Thursday, December 30, 2010

BANGKRUTNYA KESALEHAN SOSIAL

Salah satu cerpen terkenal, ditulis oleh almarhum Haji Ali Akbar Navis berjudul “Robohnya Surau Kami” (diterbitkan pertama kali tahun 1955). Cerpen ini telah dicetak puluhan kali dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Jepang. Cerpen ini berisi kritik sosial yang tajam untuk meninjau ulang peran agama dalam masyarakat. Cerpen ini dinilai sangat berani. Kisah di dalamnya, menjungkirbalikkan pemikiran orang-orang awam pada umumnya, yaitu dikisahkan seorang “alim” yang justru dimasukkan Tuhan ke dalam neraka. Dengan kealimannya, orang itu justu melalaikan pekerjaan dan tanggung jawab sosialnya di dunia, secara khusus mengabaikan keluarganya sendiri, dan tetap rela menjadi orang miskin.
“Robohnya Surau Kami.” Judul yang dimaksudkan oleh Navis di sini, bukanlah dalam pengertian “robohnya bangunan secara fisik”, tetapi “robohnya tata nilai dalam masyarakat”, khususnya berkaitan dengan praksis hidup keberagamaan. “Surau” dalam judul cerpen itu, merupakan lambang (metafora) dari “kesalehan”. Dalam lingkungan dan tradisi Minangkabau, tempat Navis dilahirkan, surau memiliki peranan yang signifikan, sebagai tempat melakukan kegiatan keagamaan secara luas, seperti mengaji Al-Qur’an, belajar agama, kegiatan ritual-seremonial, bahkan dijadikan tempat menginap bagi musafir, tempat berkumpul, dan tempat rapat desa. Konsep “kesalehan” yang ditekankan oleh Navis dalam cerpen itu, bukanlah kesalehan ritual-seremonial agama (mengaji, shalat, puasa, naik haji), melainkan kesalehan dalam aspek yang lebih luas dan holistik, yaitu “kesalehan sosial” (seperti bekerja dengan tekun pada jalan yang benar, mengolah hasil bumi atau kekayaan alam, berbelas kasihan, memedulikan dan melayani sesama).
Dalam cerpen ini, dikisahkan ketika di akhirat, orang-orang yang sudah meninggal sedang antre menunggu penghakiman terakhir dari Tuhan, apakah mereka akan masuk surga atau neraka. Tibalah giliran, Haji Saleh, seorang yang taat beribadah semasa hidupnya. Ketika menghadap Tuhan, Haji Saleh tersenyum, karena dia sangat yakin pasti masuk surga.
Tuhan bertanya kepada Haji Saleh: “Apa kerjamu semasa di dunia?” Haji Saleh menjawab dengan yakin: “Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsyafkan umat-Mu.”
Namun, tidak disangka-sangka, Haji Saleh dibuang ke neraka oleh Tuhan. Oleh karena heran dan merasa tidak dapat menerima keputusan itu, akhirnya Saleh mengumpulkan beberapa kenalannya yang dulu taat beribadat ketika di dunia, tetapi juga dibuang ke neraka. Mereka bersama-sama pergi menghadap Tuhan sekali lagi, berdemonstrasi, memprotes keputusan-Nya yang mereka anggap keliru. Lalu terjadilah dialog antara Tuhan dengan mereka.
Tuhan: “Kalian di dunia tinggal di mana?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia”.
Tuhan: “O, di negeri yang tanahnya subur itu, sampai tanaman tumbuh tanpa ditanam? Negeri yang tambangnya kaya-raya itu, tetapi penduduknya banyak melarat, bukan? Negeri yang selalu kacau karena kalian suka berkelahi, sedangkan kekayaan alam kalian dikeruk orang lain?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Benar, benar, Tuhan. Tapi kami tak mau tahu dengan kekayaan alam itu, yang penting bagi kami adalah menyembah dan memuji-Mu.”
Tuhan: “Kalian rela tetap melarat, bukan? Bahkan karena kerelaan kalian itu, anak cucu kalian juga ikut melarat, bukan?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Benar, kami rela sekali, Tuhanku. Walaupun anak cucu kami juga melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.”
Tuhan: “Tapi seperti kalian juga, apa yang disebutnya [ajaran agama] tidak dimasukkan ke dalam hatinya, bukan?”
Saleh dan rekan-rekannya: “Ada, yang masuk ke dalam hati, Tuhanku.”
Tuhan: “Kalau ada yang masuk di hati, mengapa kalian membiarkan diri tetap melarat, sehingga anak-cucu kalian teraniaya, dan membiarkan kekayaan alam sendiri diambil orang lain untuk anak-cucu mereka? Mengapa kalian lebih suka saling menipu dan memeras? Aku beri kalian negeri yang kaya-raya, namun kalian malas dan tidak suka bekerja keras. Kalian lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Kalian kira Aku ini suka pujian, mabuk disembah, hingga kerja kalian cuma memuji-muji dan menyembah Aku saja? Tidak. Kalian semua harus masuk neraka!”
Mendengar hal itu, semua pucat pasi dan terdiam. Kini tahulah mereka apa yang sebenarnya diridhai atau diperkenan oleh Allah di dunia. Namun, Haji Saleh masih penasaran, tetapi dia tidak berani bertanya kepada Tuhan. Akhirnya, Haji Saleh bertanya kepada malaikat yang menggiring mereka: “Menurut pendapatmu, salahkah jika kami menyembah Tuhan di dunia?”
Lalu malaikat itu menjawab: “Tidak salah. Tetapi engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Engkau takut masuk neraka, karena itu engkau taat bersembahyang. Tetapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak-istrimu sendiri, sehingga mereka itu kocar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egois. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tetapi engkau tidak mempedulikan mereka sedikit pun.”
Dalam cerpen ini, Navis menggugat konsep “kesalehan” yang sempit dalam beragama, yaitu kesalehan yang hanya berhenti pada tataran individual-ritual dan hanya sebatas penentu identitas kelompok agama. Dia mengangkat pentingnya dimensi sosial-horizontal dari hidup beragama, yaitu “kesalehan sosial” yang berorientasi pada kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Cerpen ini ditulis oleh A.A. Navis, seorang sastrawan besar yang beragama Islam. Dalam cerpen itu, Navis seolah-olah berasumsi bahwa “kesalehan sosial” menjadi tolak ukur penghakiman di akhirat. Ditinjau dari perspektif iman Kristen, saya mengimani dan mengamini bahwa keselamatan adalah semata-mata anugerah Allah yang didasarkan pada karya Yesus Kristus, bukan didasarkan pada perbuatan kesalehan manusia. Namun, saya percaya bahwa iman kepada Yesus Kristus bukan semata-mata bersifat individual-vertikal, tetapi juga memiliki dimensi sosial-horizontal. Kasih kepada Tuhan diwujudnyatakan melalui kasih dan kepedulian kepada sesama dan dunia ciptaan Tuhan. Disinilah letak kesamaan keprihatinan Navis dan saya terhadap kondisi keberagamaan di Indonesia, yaitu orang yang mengaku dirinya beragama, tetapi kehilangan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Seolah-olah beragama menjadi wilayah yang sangat privat, yang tidak lagi bersentuhan dengan ruang publik. Motivasi beragama pun menjadi individualistis-egosentris. Ternyata ada begitu banyak motivasi yang keliru dari orang beragama dan rajin bersembahyang. Misalnya, karena takut dihukum Tuhan, takut masuk neraka, mengejar berkat materi seolah-olah Tuhan bisa “disogok” dengan pemberian manusia, bersembahyang untuk menghindari tekanan sosial dari masyarakat, untuk mencari penghargaan dan pujian yang semu dari manusia supaya dilihat lebih religius dari orang lain, dan sebagainya. Semua motivasi itu jika ditelusuri ke akarnya, sebenarnya bermuara pada kepentingan diri sendiri (egoisme), bukan dimotivasi oleh kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama. Seolah-olah Tuhan dapat “diperalat” untuk memuaskan keinginan manusia. Dengan demikian, relasi antara manusia dengan Tuhan seperti seorang anak kecil yang taat kepada orang tuanya dengan tujuan untuk memperoleh hadiah yang diinginkannya. Ada ubi, ada talas; ada budi, ada balas.
 Selanjutnya, aspek yang akan datang (urusan masuk surga atau neraka) terlalu diberi penekanan yang berlebihan, sementara aspek kekinian yang sedang dijalani umat di dunia ini, tidak diberi perhatian secara tepat. Orang berlomba-lomba dengan penuh antusias ingin masuk surga dan berduyun-duyun menaikkan doa meminta berkat Tuhan bagi bangsa Indonesia. Namun sayangnya, tidak berlomba-lomba untuk memerangi keegoisan diri sendiri, tidak suka bekerja keras, tidak suka taat hukum, dan hidup tidak berdisiplin.
Keberagamaan di Indonesia mengalami keadaan yang memilukan, yaitu bangkrutnya kesalehan sosial, seolah-olah agama kehilangan perannya di tengah-tengah masyarakat. Apakah “agama” yang salah? Tidak! Kesalahan tentu bukan terletak pada agama itu sendiri, tetapi pada para pemeluknya.
Hasil survei pelaku bisnis  yang dirilis pada hari Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis. Padahal bangsa Indonesia dikenal sebagai “bangsa yang religius” yang didirikan di atas dasar nilai-nilai luhur Pancasila. Korupsi di negara ini justru dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu malu mengaku dirinya sebagai orang beragama. Sambil beribadat, sambil terus melakukan korupsi. Dengan hasil korupsi mereka menafkahi keluarganya, jalan-jalan ke luar negeri, menyuap jaksa dan hakim yang seharusnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran, bahkan mungkin hasil korupsi itu sebagian diberikan ke rumah ibadat, untuk beramal dan bersedekah. Korupsi telah menjadi “dosa kolektif” yang membudaya dalam masyarakat kita. Dalam budaya korupsi, maka tindakan korupsi bukan lagi dianggap sebagai hal yang memalukan.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 1 Januari sampai 30 Juni 2009, kasus korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian negara sebesar 1,17 triliun rupiah. Sedangkan dari 1 Januari sampai 30 Juni 2010, kasus korupsi yang terungkap malah meningkat drastis menjadi 176 kasus dengan tersangka 441 orang dan kerugian negara senilai 2,1 triliun rupiah (Subhan S.D., “Gagalnya Transformasi Nilai-Nilai”, Kompas, 10 Agustus 2010). Menurut ICW, pada periode Januari – Juni 2010 itu, aktor utama korupsi adalah kaum eksekutif, yaitu 280 pejabat dari berbagai tingkatan (63, 49%). Disusul oleh pihak swasta sebanyak 85 orang (19,27%), kemudian anggota Dewan sebanyak 52 orang (11,79%) menjadi tersangka korupsi (Ahmad Arif, “Korupsi Kemanusiaan, Kemanusiaan Yang Terkorupsi”, Kompas, 11 Agustus 2010).
Praktik korupsi sebenarnya bukan hanya menimbulkan kerugian secara material bagi negara dan memukul sendi-sendi ekonomi bangsa, tetapi juga menjatuhkan harkat-martabat manusia sebagai gambar Allah yang seharusnya menjadi tuan dan penatalayan atas harta/uang, dan bukan sebagai budak harta/uang. Korupsi merusak moralitas bangsa dan menghambat terwujudnya keadilan sosial. Itulah sebabnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengategorikan praktik korupsi sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bukan hanya korupsi yang merajalela, tetapi kekerasan antarumat beragama pun seringkali masih terjadi, sebuah “pekerjaan rumah” bagi pemerintah yang sepertinya tidak kunjung usai. Kita masih sering menyaksikan berbagai peristiwa penutupan rumah-rumah ibadah secara paksa dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai hidup beragama. Bahkan yang menyedihkan adalah kekerasan antarsesama itu dilakukan atas nama agama, seolah-olah agama melegitimasi tindakan kekerasan itu. Hal ini diperkuat dengan laporan akhir tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Moderate Muslim Society (MMS), terdapat 81 kasus intoleransi pada tahun 2010, diantaranya ada 33 aksi intoleransi yang dialami umat Kristen dan 25 aksi intoleransi yang dialami pengikut Ahmadiyah (Hasibullah Satrawi, “Mengenang Sang Pelindung Minoritas”, Kompas, 31 Desember 2010).
Munculnya Perda-Perda Syariah dan Perda Injil yang diterapkan di wilayah tertentu di Indonesia, menunjukkan belum tuntasnya pemahaman dan implementasi mengenai hubungan antara agama dan negara. Padahal sejak awal berdirinya, negara Indonesia dibangun berdasarkan realitas kemajemukan yang diyakini sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga dinodai dengan merebaknya konsep “mayoritas dan minoritas” yang diimplementasikan dalam hubungan antarumat beragama yang rentan menimbulkan konflik sosial. Ada anggapan, minoritas harus selalu mengalah terhadap arogansi dan kekuasaan mayoritas.
Semua fakta di atas menunjukkan terjadinya krisis kesalehan sosial kita. Ternyata euforia hidup keberagamaan di Indonesia yang ditandai dengan meriahnya upacara keagamaan dan makin maraknya pendirian rumah-rumah ibadah, tidak serta-merta mendorong lajunya kesalehan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Mengapa dalam konteks negara kita, seakan-akan tidak ada korelasi antara religiositas dan kesalehan sosial? Dimanakah dampak pesan-pesan agama selama ini yang menebarkan keadilan, kebenaran, kebaikan, kejujuran, dan kasih kepada sesama manusia? Dimanakah peran agama dalam mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik?
Saya menyadari, tidak ada jalan pintas untuk membentuk kesalehan sosial dalam masyarakat kita. Hal ini adalah sebuah proses panjang yang tidak mudah. Namun demikian, ada beberapa langkah mendasar yang dapat kita lakukan untuk mendorong lajunya kesalehan sosial. Pertama, kesalehan sosial harus dimulai dari keteladanan diri sendiri, terutama dimulai dari keteladanan para pemimpin negara dan pemimpin agama (rohaniwan). Pembentukan kesalehan sosial mensyaratkan sebuah keteladanan hidup. Masalahnya adalah masyarakat Indonesia “kehilangan” tokoh teladan. Alangkah ironisnya, jika seorang pejabat negara meminta rakyat untuk mencintai negara ini, tetapi dia sendiri mencuri uang negara. Seorang pendeta mengkhotbahi umat supaya saling menghargai, namun ia sendiri iri hati dan berusaha menjegal rekan pelayanannya. Benarlah apa yang pernah dinyatakan oleh Leo Tolstoy, “Banyak orang yang berambisi ingin mengubah dunia, tetapi terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri”. Kedua, pemerintah perlu menciptakan sistem dan iklim kehidupan bernegara yang mendorong lajunya kesalehan sosial melalui perlindungan dan penegakan hukum bagi setiap warganegaranya tanpa pandang bulu. Semboyan “fiat justitia ruat caelum” (tegakkan hukum walaupun langit harus runtuh) harus direalisasikan secara konkret oleh Pemerintah. Maraknya mafia hukum dan peradilan di Indonesia telah melukai hati seluruh rakyat yang merindukan tegaknya keadilan dan kebenaran. Ketiga, pesan-pesan keagamaan yang disampaikan oleh para rohaniwan harus mampu mengintegrasikan kesalehan individual dengan kesalehan sosial. Para pemimpin agama harus mendorong umatnya untuk tidak terkungkung dalam fanatisme identitas kelompoknya, tetapi berjuang untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bersama. Kita patut belajar meneladani Gus Dur, dalam hal kemampuannya untuk memadukan dan menyelaraskan nilai-nilai luhur agama dengan nilai-nilai kebangsaan. (Binsar)

Saturday, December 18, 2010

BANGGA BERAGAMA KRISTEN?



Banggakah kita beragama Kristen? Orang Kristen berarti “orang yang menjadi pengikut Kristus”. Namun, pertanyaannya adalah apakah orang lain melihat Kristus yang hidup di dalam diri kita? Ada beberapa bentuk ungkapan atau ekspresi religius seseorang dalam hidup kekristenannya, yaitu:



 1.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara verbal.
Dalam percakapan sehari-hari, kalau orang lain bertanya kepada kita: “Apa kabar?” Kadang-kadang (mungkin ada yang lebih sering lagi) kita menjawab: “Haleluya, Puji Tuhan!” Ketika sembuh dari sakit, kita juga biasanya berkata: “Haleluya!” Entah berapa kali kata itu diucapkan sebagai pemanis dalam percakapan atau dengan tujuan menunjukkan identitas kekristenan kita. Dalam doa-doa, kita juga menyebut dan memanggil nama “Tuhan” atau “Allah”, baik dalam doa-doa pendek maupun doa-doa yang panjang.
2.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara ornamental.
Pergi kemana-mana, orang Kristen tipe ini suka menggunakan simbol-simbol kekristenan. Memakai kalung salib, anting-anting bentuk salib, baju yang bergambar atau bertuliskan tentang iman Kristen (seperti: Jesus loves me, I love Jesus, dan sebagainya), dan di mobil dipasang sticker yang menyatakan identitas kekristenannya. Dari kejauhan orang lain sudah tahu, mobil itu milik orang Kristen.
3.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara ritual-seremonial.
Mungkin diantara kita ada orang Kristen yang sebelum dan sesudah makan selalu berdoa. Setiap hari bersaat teduh, bermeditasi. Setiap minggu pergi beribadah ke gereja, menyanyikan pujian kepada Allah, mengaku dosa, membaca Alkitab, dan memberikan persembahan. Di hari-hari tertentu atau hari-hari lain, mungkin kita melakukan doa puasa, mengikuti Perjamuan Kudus, memberitakan Injil, dan sebagainya. Hidup kita bergerak dari satu hari raya ke hari raya lainnya, mulai dari Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan Yesus, Pentakosta, dan sebagainya. Hidup kita dipenuhi jadwal ritus keagamaan, mulai dari ritual harian, mingguan, dan tahunan.
4.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara intelektual.
Yesus Kristus dalam Matius 22:37 memerintahkan kita untuk mengasihi Allah dengan seluruh keberadaan diri kita, termasuk mengasihi Allah dengan segenap “akal budi” kita (NIV: Love the Lord your God... and with all your mind”). Setiap bentuk kekristenan yang menolak atau meremehkan arti pentingnya “pemikiran” atau “intelektualitas”, bukanlah kekristenan yang Alkitabiah. Itulah sebabnya, kepercayaan Kristen diformulasikan dalam bentuk doktrin atau pengakuan iman. Hasil konsili dari Bapa-Bapa Gereja (misalnya, Konsili Chalcedon tahun 451) memuat “rumusan intelektual-teologis” tentang iman Kristen, khususnya berkaitan tentang doktrin Kristus. Demikian pentingnya identitas iman Kristen yang dirumuskan secara intelektual-teologis, maka dalam setiap kebaktian hari Minggu, kita mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli.  
Seorang tipe intelektual, merasa sangat dekat dengan Allah ketika mempelajari sesuatu yang baru tentang Dia yang sebelumnya tidak dipahaminya. Doktrin atau pengajaran iman Kristen menjadi sesuatu yang sangat menarik dan membangkitkan hasratnya untuk lebih mengasihi Allah.
Apakah salah mengekspresikan hidup kekristenan dengan keempat bentuk di atas? Tentu tidak! Hidup kekristenan tidak mungkin bisa terlepas dari ekspresi religius secara verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual. Keempat bentuk ekspresi religius itu jika dipahami dan dipraktikkan secara tepat dan proporsional, justru makin memperdalam keintiman relasi seseorang dengan Allah. Tetapi mengapa terdapat beberapa bagian Alkitab yang mengecam ekspresi religius di atas?
       Misalnya, terhadap orang yang sebentar-sebentar menyebut nama “Tuhan”, Yesus memperingatkan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku...” (Matius 7:21). Mengenai orang yang suka memakai ornamen atau atribut religius, Yesus berkata, ”Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang (Matius 23:5). 
      Selanjutnya, kepada mereka yang sangat menekankan ibadah ritual-seremonial, firman Tuhan memperingatkan,”Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi. Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:4-7).
     Terhadap mereka yang menekankan ekspresi religius dalam bentuk intelektual, ada bahaya yang harus diwaspadai, yaitu kesombongan rohani, suka perdebatan teologis dengan sikap menghakimi, atau tahu banyak tentang kebenaran, tetapi mengabaikan kebenaran. FirmanTuhan mengingatkan, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?” (Yakobus 2:19-20).

Lalu kita mulai berpikir, apa yang salah dengan ekspresi religius demikian? Ternyata Allah sangat mengecam ekspresi religius (verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual) yang terpisah dari kesucian hidup sehari-hari (ibadah moral). Dr. John Stott pernah menulis, “Ibadah tanpa kesucian hidup adalah kebencian di mata Allah!” Allah melalui nabi Amos, pernah mengecam umat Israel yang melakukan ibadah lahiriah, tetapi hidup mereka mengabaikan kebenaran dan keadilan terhadap sesama manusia: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:21-24).
Iman Kristen yang sejati tidak membuang atau merendahkan nilai dari ekspresi religius verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual, tetapi keempat hal itu saja tidak cukup. Ekspresi keagamaan yang sejati harus melibatkan bentuk kelima, yaitu “ibadah rohani”, ibadah moral, ibadah yang meliputi seluruh aspek hidup untuk melakukan kehendak Allah. Hal ini ditegaskan oleh rasul Paulus, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Paulus mengingatkan kita bahwa ibadah sejati, bukan sekadar ekspresi verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual, tetapi seluruh hidup kita yang menyenangkan hati Tuhan. 
Lalu, bolehkah kita bangga beragama Kristen? Silakan, boleh-boleh saja. Tetapi salah besar dan sangat disayangkan, jika hidup kekristenan kita hanya diungkapkan sebatas pada ekspresi religius verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual. Seringkali kita terjebak dalam formalisme, ritualisme, dan simbolisme agama Kristen, sedangkan esensi kekristenan atau inti ibadah itu sendiri luput dari keseharian kita. 
Filsuf Francois Duc de Levis (1764-1830) pernah menulis, “Noblesse oblige”, yang artinya, “sebutan yang luhur mengandung tanggung jawab yang luhur pula”. “Orang Kristen adalah pengikut Kristus”, sungguh sebuah sebutan yang luhur dan mulia. Oleh sebab itu, hidup kekristenan seharusnya diwujudnyatakan dalam perilaku yang luhur, yaitu perilaku yang menyerupai Kristus. Hidup yang berbelas kasihan kepada sesama, memperjuangkan hak-hak orang lemah, berjuang menghapuskan diskriminasi, menabur kasih, perdamaian, dan pengampunan di tengah-tengah kebencian dan pertikaian, rela berkorban untuk kepentingan sesama, menegakkan keadilan dan kebenaran, dan seterusnya. Jika kita mengaku diri Kristen, tetapi hidup keseharian kita jauh dari teladan Kristus, apa kata dunia? Kita harus malu, sungguh-sungguh malu, jika ada orang yang bukan Kristen, tetapi hidup kesehariannya “lebih baik” daripada kita yang mengaku diri Kristen. (By: Binsar)



Saturday, November 13, 2010

Mempelajari Alkitab Tanpa Rasa Haus Akan Allah


“Seandainya saya menjadi Iblis, salah satu tujuan saya adalah menghentikan orang menyelidiki Alkitab. Sebagai Iblis, saya tahu bahwa Alkitab adalah firman Allah yang mengajar orang mengenal, mengasihi dan melayani Tuhan yang bersabda melalui Alkitab. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghalangi orang datang kepada Alkitab.” (Terjemahan bebas dari prakata Dr. James I. Packer dalam buku Knowing Scripture)

Alkitab adalah buku terlaris nomor satu di dunia dan buku yang paling banyak diterjemahkan sampai saat ini. Alkitab telah diterjemahkan lebih dari 2.100 bahasa dan dialek yang berbeda.1 Bahkan sementara Anda membaca artikel ini, ada para misionaris di berbagai belahan dunia yang mempelajari berbagai bahasa supaya dapat menerjemahkan Alkitab atau bagian-bagian Alkitab ke dalam bahasa lain. Di Amerika Serikat, penjualan tahunan rata-rata Alkitab kurang lebih 200 juta US dollar !2 Namun United States Bible Societies mengeluh : “Diperkirakan bahwa sembilan dari sepuluh orang Amerika memiliki Alkitab, tetapi kurang dari setengah jumlah tersebut membacanya.” 3
Jumlah populasi Amerika Serikat kurang lebih 270 juta. Namun organisasi jajak pendapat Gallup menemukan hanya 11% populasi Amerika membaca Alkitab setiap hari. Data tahun 1994 menyatakan hanya 32% orang Amerika percaya kebenaran Alkitab, 67% menyangkal ada sesuatu yang dapat disebut kebenaran mutlak dan 70% berkata bahwa tidak ada kemutlakan moral.4
Penduduk Amerika Serikat mayoritas beragama Kristen, tetapi nilai-nilai kekristenan banyak dibuang dan di sana mengalami krisis moral yang sangat besar. Bukankah semua ini hal yang sangat ironis ? Sejarah mengajar kita satu  hal : dimana Alkitab begitu mudah didapat, disitu Alkitab justru tidak dihargai !
Kita mempelajari Alkitab bukan karena Alkitab mudah didapat. Bukan karena diberi orang tua atau gereja. Bukan karena kita pelayan Tuhan atau aktivis gereja. Bukan karena ada waktu luang. Bukan juga karena kegiatan rutin atau menghindari perasaan bersalah kalau tidak membaca Alkitab. Tetapi karena Alkitab adalah firman Allah sendiri. Dalam Alkitab, Allah memperkenalkan diri-Nya, mengungkapkan isi hati-Nya dan menyatakan kehendak-Nya. Mendengarkan Alkitab berarti mendengarkan Allah, mengabaikan Alkitab berarti mengabaikan Allah. Dalam II Timotius 3 : 15-16 dikatakan : “Ingatlah juga bahwa sejak kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan melalui iman kepada Kristus Yesus. Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (Alkitab Perjanjian Baru Terjemahan LAI edisi ke-2).
Oleh sebab itu, mempelajari Alkitab  bukan sekedar kewajiban, tetapi merupakan hak istimewa setiap orang Kristen. Ini adalah anugerah Allah yang besar bagi kita semua.
Yesus meringkaskan intisari kehidupan Kristen sebagai mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi, serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Matius 22 : 36-40). Tetapi bagamana caranya kita mengasihi Allah ? Beberapa orang beranggapan mengasihi Allah berarti rajin ke gereja, berdoa, membaca Alkitab, melakukan penginjilan, menjadi aktivis gereja, melakukan hal-hal yang baik atau menghubungkannya dengan daftar panjang : ‘yang harus dilakukan dan yang jangan dilakukan’. Walaupun semua ini baik dan bermanfaat, tetapi itu bukanlah inti kehidupan iman Kristen yang Tuhan Yesus maksudkan. Meskipun peraturan itu mungkin berdasarkan Alkitab, tetapi akhirnya kita lebih sering mengasihi peraturan daripada mengasihi Allah sendiri, lebih mementingkan arti harafiah hukum dapat membuat kita kehilangan arti sesungguhnya.5 Jika intisari kehidupan Kristen sama dengan peraturan dan aktivitas keagamaan, maka kita akan selalu mengejar kebenaran pribadi (legalisme).
Yesus menjawab bagaimana kita dapat mengasihi Allah. Yesus berkata : “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan mentaati segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15). Mengasihi Allah berarti mentaati perintah-perintahNya dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi. Mentaati perintah-perintah-Nya berarti hidup sesuai seperti yang diajarkan Alkitab. Mempelajari Alkitab bukanlah tujuan hidup orang Kristen. Mempelajari Alkitab adalah sarana untuk dapat mengasihi, memuliakan Allah dan bertumbuh makin serupa dengan Kristus (Roma 8:29). Motivasi kita mempelajari Alkitab haruslah selalu ketaatan, belajar bagaimana kita dapat mengikuti Tuhan dengan lebih setia dari hari ke hari.
Mengapa orang Kristen mengalami krisis moral ? Mengapa kita tidak dapat berfungsi sebagai garam dan terang dengan baik ? Mengapa seringkali muncul sikap kesombongan rohani dalam diri kita ? Mengapa muncul pengajaran-pengajaran yang simpang siur dalam kekristenan ? Mengapa gereja kehilangan kekuatan untuk bersaksi di tengah-tengah dunia ? Karena Alkitab tidak dipelajari dengan kerendahan hati, tidak ditafsirkan secara utuh dan benar, dan tidak ditaati dengan sepenuh hati. Kita seringkali tidak mempelajari Alkitab dengan sikap hati yang menyembah Allah. Kita seringkali terlalu mengandalkan pengetahuan teologis kita dan kemampuan kita dalam menafsirkan Alkitab. Betulkah hati kita sujud menyembah Allah tatkala kita mempelajari Alkitab ? Betulkah kita membiarkan firman-Nya melalui Roh Kudus bekerja untuk menyelidiki hati kita, mengoreksi kita, menyatakan dosa-dosa kita yang sekecil-kecilnya dan membersihkan hati kita ? Ataukah kita lebih sering terjebak dalam ritualitas agama tanpa makna dan kuasa ? Mari kita merenung dalam diri kita masing-masing.
Kita harus mempelajari Alkitab dengan kehausan dan kerinduan yang dalam akan Allah. Kalau tidak kegiatan ini akan kering, membosankan dan yang paling berbahaya kita dapat jatuh ke dalam spirit Farisiisme. Saat mempelajari Alkitab, kita bukan terutama mencari informasi, pengetahuan atau kepuasan, tetapi pertumbuhan rohani, perubahan hati dan pikiran, sikap dan kasih yang makin membara kepada Allah. Jangan sampai kita mengasihi Alkitab lebih dari Penulis Ilahinya (Allah). Sebab mengetahui isi Alkitab tidak sama dengan mengenal Allah, menyukai isi Alkitab tidak sama dengan mengasihi Allah dan mendengarkan Alkitab tidak sama dengan mendengarkan Allah. Orang-orang Farisi mengetahui isi Alkitab, menyukai isi Alkitab dan mempelajari isi Alkitab; tetapi mereka tidak mengenal, tidak mengasihi dan tidak mendengarkan Allah (Yohanes 5 : 37-40).6 Bukan mereka yang mendengarkan firman Allah yang akan diberkati, tetapi mereka yang mentaati firman itu (Yakobus 1 : 22-25).
Disiplin mempelajari Alkitab dan doa yang teratur tanpa disertai kehausan akan Allah, tanpa disertai kualitas hubungan yang intim dengan Allah, tidak akan memberikan banyak faedah dalam kehidupan rohani kita. Betapapun luasnya pengetahuan Alkitab Anda dan meskipun Anda memiliki karunia-karunia yang kuat, Anda akan menjadi sombong rohani dan menyakiti orang lain jika Anda tidak teratur datang ke hadirat Allah.
Marilah kita mempelajari Alkitab dengan sikap beribadah menyembah Allah dan berdoa seperti Pemazmur : “Lakukanlah kebajikan kepada hamba-Mu ini, supaya aku hidup, dan aku hendak berpegang pada firman-Mu. Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu” (Mazmur 119 : 17-18)
Catatan kaki :
1.           World Annual Report 1995 (Reading England. Bulletin Number 176/177), 271. Dalam buku “Bagaimana Jika Alkitab Tidak Ditulis?” (Judul asli : Why If The Bible had Never Been Written?), D. James Kennedy & Jerry Newcombe, Interaksara 1999, hal 18
2.          United Bible Societies World Report 316 (Reading England, January 1997)
3.          Ibid, 32
4.          “How Often We Read the Bible?”, USA Today, February 1, 1990
5.          Charles Colson. A Dangerous Grace (Sebuah Karunia Berbahaya). Interaksara 1999, hal 88.
6.          Jack Deere. Surprised By The Power Of The Spirit. Yayasan ANDI 1998, hal 295.

Kristus Pengantara Persekutuan Kristen yang Sejati

                Kita sudah sering mendengar kalimat ”Kristus adalah pengantara antara Allah dengan manusia”."Kristus memperdamaikan manusia  berdosa dengan Allah Bapa di surga melalui jalan salib”. Tapi kita mungkin jarang mendengar kalimat “Kristus sebagai pengantara antara orang Kristen yang satu dengan orang Kristen yang lain”. Tanpa kita menjadikan Kristus sebagai pengantara hubungan kita dengan saudara-saudara seiman yang lain, maka tidak mungkin terbentuk persekutuan Kristen yang sejati. Bagaimana Kristus menjadi pengantara antara saya dengan saudara seiman saya yang lain? Seorang teolog Jerman, Dietrich Bonhoeffer memberikan jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut. Bonhoeffer mengatakan bahwa Kristus menjadi pengantara dalam persekutuan Kristen dengan dua cara berikut:

Pertama, setiap orang Kristen memerlukan orang Kristen lain oleh karena Yesus Kristus. Maksudnya Kristuslah yang membimbing kita masuk ke dalam suatu kehidupan bersama. Saya memerlukan Kristus untuk membenarkan dan menyelamatkan saya. Karena hanya Dia yang dapat melakukan hal itu. Tetapi untuk dapat beriman dalam Kristus, saya memerlukan komunitas. Ketika Kristus menarik diri saya kepada diriNya, Dia mula-mula menarik diri saya kepada komunitas yang di dalam-Nya kristus diberitakan, Firman-Nya diyakini dan Roh-Nya berperan aktif. Karena saya memerlukan Kristus, maka saya memerlukan orang lain untuk membawa saya pada Kristus, bahkan tidak berhenti pada sampai di situ. Pertumbuhan iman saya juga memerlukan dukungan saudara seiman yang lain. Kita tidak dapat memonopoli Kristus secara pribadi, terpisah dari tubuh Kristus.

Kedua, Kristus menjadi pengantara persekutuan Kristen berarti kita hanya dapat bersekutu dengan saudara-saudara seiman yang lain hanya melalui Yesus Kristus. Jadi bukan saja saya memerlukan Kristus, tetapi juga karena saya memerlukan Kristus supaya saya dapat bersekutu dengan saudara seiman saya.
                Kedua pengertian di atas, mematahkan anggapan bahwa persekutuan Kristen dibangun atas dasar kita diciptakan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang. Karena yang berinisiatif mula-mula adalah Kristus, bukan dari diri kita sendiri. Kristus yang membangun persekutuan Kristen, bukan kita. Hal ini membawa implikasi baru bagi kita, yaitu persekutuan dengan saudara-saudara seiman adalah salah satu anugerah Allah. Karena anugerah, maka hal ini bukan hasil usaha dari gereja, bukan hasil usaha dari pengurus/aktivis, bukan hasil kemampuan kita berkomunikasi dengan orang lain, sehingga persekutuan itu ada. Karena persekutuan ini merupakan anugerah, maka harus dihargai dan dipelihara.
                Saya mencoba membayangkan, alangkah indahnya persekutuan Kristen pada jemaat mula-mula (Baca Kisah Para Rasul 4:32-37). Alkitab mengatakan mereka sehati sejiwa. Mereka bukan hanya berbagi rasa tetapi juga berbagi harta. Mereka menganggap kepentingan orang lain lebih utama dari kepentingan pribadi. Saya percaya bagian Firman Tuhan ini tidak menentang adanya kepemilikan pribadi. Tetapi menggambarkan bahwa mereka kaya dalam kemurahan dan kebaikan. Mereka selalu mengaitkan kepentingan dan kepemilikan pribadi mereka dalam konteks tubuh Kristus. Mereka hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Kapan persekutuan kita dapat mencapai tingkat kedewasaan iman seperti ini? Kiranya Tuhan menolong kita semua. Amin! 

Apakah Fokus Ibadah Telah Bergeser Dalam Gereja Kita?



 Sekilas judul artikel ini nampak aneh kedengarannya. Semua orang Kristen pasti setuju bahwa fokus atau pusat ibadah dalam gereja adalah Allah sendiri. Namun inti permasalahannya bukanlah pada masalah siapa yang seharusnya menjadi fokus ibadah kita, tetapi masalahnya adalah dalam realita praktisnya apakah benar Allah adalah fokus ibadah kita? Hal ini perlu kita renungkan dan pikirkan dengan sungguh-sungguh, karena secara tidak sadar seringkali orang Kristen terjebak dengan membuat berhala rohani dalam ibadahnya. Istilah “ibadah” yang digunakan dalam artikel ini mengacu pada ruang lingkup yang lebih luas, yaitu seluruh aktivitas kegiatan gerejawi, baik ibadah dalam kebaktian maupun pelayanan-pelayanan gerejawi.

Ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk mendeteksi bahwa fokus ibadah dalam gereja kita mulai atau sudah bergeser/menyimpang, yaitu :

1.      Pengalaman dan perasaan keagamaan lebih diutamakan daripada kebenaran firman Tuhan.
Saya tidak setuju hal ini hanya terjadi di kalangan gereja-gereja Karismatik. Cukup banyak dalam gereja-gereja Injili, pergeseran seperti ini telah menyusup dengan cara yang halus dan seringkali tidak disadari. Gereja-gereja Injili memang tidak mempraktekkan pengalaman karunia berbahasa roh seperti di gereja-gereja Karismatik, tetapi hal ini tidak berarti bahwa gereja-gereja Injili tidak mungkin terpengaruh oleh maraknya penekanan pada pengalaman dan perasaan keagamaan saja. Ini tidak berarti saya merendahkan nilai pengalaman dan perasaan keagamaan. Pengalaman dan perasaan mempunyai nilai dalam iman Kristen, tetapi pengalaman dan perasaan keagamaan yang sejati harus berakar dalam kebenaran Alkitab.
Salah satu hal yang mencolok bagaimana perasaan dan pengalaman keagamaan telah menjadi pusat dalam ibadah kita adalah masalah penggunaan jenis lagu-lagu pujian. Menurut Alkitab, jalan masuk ke hadirat Allah adalah melalui iman kepada Kristus dan kepercayaan kepada firman-Nya yang kudus (Yohanes 14:6; Ibrani 9:24-28), tetapi pada masa kini banyak orang Kristen secara tidak sadar beranggapan bahwa jalan masuk ke hadirat Allah adalah melalui emosi dan tindakan-tindakan badani, seperti mengangkat tangan, telapak tangan menghadap ke atas dengan diiringi musik, melepaskan emosi, dan hal ini dipandang sebagai cara untuk membuka pintu kepada realitas ilahi.[1]
Saya pernah mengamati ibadah sebuah gereja. Dalam salah satu kebaktian umum yang sebagian besar dihadiri oleh orang tua (berusia 40 tahun ke atas), lagu-lagu hymns sering dinyanyikan. Tetapi dalam Kebaktian Pemuda, lagu-lagu hymns itu hampir tidak pernah dinyanyikan. Mereka menyukai lagu-lagu rohani kontemporer. Kaum muda di gereja itu beranggapan bahwa lagu-lagu hymns adalah lagu-lagu zaman dahulu yang ketinggalan zaman, hanya cocok untuk orang tua, iramanya tidak bersemangat, membuat “ngantuk,” dan kurang membangkitkan gairah sukacita. Intinya adalah lagu-lagu hymns tidak cocok dan tidak relevan lagi bagi kaum muda pada masa kini. Yang paling mengagetkan saya adalah ada seorang aktivis pemuda yang mengatakan pada saya bahwa lagu-lagu kontemporer membuat dirinya lebih dekat kepada Tuhan daripada lagu-lagu hymns!
Melihat kondisi ini saya bertanya dan merenung dalam hati : Siapa yang salah dalam hal ini? Apakah benar lagu-lagu hymns itu ketinggalan zaman? Apakah benar lagu-lagu itu tidak relevan bagi perkembangan jiwa kaum muda masa kini? Apakah para hamba Tuhan di gereja itu tidak pernah menjelaskan karakteristik dan sejarah lagu-lagu hymns?
Saya bukan anti lagu-lagu rohani kontemporer, walaupun kita harus menyikapinya dengan kritis dan selektif. Saya sadar musik gereja terus berkembang dan Allah membangkitkan banyak orang untuk menulis lagu-lagu rohani yang baik. Saya yakin membuat lagu dan musik rohani yang agung jauh lebih sulit daripada membuat naskah khotbah yang bermutu. Oleh sebab itu, tidak semua lagu rohani bermutu, baik dari segi irama maupun isi pengajarannya. Kita jangan pernah melupakan orang-orang yang pernah diurapi oleh Tuhan dalam sejarah untuk menuliskan lagu-lagu pujian yang agung. Lagu pujian yang agung lahir dari pergumulan hidup bersama dengan Allah dan dari jiwa yang kagum dan hormat akan keindahan dan keagungan Allah. Saya percaya jenis lagu-lagu pujian yang disukai seseorang sedikit banyak menggambarkan siapa diri orang itu sebenarnya.
David Wells melakukan riset dan analisa terhadap sebagian besar lagu-lagu rohani kontemporer masa kini, yang disebutnya sebagai lagu pujian spiritualitas pascamodern. Wells menyimpulkan 58,9% lagu-lagu tersebut tidak mempunyai dasar doktrinal, sebaliknya hampir tidak ditemukan lagu-lagu pujian hymns yang tidak menjelaskan atau mengembangkan aspek tertentu dari doktrin Kristen.[2] Tema-tema tentang dosa, pertobatan, kerinduan akan kekudusan hanya 3,6% dari lagu pujian kontemporer. Tema tentang kekudusan Allah hanya 4,3%, tetapi tema tentang kasih Allah yang dirangkai dengan kiasan-kiasan romantis tentang mengasihi Allah menempati 10,4% dari lagu pujian kontemporer.[3] Pemikiran tentang mengasihi Allah, dan kadang-kadang menjadi kekasih Allah yang merupakan ciri lagu pascamodern mengantikan penekanan terhadap pengudusan dan komitmen yang merupakan karakteristik himne klasik.[4]
Misalnya salah satu lagu pujian kontemporer yang sering dinyanyikan adalah :

Kukasihi kau dengan kasih Tuhan,
Kukasihi kau dengan kasih Tuhan.
Kulihat di wajahmu kemuliaan Raja.
Kukasihi kau dengan kasih Tuhan.

Setiap kalimat dari lagu pujian di atas tidak memberikan penjelasan tentang apa arti mengasihi orang lain dengan kasih Tuhan. Apa hubungan antara mengasihi orang lain dengan melihat kemuliaan Raja pada wajah orang lain? Mengapa ada kemuliaan Allah pada wajah orang lain? Lagu ini tidak memberikan penjelasan apa-apa. Disamping itu, lagu-lagu pujian kontemporer cenderung berfokus pada diri sendiri/manusia.

Bandingkan dengan salah satu pujian hymns yang ditulis oleh orang buta, yaitu Fanny Crosby berjudul To God be the Glory (1875), dalam bait pertamanya menyatakan:

To God be the glory, great things He hath done;
So loved He the world that He gave us His Son,
Who yielded His life an atonement for sin
And opened the life gate that all may go in.
Ref.
Praise the Lord! Praise the Lord!
Let the earth hear His voice!
Praise the Lord! Praise the Lord!
Let the people rejoice!
O come to the Father, through Jesus the Son
And give Him the glory, great things He hath done.

Ada dasar doktrinal yang dijelaskan melalui lagu tersebut dan terdapat kesinambungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam lagu itu. Lagu itu menyatakan betapa besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya dengan mempersembahkan diri-Nya sebagai korban penebusan dosa. Dengan demikian, manusia berdosa bisa datang kepada Allah, Bapa melalui Yesus Kristus, Anak Allah, sehingga segala pujian dan kemuliaan kita berikan kepada Allah atas karya-Nya yang besar bagi kita.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah seringkali kita mempunyai pemahaman yang keliru tentang “makna bersukacita di dalam Allah.” Kita merasa bersukacita jika lagu-lagu pujian yang dinyanyikan begitu menyentuh hati kita dan suasana ibadah yang membuat perasaan kita “nyaman.” Kita merasa bersukacita jika telah mengalami hal-hal yang baik dalam hidup ini. Pada akhirnya hal ini membawa kita kepada pemahaman yang subjektif tentang kasih dan kebaikan Allah, yaitu Allah itu baik bukan karena Allah secara objektif pada diri-Nya sendiri adalah baik, tetapi kebaikan Allah menjadi bergantung pada perasaan dan pengalaman manusia. Ukuran dan persepsi manusia yang menentukan apakah Allah itu baik atau tidak. Bukankah hal ini yang sering terjadi dalam diri kita?
Menurut Richard Baxter, bersukacita di dalam Allah bukanlah luapan kegembiraan, emosi atau kenyamanan, tetapi suatu kepuasan batin yang rasional dan kokoh di dalam Allah dan kekudusan-Nya, yang timbul dari pemahaman yang riil akan hal-hal demikian di dalam diri-Nya.[5] Dengan demikian bersukacita di dalam Allah, bukanlah kepuasan sesaat, tetapi merasakan kepuasan total bersama Allah dalam setiap aspek kehidupan kita, bahkan dalam penderitaan dan ketakutan sekalipun.[6] Tidak heran, rasul Paulus ketika dalam penjara sekalipun, tetap mengucap syukur dan bersukacita di dalam Allah (Filipi 1:3-5; 4:4).
Orang Kristen yang menekankan pengalaman keagamaan bergumul untuk mencari tingkat perasaan tertentu lebih daripada mencari Allah sendiri. Orang-orang seperti ini mudah terbawa ke dalam puncak emosionalisme yang berlebihan. Keseimbangan antara akal budi dan emosi merupakan hal yang sangat penting dalam ibadah Kristen. Kita dipanggil untuk mengasihi dan menyembah Allah bukan hanya melibatkan aspek hati dan perasaan kita saja, tetapi dengan seluruh keberadaan diri kita (Matius 22:37-40).

2.      Melayani program-program gereja, bukan melayani Allah yang hidup.
Apakah gereja telah melayani “berhala rohani” yang bernama : program gereja? Ketika gereja berdiri, gereja memang perlu visi, misi dan sasaran yang yang harus dicapai. Semua itu dituangkan dalam program gereja. Tanpa semua itu gereja berjalan tanpa arah yang jelas. Bekerja dan melayani tanpa perencanaan yang matang bertentangan dengan karakter Allah. Dengan demikian, program gereja harus ada dan sangat penting. Tetapi kita jangan pernah lupa : betapapun hebatnya program-program yang dimiliki gereja dan betapapun banyaknya talenta atau potensi dari para pengurus/aktivitis, tanpa anugerah, kuasa dan urapan Roh Kudus, semua itu akan sia-sia belaka. Komitmen pelayanan harus lahir bukan karena kesetiaan kepada (program) gereja, tetapi karena kesetiaan kepada Allah yang menganugerahkan pelayanan itu kepada kita. Kita jangan berfokus pada apa yang dapat kita perbuat bagi gereja, tetapi harus berfokus pada apa yang mau Allah perbuat bagi gereja-Nya melalui kita sebagai alat-Nya.
Terlalu sering saya melihat banyak gereja yang lebih mengutamakan program gereja daripada visi dan kehendak Allah. Akibatnya gereja kehilangan kepekaan untuk mendengar suara Sang Gembala dan Kepala Gereja, sehingga kegiatan gereja berjalan apa adanya tanpa dinamika yang sehat. Pengurus hanya meneruskan atau mengikuti pola-pola program gereja pada tahun-tahun sebelumnya, tanpa mengevaluasi esensi dan maknanya. Yang lebih menyedihkan adalah jika penyusunan program gereja dimulai dari anggaran biaya yang telah ditetapkan gereja, kemudian berdasarkan anggaran yang telah ditetapkan itu disusun program-program. Setiap program (sekalipun baik) yang melebihi anggaran biaya itu harus dihapuskan. Melalui pernyataan ini, saya bukan bermaksud menyepelekan masalah yang juga dihadapi gereja, yaitu anggaran dana yang terbatas. Tetapi yang hendak saya tekankan adalah gereja seringkali tidak mendahulukan visi Allah dan kehendak-Nya, tetapi mengutamakan apa yang diinginkan dan diminati oleh para pengurus/aktivis saja.

3.      Menekankan khotbah-khotbah yang berorientasi psikologis, yaitu menawarkan “obat kesembuhan jiwa” atau bersifat terapeutik.
Fokus iman telah bergeser dari Allah menuju diri sendiri yang ditandai dengan khotbah yang berorientasi kepada pemenuhan psikologis. Penekanannya bukan lagi kepada perlunya pertobatan dan kelepasan dari kuasa dosa yang merusak hidup manusia, tetapi kepada pemulihan citra diri melalui berbagai macam teknik psikoterapi dan pemenuhan kebutuhan psikologis manusia. Gereja tidak lagi mengkhotbahkan seluruh pengajaran Alkitab, tetapi hanya berfokus pada tema-tema, seperti : kasih yang menyembuhkan, bagaimana mengatasi kekecewaan dan putus asa, menyembuhkan luka-luka batin, membangun rasa kepercayaan diri yang sehat, membangun persahabatan dengan orang lain, membangkitkan potensi dalam diri Anda, bagaimana menyusun rencana dalam hidup, memobilisasi gereja Anda dan lain sebagainya, yang pada umumnya diadopsi dari psikologi dan manajemen bisnis. Psikologi murni ingin menghasilkan manusia yang “baik” tanpa kuasa Salib Kristus. Hal ini tidak berarti tema-tema seperti itu tidak boleh dikhotbahkan dalam gereja atau gereja harus bersikap anti psikologi dan manajemen bisnis, tetapi gereja harus mengkhotbahkan secara seimbang dan menyeluruh pengajaran Alkitab. Gereja harus bersikap kritis dan selektif dalam mengadopsi nilai-nilai dari luar kekristenan. Teologi yang berakar dalam kebenaran Alkitab harus menjadi fondasi seluruh pengajaran gereja. Tema-tema seperti pertobatan dan dosa, penyangkalan diri dan memikul salib, Allah Tritunggal, kekudusan Allah, kedaulatan Allah, finalitas Kristus, menjadi tema yang jarang terdengar lagi di banyak gereja. Padahal tema-tema ini merupakan keunikan iman Kristen yang tidak ditemukan dalam agama-agama lain, yang tanpanya seluruh bangunan iman Kristen akan roboh. Kecenderungan jemaat untuk menjadi orang yang pragmatis merupakan bentuk yang paling nyata pada masa kini.


Apakah ciri-ciri di atas telah menjadi fenomena yang nyata dalam gereja kita saat ini? Jika demikian, gereja mau dibawa kemana? Seruan untuk kembali kepada Allah sebagai fokus ibadah kita menjadi suatu hal yang tetap relevan sampai saat ini. Bukankah kejatuhan Adam dan Hawa karena ingin menggeser Allah dari posisi yang seharusnya? Gereja harus kembali membenahi dirinya dan kembali berfokus pada sentralitas Allah dan firman-Nya. Mari “kita selamatkan” generasi kekristenan, khususnya kaum muda Kristen, dari jurang kehancuran yang tidak mereka sadari.
Biarlah doa dan kerinduan rasul Paulus menjadi permohonan doa kita di hadapan Tuhan :
“Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam segala pengetahuan yang benar tentang Allah ...” (Kolose 1:9b-10).


[1] David F. Wells, Hilangnya Kebajikan Kita, Terj. Losing Our Virtue (Surabaya : Momentum,  2005), 59-60. Buku karangannya yang lain adalah No Place for Truth (Telah diterjemahkan oleh Momentum : Tiada Tempat bagi Kebenaran). Kedua buku merupakan buku yang sangat baik dalam menyajikan keprihatinan dan analisa tentang kemerosotan gereja-gereja Injili dan makin pudarnya kesaksian Kristen, khususnya di Amerika.
[2] David F. Wells, Hilangnya Kebajikan Kita, 60.
[3] Ibid., 61.
[4] Ibid., 61-62.
[5] Mark Shaw, Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja (Surabaya : Momentum, 2003), 127. Dalam bab kesepuluh buku ini membahas tentang “Suatu Visi Bagi Ibadah” yaitu petunjuk-petunjuk Richard Baxter untuk bersuka di dalam Allah.
[6] Ibid.

Friday, November 05, 2010

Teach the Children

I got this story when I helped my students to make Christmas bulletin board in our class, enjoy the story!!!! :)
 
Late one Christmas Eve, I sank back, tired but content, into my easy chair. The kids were in bed, the gifts were wrapped, the milk and cookies waited by the fireplace for Santa. As I sat back admiring the tree with its decorations, I couldn't help feeling that something important was missing. It wasn't long before the tiny twinkling tree lights lulled me to sleep.
I don't know how long I slept, but all of a sudden I knew that I wasn't alone. I opened my eyes, and you can imagine my surprise when I saw Santa Claus himself standing next to my Christmas tree. He was dressed all in fur from his head to his foot just as the poem described him, but he was not the "jolly old elf" of Christmas legend. The man who stood before me looked sad and disappointed, and there were tears in his eyes.
"Santa, what's wrong?" I asked, "Why are you crying?"
"It's the children," Santa replied sadly.
"But Santa, the children love you," I said.
"Oh, I know they love me, and they love the gifts I bring them," Santa said, "but the children of today seem to have somehow missed out on the true spirit of Christmas. It's not their fault. It's just that the adults, many of them not having been taught themselves, have forgotten to teach the children."
"Teach them what?" I asked.
Santa's kind old face became soft, more gentle. His eyes began to shine with something more than tears. He spoke softly. "Teach the children the true meaning of Christmas. Teach them that the part of Christmas we can see, hear, and touch is much more than meets the eye. Teach them the symbolism behind the customs and traditions of Christmas which we now observe. Teach them what it is they truly represent."
Santa reached into his bag and pulled out a tiny Christmas tree and set it on my mantle. "Teach them about the Christmas tree. Green is the second color of Christmas. The stately evergreen, with its unchanging color, represents the hope of eternal life in Jesus. Its needles point heavenward as a reminder that mankind's thoughts should turn heavenward as well."
Santa reached into his bag again and pulled out a shiny star and placed it at the top of the small tree. "The star was the heavenly sign of promise. God promised a Savior for the world and the star was the sign of the fulfillment of that promise on the night that Jesus Christ was born. Teach the children that God always fulfills His promises, and that wise men still seek Him."
"Red," said Santa, "is the first color of Christmas." He pulled forth a red ornament for the tiny tree. "Red is deep, intense, vivid. It is the color of the life-giving blood that flows through our veins. It is the symbol of God's greatest gift. Teach the children that Christ gave His life and shed His blood for them that they might have eternal life. When they see the color red, it should remind them of that most wonderful Gift."
Santa found a silver bell in his pack and placed it on the tree. "Just as lost sheep are guided to safety by the sound of the bell, it continues to ring today for all to be guided to the fold. Teach the children to follow the true Shepherd, who gave His life for the sheep."
Santa placed a candle on the mantle and lit it. The soft glow from its one tiny flame brightened the room. "The glow of the candle represents how people can show their thanks for the gift of God's Son that Christmas Eve long ago. Teach the children to follow in Christ's foot steps... to go about doing good. Teach them to let their light so shine before people that all may see it and glorify God. This is what is symbolized when the twinkling lights shine on the tree like hundreds of bright, shining candles, each of them representing one of God's precious children, their light shining for all to see."
Again Santa reached into his bag and this time he brought forth a tiny red and white striped cane. As he hung it on the tree he spoke softly. "The candy cane is a stick of hard white candy: white to symbolize the virgin birth and sinless nature of Jesus, and hard to symbolize the Solid Rock the foundation of the church, and the firmness of God's promises. The candy cane is in the form of a 'J' to represent the precious name of Jesus, who came to earth. It also represents the Good Shepherd's crook, which He uses to reach down into the ditches of the world to lift out the fallen lambs who, like all sheep, have gone astray. The original candy cane had three small red stripes, which are the stripes of the scourging Jesus received by which we are healed, and a large red stripe that represents the shed blood of Jesus, so that we can have the promise of eternal life."
"Teach these things to the children."
Santa brought out a beautiful wreath made of fresh, fragrant greenery tied with a bright red bow. "The bow reminds us of the bond of perfection, which is love. The wreath embodies all the good things about Christmas for those with eyes to see and hearts to understand. It contains the colors of red and green and the heaven-turned needles of the evergreen. The bow tells the story of good will towards all and its color reminds us of Christ's sacrifice. Even its very shape is symbolic, representing eternity and the eternal nature of Christ's love. It is a circle, without beginning and without end. These are the things you must teach the children."
I asked, "But where does that leave you, Santa?"
The tears gone now from his eyes, a smile broke over Santa's face. "Why bless you, my dear," he laughed, "I'm only a symbol myself. I represent the spirit of family fun and the joy of giving and receiving. If the children are taught these other things, there is no danger that I'll ever be forgotten."
"I think I'm beginning to understand."
"That's why I came," said Santa. "You're an adult. If you don't teach the children these things, then who will?"
(Author Unknown)