seorang teolog dan tokoh Kebangunan Rohani Amerika pada abad ke-18, Jonathan Edwards (1703 – 1758), dalam bukunya yang berjudul Religious Affection mencantumkan kerendahan hati sebagai salah satu dari tanda kerohanian yang sejati. Bagi Edwards, tanpa kerendahan hati, tidak ada kehidupan rohani yang murni, walaupun mungkin orang itu mengklaim mengalami perasaaan religius yang menggebu-gebu terhadap Allah.
Ada berbagai definisi tentang kerendahan hati. Gerald R. McDermott, mendefinisikan kerendahan hati sebagai “sebuah sikap yang melihat segala sesuatu sebagaimana yang sebenarnya”. Brigid E. Herman menyatakan hal yang senada bahwa “kerendahan hati merupakan kepekaan terhadap realitas dan proporsi yang didasarkan pada suatu pengetahuan kebenaran tentang Allah dan diri sendiri”. John Stott berpendapat bahwa “kerendahan hati merupakan sebuah kejujuran dengan tidak berpura-pura menjadi yang lain selain diri kita sesungguhnya”. Ladislaus Boros menyatakan, “kerendahan hati berarti memutuskan untuk memegang tangan Allah dan memercayai tuntunan-Nya sehingga menjadi seperti anak kecil, menunjukkan sopan-santun dalam segala hal, peka terhadap apa yang tidak menyenangkan bagi orang lain, melindungi yang lemah dengan kekuatannya, penuh dengan kelembutan batin, dan mau meringankan beban hidup sesamanya”. Sedangkan Martin Luther, tokoh reformasi abad ke-16 menyatakan, “kerendahan hati adalah keputusan untuk membiarkan Tuhan menjadi Tuhan”.
Kerendahan hati merupakan jalan menuju pengenalan secara benar terhadap Allah dan diri sendiri. Berdasarkan prinsip Roma 12:3, maka dapat dikatakan bahwa kerendahan hati adalah sebuah sikap jujur yang mampu melihat diri sendiri secara tepat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tidak melihat diri lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya. Orang yang rendah hati memiliki konsep diri yang sehat. Dia melihat dirinya dan segala sesuatu dari sudut pandang Allah secara akurat. Orang yang melihat dirinya lebih tinggi daripada yang seharusnya adalah orang sombong (superior). Sebaliknya, orang yang melihat dirinya lebih rendah daripada yang seharusnya adalah orang yang rendah diri (inferior). Baik sikap sombong dan rendah diri tidak berkenan di hadapan Allah. Sikap sombong dan rendah diri biasanya adalah hasil dari sikap kita yang suka membandingkan diri kita dengan orang lain, sehingga yang menjadi tolak ukur penilaian diri adalah diri sendiri dan orang lain, bukan Allah dan firman-Nya.
Namun, orang yang rendah hati bukan sekadar mengenal dirinya sendiri, karena pengenalan yang demikian lebih kepada tindakan intelek semata. Orang yang rendah hati lebih daripada sekadar mengenal dirinya secara intelek, tetapi di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia menyetujui, menegaskan, mengesahkan, dan mengatakan “ya” tentang realitas dirinya sendiri. Orang yang rendah hati bersedia menjadi dirinya sendiri dan melakukan apa yang dapat dilakukan sesuai kehendak Allah.
Kerendahan hati bukanlah berarti rendah diri, menghina diri sendiri, atau merasa diri tidak berharga. Kerendahan hati bukanlah masalah menjelek-jelekkan diri sendiri atau mencoba membuat diri kita bukanlah apa-apa. Rendah hati juga bukan berarti kita tidak boleh bangga. Tetapi kebanggaan itu tidak boleh membuat kita angkuh, lupa diri, dan tidak tahu diri dengan memandang rendah atau menghina orang lain yang memiliki prestasi di bawah kita.
Orang yang rendah hati juga tidak menyangkali kemampuan-kemampuan atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, tetapi menyadari bahwa semua itu adalah anugerah Tuhan dan harus digunakan untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan bagi sesama. Orang yang rendah hati memiliki kesadaran bahwa nilai dirinya bukan ditentukan oleh kepintaran, pekerjaan, prestasi, pendapat orang, atau apa yang dimilikinya, tetapi nilai dirinya ditentukan oleh who I am in Christ” (siapa saya di dalam Kristus). “Apa yang kita lakukan” (what we do) harus didasari oleh pemahaman “siapa kita di dalam Kristus” (who we are in Christ).
Adapun beberapa karakteristik atau ciri orang yang rendah hati adalah sebagai berikut:

1.      Anugerah Tuhan selalu menjadi fondasi dalam hidupnya.
Kerendahan hati bermula dari 2 alasan mendasar. Pertama, kesadaran yang mendalam bahwa kita adalah orang berdosa yang mati secara rohani. Kedua, pengalaman kita tentang kasih dan anugerah Allah yang berlimpah dan tak bersyarat yang kita alami di dalam Kristus.
Orang yang rendah hati selalu menganggap dirinya tidak layak, tidak memadai, dan bersandar pada anugerah Tuhan setiap saat dalam hidupnya. Anugerah Tuhan menjadi fondasi dalam hidupnya. Semua orang percaya mengerti dan setuju bahwa seluruh hidup ini adalah semata-mata anugerah Allah, tetapi sayangnya seringkali terdapat kesenjangan besar antara apa yang kita pahami tentang anugerah Tuhan dengan apa yang kita perbuat dalam hidup kita sehari-hari.
Orang yang rendah hati sungguh-sungguh menyadari bahwa “I am nothing, but God is everything”, dan pemahaman itu tercermin dalam gaya hidupnya sehari-hari. Pusat dan sandaran hidupnya bukanlah dirinya dan apa yang dimilikinya (harta, kedudukan, popularitas, kepintaran, dll), melainkan Allah sendiri. Rasul Paulus dengan segala prestasi pelayanannya yang luar biasa tetap menyatakan, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:10)
Ada masa-masa tertentu dalam hidup saya yang sangat mengandalkan diri sendiri karena saya merasa mempunyai banyak kemampuan untuk berbuat banyak hal. Sekalipun dalam doa saya mengatakan bahwa saya bergantung penuh pada anugerah Tuhan dalam hidup saya, tetapi kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari, sikap saya tidak sejalan dengan doa-doa saya tersebut. Itulah sebuah kerendahan hati yang palsu. Untuk merobohkan kesombongan saya, kadang-kadang Tuhan mengizinkan saya menemukan jalan buntu dalam hidup ini melalui masalah-masalah hidup yang berat, seolah-olah saya tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Apa yang saya banggakan dan andalkan selama ini, tidak dapat menolong saya. Pada saat itu saya sungguh tidak berdaya, dan tidak ada jalan lain, kecuali saya tersungkur di hadapan kemuliaan dan kebesaran diri-Nya, serta mengakui kebodohan dan kelemahan saya. Melalui berbagai peristiwa kehidupan, Tuhan mengajar saya untuk hidup rendah hati dalam arti yang sesungguhnya. Saya mengamini pernyataan J.I. Packer dalam bukunya Never Beyond Hope: How God Touches and Uses Imperfect People (2000):
Sampai Tuhan menghancurkan keyakinan diri Anda, Ia tidak dapat berbuat banyak dengan Anda. Terkadang, seperti Simon Petrus, kita harus membuat kesalahan dan sungguh gagal sebagai orang Kristen sebelum keyakinan diri alami kita itu dihancurkan. Dalam rahmat-Nya Allah mengizinkan kita gagal dalam rangka memukul keluar keyakinan pada diri kita sendiri. Ketika Ia sudah melakukan hal itu, Ia dapat membangkitkan kita dengan suatu cara berpikir baru, yang memercayai Dia daripada memercayai diri kita sendiri. Hal ini sangat sehat bagi jiwa kita.

2.      Tidak suka menonjolkan diri sendiri.
Untuk mengukur seberapa besar kecenderungan diri kita menonjolkan diri sendiri, maka kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan berikut ini kepada diri kita masing-masing. Jika kebaikan kita dilupakan orang lain atau perbuatan baik kita tidak dilihat oleh orang lain, kerja keras kita tidak dihargai orang lain, dan tidak ada orang yang berterima kasih atas jerih lelah kita, apakah hal itu membuat kita berkecil hati? Apakah kita suka memamerkan kepada orang lain keberhasilan atau prestasi yang telah kita raih? Apakah kita orang yang haus akan pujian dan penghargaan dari orang lain? Apakah pengakuan dan penghargaan dari orang lain itu menjadi hal yang sangat berpengaruh dan bernilai primer dalam hidup kita? Apakah kita memiliki semangat kerja dan pelayanan yang sama kualitasnya, baik pada saat dilihat maupun tidak dilihat oleh orang lain? Apakah kita suka menguasai pembicaraan, dan lebih suka orang lain mendengarkan kita daripada kita mendengarkan orang lain?
Saya masih ingat, sekitar tahun 2009 yang lalu, salah seorang dosen seminari saya, pernah mengirimkan SMS yang berisi pujian terhadap diri saya. Kalimatnya kurang lebih seperti ini, “Binsar, kamu mempunyai kemampuan khotbah yang baik dan didukung kemampuan eksegesis yang baik. Kelak kamu jadi pengkhotbah yang sangat baik. Terus asah kemampuanmu.” Tidak salah menerima pujian dari orang lain, karena pujian yang positif dapat memotivasi seseorang untuk lebih maju. Namun sayangnya, saya salah dalam menyikapi pujian itu. Saya tunjukkan SMS itu kepada Grace (yang pada saat itu masih pacar saya, dan sekarang telah menjadi istri saya). Bagi saya pada saat itu, rasanya belum cukup hanya Grace yang mengetahui pujian itu, lalu beberapa minggu kemudian, saya menunjukkan SMS itu kepada 2-3 orang teman dekat saya di asrama sekolah teologi waktu itu. Saya ingin terus menyimpan SMS itu dalam handphone saya sebagai sebuah bukti bahwa kemampuan berkhotbah saya diakui oleh salah seorang dosen saya. Rasanya saya tidak ingin menghapus SMS itu dari handphone saya. Walaupun saya tidak menunjukkan SMS itu kepada semua teman saya di asrama, tetapi pada saat itu, saya harus mengakui bahwa saya telah menonjolkan diri saya sendiri. Ada semacam kebutuhan dalam diri saya supaya orang lain mengetahui prestasi dan keunggulan diri saya. Inilah sebuah sikap hati yang haus pujian. Sejujurnya, saya merasa sangat malu untuk menceritakan pengalaman ini, apalagi jika tulisan ini dibaca oleh dosen-dosen dan teman-teman sekolah teologi saya. Namun, saya ingin berbagi pengalaman tentang kegagalan rohani saya dalam area kerendahan hati. Saya bersyukur kepada Allah karena Roh Kudus menyingkapkan kebusukan hati saya itu dan membentuk saya supaya makin serupa dengan Kristus, walaupun saya masih terus bergumul dengan kelemahan dan kedagingan diri saya.

3.      Berani mengakui kesalahan dan minta maaf kepada orang lain.
Orang yang rendah hati tidak malu dan gengsi untuk berkata, “Saya salah, dan Anda benar. Maafkan saya.” Seringkali kita lebih mudah mengakui kesalahan kita dan minta maaf kepada orang-orang yang lebih tua daripada kita, atau kepada orang yang mempunyai posisi dan kedudukan yang cukup tinggi. Mungkin tidak sulit bagi kita untuk mengakui kesalahan dan minta maaf kepada orang tua atau atasan kita di kantor. Tetapi apakah hal yang sama juga kita lakukan kepada orang-orang yang kelihatannya “lebih rendah” dari kita? Misalnya, kepada anak-anak kita, pegawai kita, pembantu di rumah, atau kepada orang-orang yang kedudukannya lebih rendah daripada kita.
Berani dengan tulus minta maaf kepada orang lain bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru tanda kekuatan dan kedewasaan seseorang karena dia telah mampu untuk mengalahkan kesombongan dalam dirinya sendiri, yaitu perasaan gengsi untuk mengakui kesalahan. Kadang-kadang, kita mempunyai kecenderungan untuk dengan mudah mengakui kesalahan kita di hadapan Allah, tetapi gengsi untuk mengakui kesalahan kita pada orang lain, karena kita beranggapan bahwa tindakan itu mengurangi harga diri kita. Kita telah memiliki sistem nilai hidup yang terbalik, yaitu apa yang diberi nilai tinggi oleh Allah justru kita anggap rendah, tetapi apa yang rendah di mata Allah, justru kita beri nilai tinggi.

4.      Jujur dan tulus mengakui serta memuji kelebihan atau keberhasilan orang lain.
Orang rendah hati dengan sukacita dan penuh ketulusan dapat berkata kepada orang lain, “Pendapat Anda jauh lebih baik daripada saya”. Orang yang rendah hati tidak pelit dalam memberikan pujian terhadap orang lain dan turut bersukacita dengan keberhasilan orang lain. Nampaknya, lebih sulit bersukacita dengan orang yang sedang bersukacita, daripada menangis dengan orang yang sedang menangis. Mungkin dengan mudah kita terharu dan menangis ketika rekan kerja kita meninggal dunia. Namun, mungkin kita sulit bersukacita dan mengucapkan “selamat” dengan penuh ketulusan jika ada rekan kerja kita yang mengalami kenaikan posisi (promosi jabatan) menjadi lebih tinggi daripada kita. Rasul Paulus mengingatkan, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Roma 12:15).
Orang sombong akan merasa iri atas superioritas orang lain yang melampaui dirinya. Sebaliknya, orang yang rendah hati selalu menyukai kebaikan dimana pun ia menemukannya. Orang yang rendah hati tidak menganggap kelebihan orang lain sebagai kekurangan yang tidak dimiliki dirinya, karena dia sadar bahwa kelebihan orang lain dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. Dia tidak melihat orang lain yang mempunyai banyak kelebihan sebagai saingan dirinya, tetapi justru sebagai kawan sekerja yang sama-sama berusaha mewujudkan kebajikan di dunia ini. Jika kita sulit menghargai atau mengagumi keberhasilan dan kelebihan orang lain, akibatnya kita sulit merasa bahagia.
Salah satu bentuk penghargaan kita terhadap keberhasilan orang lain adalah dengan tulus memberikan pujian. Pujian bukanlah kata-kata muluk, basa-basi, sanjungan kosong, atau penghormatan yang berlebihan. Sanjungan berlebihan biasanya diberikan oleh orang yang gila hormat kepada orang lain yang juga gila hormat. Menurut Andar Ismail, “pujian adalah kata-kata yang wajar yang mengungkapkan penghargaan dan apresiasi kita yang tulus terhadap perbuatan seseorang” (Selamat Menabur, 2007). Baginya, “pujian yang sehat dapat menimbulkan dorongan semangat atau encouragement, dan sekaligus “reinforcer” (penguat) atas perilaku yang baik”. Pujian yang sehat adalah salah satu bentuk ungkapan terima kasih yang dapat dikenang oleh seseorang selama bertahun-tahun. Namun sayangnya, kita cenderung pelit memuji keberhasilan atau perbuatan baik orang lain. Misalnya, ketika anak kita berbuat salah, maka kita langsung menegur kesalahannya, bahkan mungkin kita marahi, tetapi ketika dia melakukan apa yang baik, kita jarang sekali memujinya, karena kita beranggapan bahwa kebaikan itu sudah sepatutnya untuk dilakukan. Hal ini adalah pola pendidikan yang tidak adil dalam memperlakukan seorang anak yang akan berdampak negatif bagi perkembangan jiwanya.
Tuhan Yesus pun semasa hidup-Nya di dunia, memberikan teladan dengan memberikan pujian atas sikap atau perilaku yang baik dari orang lain. Yesus memuji kebesaran iman seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:9) dan seorang perempuan Kanaan (Matius 15:28). Yesus memuji sikap Maria yang memilih untuk duduk mendengarkan pengajaran-Nya (Lukas 10:38-42). Bukankah pada suatu saat kelak, kita juga rindu Tuhan memuji kita, dengan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan Tuanmu?” (Matius 25:21, 23).
Dalam kaitan dengan sikap mengapresiasi orang lain, Andar Ismail dalam bukunya Selamat Menabur (2007) menulis demikian:
Menyatakan apresiasi sebenarnya tidak sulit. Cukup dua atau tiga kalimat, entah lisan, tertulis atau melalui telepon. Yang sulit adalah bahwa untuk itu diperlukan jiwa yang besar dan kematangan diri. Orang yang berjiwa kerdil merasa tidak aman untuk menghargai keberhasilan orang lain. Mereka malah ingin menutup-nutupi prestasi orang lain. Kalau Anda mau coba, barangkali Anda membuat sesuatu lalu memberikannya kepada sepuluh orang. Bisa diduga bahwa diantara mereka ada yang cuek. Jangankan menghargai, mengucapkan terima kasih pun tidak. Tetapi bisa juga ada yang menyatakan apresiasi. Siapa orang itu? Sudah bisa diduga, orang yang memuji karya Anda adalah justru orang yang sudah matang dan berjiwa besar.

5.      Suka berterima kasih kepada orang lain dengan penuh kejujuran dan ketulusan
Berterima kasih kepada orang lain berkaitan dengan integritas dan kerendahan hati. Berterima kasih tanpa integritas adalah pujian yang tidak tulus dan sekadar “pemanis di mulut saja”. Berterima kasih juga melibatkan kerendahan hati untuk berkata, “Terima kasih, saya tidak mungkin bisa melakukannya tanpa bantuan Anda”.
Seringkali kita sulit berterima kasih kepada orang lain karena beberapa alasan. Pertama, kita cenderung beranggapan pihak yang mengucapkan terima kasih adalah pihak yang kedudukannya lebih rendah. Namun sebenarnya, apa salahnya orang tua mengucapkan terima kasih kepada anaknya, majikan kepada karyawannya, atau guru kepada muridnya, jika memang telah menerima kebaikan yang sepatutnya dihargai? Kedua, kita beranggapan bahwa pihak yang berterima kasih adalah pihak yang lemah, yang telah menerima pertolongan atau kebaikan orang lain. Gengsi dan harga diri kita terlalu tinggi untuk mengakui kenyataan ini. Padahal hidup ini sangat bersifat relasional. Memberi dan menerima adalah bagian hidup manusia. Ada saat-saat tertentu, kita menjadi penolong dan pemberi bagi orang lain, tetapi ada juga saat-saat tertentu kita perlu ditolong dan menerima kebaikan dari orang lain. Kita semua perlu menerima pengampunan, nasihat, penghiburan, penguatan, kritik, dan masukan dari orang lain. Tidak mungkin dalam hidup ini, kita selalu berada pada posisi sebagai penolong bagi orang lain. Bahkan Yesus Kristus pun, semasa hidupnya di dunia tidak selalu berada pada posisi sebagai penolong sesama manusia. Ada juga masa-masa, Yesus sebagai “penerima”. Pada masa kecil-Nya, Yesus menerima perawatan dan pengasuhan penuh dari Maria, ibu-Nya. Ia disuapi dan tubuh-Nya harus dibersihkan oleh ibu-Nya. Yesus dan para murid-Nya menerima dukungan dana dari sejumlah orang untuk pelayanan-Nya (Lukas 8:1-3). Yesus tidak menolak bantuan Simon dari Kirene untuk memikul kayu salib-Nya menuju Golgota (Lukas 23:26). Yesus menerima pertolongan orang lain supaya jasad tubuh-Nya yang sudah mati dapat dipindahkan ke dalam kubur (Yohanes 19:38-42). John Stott menulis dalam bukunya The Radical Disciple (2010):
Di dalam pribadi Kristus, kita belajar bahwa kebergantungan [dalam arti positif] tidaklah dapat membuat seseorang kehilangan martabat mereka, kehilangan nilai diri mereka yang tinggi. Dan jika sikap kebergantungan adalah sikap yang dianggap tepat oleh Allah, Pencipta semesta, maka tentu sikap itu tepat juga bagi kita.

Mungkin bisa disimpulkan, bahwa kadang-kadang kita sulit mengungkapkan terima kasih kepada orang lain, karena kurangnya sikap kerendahan hati di dalam diri kita. Kita sulit mengakui kebutuhan diri kita untuk dibantu oleh orang lain. Atau kurangnya keberanian dan kejujuran dalam diri kita, sehingga kita mungkin terlalu malu untuk memberitahu orang lain betapa berartinya mereka bagi kita. Kadang-kadang kita menganggap enteng kebaikan orang lain.
Jika kesadaran dan kebiasaan untuk berterima kasih kepada Tuhan adalah sesuatu yang baik, maka saya juga percaya bahwa kesadaran dan kebiasaan berterima kasih kepada orang lain adalah sesuatu yang sangat Alkitabiah. William Arthur Ward menyatakan, “Merasa berterima kasih, tetapi tidak mengungkapkannya ibarat membungkus kado, tetapi tidak memberikannya”.
Dr. William L. Stidger duduk dan menulis surat ucapan terima kasih kepada seorang guru karena guru itu dulu pernah membesarkan hatinya ketika dia menjadi muridnya tiga puluh tahun yang silam. Pekan berikutnya, dia menerima surat jawaban, yang ditulis dengan tangan gemetaran oleh gurunya yang sudah sangat lanjut usia itu. Surat itu berbunyi:
“William sayang. Aku ingin kau tahu betapa berartinya suratmu bagiku. Aku wanita yang sudah tua, berumur delapan puluh tahun lebih, tinggal sendirian di sebuah kamar yang sempit, memasak makananku sendiri, kesepian, dan rasanya seperti daun yang hanya tinggal sehelai pada sebatang pohon. Kamu pasti tertarik untuk mengetahuinya, William, bahwa aku telah mengajar selama lima puluh tahun, dan selama itu suratmu adalah surat pujian pertama yang pernah kuterima. Surat itu tiba di pagi hari yang dingin dan muram, tapi berhasil menyemarakkan hati tuaku yang kesepian. Selama betahun-tahun aku belum pernah merasa sebahagia ini”. (Martin Buxbaum, Table Talk for Family Fun)

6.      Menerima kelemahan dan keterbatasan diri sendiri
Anugerah Allah tidak menghilangkan kelemahan dalam diri orang percaya, bahkan hamba Allah atau pemimpin gereja sekalipun. Allah tidak pernah bermaksud menjadikan kita sebagai pribadi tanpa kelemahan atau pura-pura tanpa kelemahan. Justru kita harus mengakui dan membawa kelemahan-kelemahan itu ke hadapan Allah untuk dipulihkan oleh-Nya, sambil terus-menerus memandang kepada kasih karunia-Nya.
Orang percaya bukanlah orang yang kebal terhadap berbagai kelemahan. Hal yang menarik adalah Alkitab justru tidak pernah menutup-nutupi kelemahan dan dosa-dosa dari tokoh-tokoh Alkitab. Alkitab dengan jujur mencatat kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Nuh yang mabuk (Kejadian 9:20-27), Abraham dengan kebohongannya (Kejadian 12:10-20), Ishak yang pilih kasih kepada Esau (Kejadian 25:28), Yakub yang suka menipu (Kejadian 27:18-30), Daud yang berzinah dan merancangkan pembunuhan dengan licik (2 Samuel 11:1-27), Salomo dengan istri-istrinya yang menyembah berhala (1 Raja-raja 11:1-13), Petrus yang menyangkal Yesus (Matius 26:69-75), dan Paulus dengan pergumulan “duri dalam dagingnya” (2 Korintus 12:7-10). Kelemahan dalam diri manusia sangat banyak bentuknya, bisa berupa kelemahan fisik, dalam hal emosional, karakter, atau spiritual. J.I. Packer dalam bukunya Never Beyond Hope: How God Touches and Uses Imperfect People (2000) menulis:
Alkitab memberikan kepada kita kisah-kisah kehidupan dari banyak pribadi yang Allah pilih dan panggil untuk pelayanan-Nya. Berulang-ulang kali Alkitab menceritakan tentang kelemahan, kejatuhan moral, dan kegagalan spiritual dalam kehidupan mereka. Cara Allah terhadap orang-orang ini adalah mengubah mereka sementara Ia memakai mereka, dan memakai mereka sambil memperbaiki mereka. Berulang kali kisahnya adalah tentang Allah yang menerima kemuliaan melalui pelayanan yang diberikan, sementara pada saat yang sama orang yang melakukan pelayanan itu dalam keadaan masih sangat tidak sempurna. Tetapi Allah mengajar mereka pelajaran tentang hidup yang benar sambil ia terus memakai mereka. Pengudusan dan pelayanan berjalan bersama. Pengudusan bertumbuh sementara pelayanan berlangsung.

Saya bukan bermaksud menyatakan bahwa kelemahan manusiawi menjadi “surat izin” untuk berbuat dosa, bukan juga menganggap enteng kelemahan-kelemahan yang ada pada diri kita. Namun, hal yang ingin saya tekankan adalah kesadaran keberdosaan dan ketidaksempurnaan diri kita justru seharusnya membawa kita hidup makin rendah hati, karena kita sangat rentan dengan dosa dan kita membutuhkan belas kasihan Allah setiap saat.
Selanjutnya, orang yang rendah hati sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya memiliki banyak keterbatasan. Dia mengakui dengan jujur dan ketulusan bahwa dirinya tidak dapat melakukan semua hal. Dia tidak malu untuk mengakui kebutuhannya akan orang lain. Kita bukanlah Superman. Namun, John Ortberg dalam bukunya Kehidupan yang Selalu Anda Dambakan (1999) menyesalkan:
Kadang-kadang kita orang dewasa mencoba menjadi Superman. Kita berusaha tampak lebih pintar, lebih sukses, atau lebih rohani daripada sebenarnya. Kita mencoba menjawab pertanyaan yang tidak kita mengerti. Tapi itu beban berat, menjadi Superman setelah dewasa.

7.      Selalu ingin diajar dan belajar
John of the cross menyatakan bahwa “orang yang rendah hati memiliki keinginan yang mendalam untuk diajar oleh orang lain yang dapat membawa manfaat bagi diri mereka sendiri.” Thomas Kempis menasihati kita, “Jangan terlalu yakin dengan pendapat Anda sendiri, tetapi bersedialah mendengarkan apa yang orang lain katakan”. Jiwa yang rendah hati ditandai oleh hasrat yang besar untuk mau diajar dan belajar di sepanjang hidupnya. Mau diajar dan belajar dari berbagai macam sumber, baik dari pengalaman hidup diri sendiri dan orang lain, buku-buku, media cetak, dan berbagai sumber ilmu lain yang tidak ada habisnya. Belajar adalah aktivitas seumur hidup (Life long learning).
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya diperbantukan pelayanan praktik di salah satu gereja di Jakarta, salah seorang Hamba Tuhan senior pernah mengatakan pada saya demikian, “Binsar, ternyata belajar bahasa Yunani dan Ibrani ketika di STT itu tidak terpakai waktu pelayanan”. Saya cukup terkejut dengan pernyataan itu. Nampaknya, bagi Hamba Tuhan ini, persiapan khotbah tidak perlu lagi menelusuri sampai ke bahasa asli Alkitab, karena jemaat awam tidak mengerti hal itu. Saya berpendapat bahwa penekanan pada sebuah khotbah adalah aplikasi dari teks Alkitab yang dibaca. Tetapi bagaimana mungkin kita bisa menarik aplikasi dari sebuah teks Alkitab secara akurat jika kita tidak menemukan arti mula-mula teks Alkitab (original meaning) yang sesungguhnya? Untuk menemukan arti mula-mula dari teks Alkitab, seringkali kita harus menelusuri bahasa aslinya. Bagi saya, berkhotbah adalah memberitakan kebenaran firman Allah secara akurat, tepat, “mendarat” di hati umat, dan mampu menjawab kebutuhan umat. Untuk dapat berkhotbah dengan baik perlu terus-menerus belajar dan memperlengkapi diri.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, semangat mau terus belajar dan memperlengkapi diri, tergolong rendah. Hal ini terlihat dari hasil survei internasional yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat kedua dari bawah dalam hal kemampuan memahami isi buku (Andar Ismail, Selamat Bergereja, 2009). Dalam masyarakat kita, budaya membaca buku sangat rendah karena kegiatan itu dianggap hanya untuk orang-orang yang masih sekolah. Begitu selesai sekolah, tidak lagi membiasakan diri membaca buku. Padahal minat baca adalah dasar semangat belajar.
Bahkan, menurut pengamatan Dr. Andar Ismail, minat baca para pendeta pun masih rendah. Kalaupun mereka banyak membeli buku, namun masih sedikit yang dibaca dan dicerna dengan baik. Sayang sekali jika buku-buku dibeli hanya dipajang sebagai simbol status diri.
Andar Ismail dalam bukunya Selamat Bergereja (2009) menulis demikian:
Menurut Calvin, tiap pendeta memerlukan pietas literata, yaitu kesalehan melalui literatur atau pertumbuhan diri melalui banyak membaca buku. The Westminster Dictionary of Christian Education mencatat Calvin berucap, “No one is a good minister of the Word of God who is not first a scholar”. Kata scholar di sini berarti terpelajar dan suka belajar.

8.      Lebih mengutamakan penilaian Allah daripada penilaian manusia
Orang yang rendah hati selalu berusaha hidup sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah, tetapi dia sendiri tidak terlalu mencemaskan penampilan atau citra dirinya. John Ortberg menyatakan bahwa “mencemaskan penampilan mungkin adalah bentuk keangkuhan yang paling umum”. Orang yang rendah hati mampu memilah dengan cermat dan bijaksana, mana penilaian orang lain yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Dia mendengarkan dengan bijak apa kata orang tentang dirinya, tetapi hidupnya tidak dikendalikan oleh penilaian atau pendapat orang lain. Orang yang rendah hati akan mempertimbangkan dengan serius pendapat dan nasihat orang lain, namun dirinya tidak kecanduan akan persetujuan dari orang lain.
Kita cenderung tergoda untuk menyenangkan semua orang. Bahkan seringkali kita menurunkan standar firman Tuhan, kompromi dengan dosa demi menyenangkan orang lain, atau supaya diri kita bisa diterima oleh kelompok lain. Kita lupa, Tuhan Yesus saja selama hidup di dunia, tidak bisa menyenangkan semua orang. Jadi, keliru sekali, jika kita melakukan apa yang Yesus sendiri tidak pernah lakukan, yaitu berusaha untuk menyenangkan semua orang. Jika Yesus dapat menyenangkan semua orang, maka Yesus tidak mungkin difitnah dan mati dengan cara yang hina, yaitu disalib.
Saya pernah berbagi beban pelayanan via SMS pada pertengahan bulan Juli 2011 yang lalu kepada salah seorang teman saya, seorang Hamba Tuhan yang sedang melayani penuh waktu di salah satu gereja di Jakarta. Kepadanya, saya mensharingkan salah satu alasan saya untuk beberapa tahun ke depan saya ingin melayani di gereja lokal, yaitu saya ingin melalui masalah-masalah hidup bergereja yang sangat kompleks dapat menjadi sarana yang Tuhan pakai untuk membawa saya lebih serupa dengan Tuhan Yesus. Lalu dia membalas SMS saya dengan menyatakan, “Kadang-kadang masalah gereja bisa menjebak kita bukan makin serupa dengan Yesus, tetapi serupa dengan anggota DPR. Jadi hati-hati jaga kerohanian, Sar”. Saya tersenyum ketika membaca SMS balasannya itu. Saya bisa menangkap apa maksudnya. Terkadang dalam menangani masalah-masalah hidup bergereja, Hamba Tuhan tergoda untuk menjadi orang yang otoriter atau “menjilat” orang lain demi kepentingan diri sendiri, sehingga tidak lagi mengutamakan apa yang disukai Tuhan. Saya sungguh menyadari bahwa hal ini juga adalah godaan dan tantangan bagi saya. Baik sikap otoriter maupun “menjilat”, keduanya bertentangan dengan sifat kerendahan hati.
Charles Swindoll dalam bukunya A Life Well Lived menulis, “kerendahan hati berarti mengutamakan nama baik Tuhan daripada nama baik diri sendiri”. Betapa mengerikan, jika kita rela mempermalukan nama Tuhan, bahkan menjual nama Tuhan demi untuk memelihara “nama baik sendiri”. Dalam Galatia 1:10 (BIS), rasul Paulus menulis, “Apakah dengan itu nampaknya saya seolah-olah mengharap diakui oleh manusia? Sama sekali tidak! Saya hanya mengharapkan pengakuan dari Allah. Apakah saya sedang berusaha mengambil hati manusia supaya disenangi orang? Kalau saya masih berbuat begitu, saya bukanlah hamba Kristus.” Selanjutnya, Michael Ramsey, pemimpin tertinggi Gereja Anglikan Inggris (Archbishop of Canterbury) pernah memberikan nasihat, “Jangan kuatir tentang status.... Hanya satu status yang diminta Tuhan untuk kita perhatikan, yaitu status untuk mendekat kepada-Nya”.

9.      Tidak reaktif  dan balas dendam ketika direndahkan oleh orang lain
Orang yang rendah hati mampu melihat bahwa setiap hinaan dan cercaan dari orang lain merupakan sarana yang diizinkan Tuhan untuk membawa dirinya makin dewasa di dalam Kristus dan makin serupa dengan Kristus. Kadang-kadang, kita “butuh” dicela dan direndahkan, supaya kita bisa lebih menghargai orang lain. Michael Ramsey, pemimpin tertinggi Gereja Anglikan Inggris (Archbishop of Canterbury) pernah memberikan nasihat:
Siapkan diri untuk menerima perendahan. Tentu proses ini akan terasa sangat menyakitkan, namun hal ini akan menolongmu untuk menjadi rendah hati. Akan terdapat perendahan yang sepele. Terimalah itu. Namun akan terdapat juga perendahan yang lebih besar.... Semua ini dapat menjadi kesempatan yang begitu limpah untuk sedikit lebih dekat dengan Tuhan kita yang rendah hati dan tersalib.

Orang yang hidup dalam kerendahan hati juga tidak reaktif  terhadap fitnahan atau pendapat orang lain yang berlebihan tentang dirinya. Bahkan pada kondisi-kondisi tertentu, dengan hikmat dari Allah, mungkin dia akan memilih untuk berdiam diri, karena dia percaya bahwa Allah adalah Pembela dirinya. Richard Foster menulis:
Salah satu keuntungan dari berdiam diri adalah kebebasan untuk menyerahkan pembenaran seseorang menjadi tanggung jawab Allah sepenuhnya. Kita tidak perlu meminta orang lain berterus terang. Ada sebuah kisah tentang seorang biarawan Abad Pertengahan yang tanpa bukti dituduh melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu. Pada suatu hari dia memandang dari jendelanya ke luar, dan menyaksikan seekor anjing menggigit dan merobek sepotong permadani yang tergantung di tempat jemuran. Ketika ia perhatikan, Tuhan berbicara kepadanya, “Inilah yang sedang Aku lakukan pada reputasimu. Tetapi jika Engkau mau percaya pada-Ku, engkau tidak perlu kuatir tentang pendapat orang lain”. Mungkin yang terpenting dari semuanya, berdiam diri mengajak kita supaya percaya bahwa Allah dapat membenarkan dan meluruskan banyak perkara. (Gerald R. McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati, 2001)

Hal ini bukan berarti kita menerima dengan pasrah semua sikap orang lain yang semena-mena terhadap diri kita. Bukan berarti kita tidak boleh membela diri terhadap tuduhan palsu yang dilontarkan oleh orang lain kepada kita. Namun hal utama yang ingin ditekankan adalah kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan. Ketika kita dihina dan direndahkan oleh orang lain, jangan kita membalas dengan merendahkan dan menghina kembali orang itu. Saya mengakui bahwa hal ini sangat sulit dilakukan, karena kecenderungan diri manusia pada umumnya adalah membalas yang baik dengan yang baik, dan yang jahat dengan yang jahat. Yesus Kristus dalam dalam Lukas 6:27-36 (TB LAI) mengatakan:
“Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.... Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.... Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

Perjuangan untuk hidup rendah hati merupakan sebuah proses seumur hidup. Kita harus terus-menerus berjuang dengan pertolongan Roh Kudus untuk hidup makin rendah hati seperti Yesus Kristus. Dalam perjuangan untuk hidup rendah hati itu, tentu ada pergumulan, kegagalan, dan pertumbuhan. Kerendahan hati kita tidak pernah konstan karena kita masih terus bergumul dengan dosa. Ada pada saat-saat tertentu kita menyombongkan diri, dan ada juga pada saat-saat tertentu kita mungkin rendah hati. Dalam area-area hidup tertentu, kita mungkin dapat bersikap rendah hati, tetapi dalam area-area yang lain, kita mungkin begitu rentan dengan kesombongan. Charles Swindoll dalam bukunya A Life Well Lived menulis demikian, “Di dalam diri manusia, selalu terjadi peperangan antara kesombongan dan perjuangan untuk hidup rendah hati”. Kita perlu terus-menerus bertumbuh dalam kerendahan hati.
Dengan demikian, tidak ada seorang pun diantara kita yang dapat berkata, “Saya telah hidup dengan rendah hati dan bebas dari kesombongan”. Kerendahan hati memiliki sifat paradoks, seperti yang dinyatakan oleh E.D. Hulse dalam Bashford Methodist Messenger, “Kerendahan hati adalah sesuatu yang aneh. Begitu kita mengira telah mendapatkannya, kita kehilangan sifat itu”.
Kita tidak pernah mencapai kesempurnaan selama di dunia ini. Sebagai orang percaya, selama di dunia, kita selalu berada dalam ketegangan eskatologis antara “the already, but not yet”. Oleh sebab itu, dosa kesombongan tidak dapat kita lenyapkan sepenuhnya di dalam diri kita. Kita menantikan penyempurnaan dari Allah yang akan dilakukan-Nya pada akhir zaman nanti. Pada hari yang bahagia itu, dengan mengenakan tubuh kebangkitan yang mulia, kita umat percaya, akan mengalami keadaan yang disebut oleh Bapa Gereja, Augustinus, “non posse peccare” (tidak dapat berdosa lagi). Kita akan hidup sepenuhnya memancarkan kemuliaan Allah Tritunggal dalam persekutuan yang kekal dengan diri-Nya. 
By: Binsar