Saturday, November 13, 2010

Apakah Fokus Ibadah Telah Bergeser Dalam Gereja Kita?



 Sekilas judul artikel ini nampak aneh kedengarannya. Semua orang Kristen pasti setuju bahwa fokus atau pusat ibadah dalam gereja adalah Allah sendiri. Namun inti permasalahannya bukanlah pada masalah siapa yang seharusnya menjadi fokus ibadah kita, tetapi masalahnya adalah dalam realita praktisnya apakah benar Allah adalah fokus ibadah kita? Hal ini perlu kita renungkan dan pikirkan dengan sungguh-sungguh, karena secara tidak sadar seringkali orang Kristen terjebak dengan membuat berhala rohani dalam ibadahnya. Istilah “ibadah” yang digunakan dalam artikel ini mengacu pada ruang lingkup yang lebih luas, yaitu seluruh aktivitas kegiatan gerejawi, baik ibadah dalam kebaktian maupun pelayanan-pelayanan gerejawi.

Ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk mendeteksi bahwa fokus ibadah dalam gereja kita mulai atau sudah bergeser/menyimpang, yaitu :

1.      Pengalaman dan perasaan keagamaan lebih diutamakan daripada kebenaran firman Tuhan.
Saya tidak setuju hal ini hanya terjadi di kalangan gereja-gereja Karismatik. Cukup banyak dalam gereja-gereja Injili, pergeseran seperti ini telah menyusup dengan cara yang halus dan seringkali tidak disadari. Gereja-gereja Injili memang tidak mempraktekkan pengalaman karunia berbahasa roh seperti di gereja-gereja Karismatik, tetapi hal ini tidak berarti bahwa gereja-gereja Injili tidak mungkin terpengaruh oleh maraknya penekanan pada pengalaman dan perasaan keagamaan saja. Ini tidak berarti saya merendahkan nilai pengalaman dan perasaan keagamaan. Pengalaman dan perasaan mempunyai nilai dalam iman Kristen, tetapi pengalaman dan perasaan keagamaan yang sejati harus berakar dalam kebenaran Alkitab.
Salah satu hal yang mencolok bagaimana perasaan dan pengalaman keagamaan telah menjadi pusat dalam ibadah kita adalah masalah penggunaan jenis lagu-lagu pujian. Menurut Alkitab, jalan masuk ke hadirat Allah adalah melalui iman kepada Kristus dan kepercayaan kepada firman-Nya yang kudus (Yohanes 14:6; Ibrani 9:24-28), tetapi pada masa kini banyak orang Kristen secara tidak sadar beranggapan bahwa jalan masuk ke hadirat Allah adalah melalui emosi dan tindakan-tindakan badani, seperti mengangkat tangan, telapak tangan menghadap ke atas dengan diiringi musik, melepaskan emosi, dan hal ini dipandang sebagai cara untuk membuka pintu kepada realitas ilahi.[1]
Saya pernah mengamati ibadah sebuah gereja. Dalam salah satu kebaktian umum yang sebagian besar dihadiri oleh orang tua (berusia 40 tahun ke atas), lagu-lagu hymns sering dinyanyikan. Tetapi dalam Kebaktian Pemuda, lagu-lagu hymns itu hampir tidak pernah dinyanyikan. Mereka menyukai lagu-lagu rohani kontemporer. Kaum muda di gereja itu beranggapan bahwa lagu-lagu hymns adalah lagu-lagu zaman dahulu yang ketinggalan zaman, hanya cocok untuk orang tua, iramanya tidak bersemangat, membuat “ngantuk,” dan kurang membangkitkan gairah sukacita. Intinya adalah lagu-lagu hymns tidak cocok dan tidak relevan lagi bagi kaum muda pada masa kini. Yang paling mengagetkan saya adalah ada seorang aktivis pemuda yang mengatakan pada saya bahwa lagu-lagu kontemporer membuat dirinya lebih dekat kepada Tuhan daripada lagu-lagu hymns!
Melihat kondisi ini saya bertanya dan merenung dalam hati : Siapa yang salah dalam hal ini? Apakah benar lagu-lagu hymns itu ketinggalan zaman? Apakah benar lagu-lagu itu tidak relevan bagi perkembangan jiwa kaum muda masa kini? Apakah para hamba Tuhan di gereja itu tidak pernah menjelaskan karakteristik dan sejarah lagu-lagu hymns?
Saya bukan anti lagu-lagu rohani kontemporer, walaupun kita harus menyikapinya dengan kritis dan selektif. Saya sadar musik gereja terus berkembang dan Allah membangkitkan banyak orang untuk menulis lagu-lagu rohani yang baik. Saya yakin membuat lagu dan musik rohani yang agung jauh lebih sulit daripada membuat naskah khotbah yang bermutu. Oleh sebab itu, tidak semua lagu rohani bermutu, baik dari segi irama maupun isi pengajarannya. Kita jangan pernah melupakan orang-orang yang pernah diurapi oleh Tuhan dalam sejarah untuk menuliskan lagu-lagu pujian yang agung. Lagu pujian yang agung lahir dari pergumulan hidup bersama dengan Allah dan dari jiwa yang kagum dan hormat akan keindahan dan keagungan Allah. Saya percaya jenis lagu-lagu pujian yang disukai seseorang sedikit banyak menggambarkan siapa diri orang itu sebenarnya.
David Wells melakukan riset dan analisa terhadap sebagian besar lagu-lagu rohani kontemporer masa kini, yang disebutnya sebagai lagu pujian spiritualitas pascamodern. Wells menyimpulkan 58,9% lagu-lagu tersebut tidak mempunyai dasar doktrinal, sebaliknya hampir tidak ditemukan lagu-lagu pujian hymns yang tidak menjelaskan atau mengembangkan aspek tertentu dari doktrin Kristen.[2] Tema-tema tentang dosa, pertobatan, kerinduan akan kekudusan hanya 3,6% dari lagu pujian kontemporer. Tema tentang kekudusan Allah hanya 4,3%, tetapi tema tentang kasih Allah yang dirangkai dengan kiasan-kiasan romantis tentang mengasihi Allah menempati 10,4% dari lagu pujian kontemporer.[3] Pemikiran tentang mengasihi Allah, dan kadang-kadang menjadi kekasih Allah yang merupakan ciri lagu pascamodern mengantikan penekanan terhadap pengudusan dan komitmen yang merupakan karakteristik himne klasik.[4]
Misalnya salah satu lagu pujian kontemporer yang sering dinyanyikan adalah :

Kukasihi kau dengan kasih Tuhan,
Kukasihi kau dengan kasih Tuhan.
Kulihat di wajahmu kemuliaan Raja.
Kukasihi kau dengan kasih Tuhan.

Setiap kalimat dari lagu pujian di atas tidak memberikan penjelasan tentang apa arti mengasihi orang lain dengan kasih Tuhan. Apa hubungan antara mengasihi orang lain dengan melihat kemuliaan Raja pada wajah orang lain? Mengapa ada kemuliaan Allah pada wajah orang lain? Lagu ini tidak memberikan penjelasan apa-apa. Disamping itu, lagu-lagu pujian kontemporer cenderung berfokus pada diri sendiri/manusia.

Bandingkan dengan salah satu pujian hymns yang ditulis oleh orang buta, yaitu Fanny Crosby berjudul To God be the Glory (1875), dalam bait pertamanya menyatakan:

To God be the glory, great things He hath done;
So loved He the world that He gave us His Son,
Who yielded His life an atonement for sin
And opened the life gate that all may go in.
Ref.
Praise the Lord! Praise the Lord!
Let the earth hear His voice!
Praise the Lord! Praise the Lord!
Let the people rejoice!
O come to the Father, through Jesus the Son
And give Him the glory, great things He hath done.

Ada dasar doktrinal yang dijelaskan melalui lagu tersebut dan terdapat kesinambungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam lagu itu. Lagu itu menyatakan betapa besarnya kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya dengan mempersembahkan diri-Nya sebagai korban penebusan dosa. Dengan demikian, manusia berdosa bisa datang kepada Allah, Bapa melalui Yesus Kristus, Anak Allah, sehingga segala pujian dan kemuliaan kita berikan kepada Allah atas karya-Nya yang besar bagi kita.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah seringkali kita mempunyai pemahaman yang keliru tentang “makna bersukacita di dalam Allah.” Kita merasa bersukacita jika lagu-lagu pujian yang dinyanyikan begitu menyentuh hati kita dan suasana ibadah yang membuat perasaan kita “nyaman.” Kita merasa bersukacita jika telah mengalami hal-hal yang baik dalam hidup ini. Pada akhirnya hal ini membawa kita kepada pemahaman yang subjektif tentang kasih dan kebaikan Allah, yaitu Allah itu baik bukan karena Allah secara objektif pada diri-Nya sendiri adalah baik, tetapi kebaikan Allah menjadi bergantung pada perasaan dan pengalaman manusia. Ukuran dan persepsi manusia yang menentukan apakah Allah itu baik atau tidak. Bukankah hal ini yang sering terjadi dalam diri kita?
Menurut Richard Baxter, bersukacita di dalam Allah bukanlah luapan kegembiraan, emosi atau kenyamanan, tetapi suatu kepuasan batin yang rasional dan kokoh di dalam Allah dan kekudusan-Nya, yang timbul dari pemahaman yang riil akan hal-hal demikian di dalam diri-Nya.[5] Dengan demikian bersukacita di dalam Allah, bukanlah kepuasan sesaat, tetapi merasakan kepuasan total bersama Allah dalam setiap aspek kehidupan kita, bahkan dalam penderitaan dan ketakutan sekalipun.[6] Tidak heran, rasul Paulus ketika dalam penjara sekalipun, tetap mengucap syukur dan bersukacita di dalam Allah (Filipi 1:3-5; 4:4).
Orang Kristen yang menekankan pengalaman keagamaan bergumul untuk mencari tingkat perasaan tertentu lebih daripada mencari Allah sendiri. Orang-orang seperti ini mudah terbawa ke dalam puncak emosionalisme yang berlebihan. Keseimbangan antara akal budi dan emosi merupakan hal yang sangat penting dalam ibadah Kristen. Kita dipanggil untuk mengasihi dan menyembah Allah bukan hanya melibatkan aspek hati dan perasaan kita saja, tetapi dengan seluruh keberadaan diri kita (Matius 22:37-40).

2.      Melayani program-program gereja, bukan melayani Allah yang hidup.
Apakah gereja telah melayani “berhala rohani” yang bernama : program gereja? Ketika gereja berdiri, gereja memang perlu visi, misi dan sasaran yang yang harus dicapai. Semua itu dituangkan dalam program gereja. Tanpa semua itu gereja berjalan tanpa arah yang jelas. Bekerja dan melayani tanpa perencanaan yang matang bertentangan dengan karakter Allah. Dengan demikian, program gereja harus ada dan sangat penting. Tetapi kita jangan pernah lupa : betapapun hebatnya program-program yang dimiliki gereja dan betapapun banyaknya talenta atau potensi dari para pengurus/aktivitis, tanpa anugerah, kuasa dan urapan Roh Kudus, semua itu akan sia-sia belaka. Komitmen pelayanan harus lahir bukan karena kesetiaan kepada (program) gereja, tetapi karena kesetiaan kepada Allah yang menganugerahkan pelayanan itu kepada kita. Kita jangan berfokus pada apa yang dapat kita perbuat bagi gereja, tetapi harus berfokus pada apa yang mau Allah perbuat bagi gereja-Nya melalui kita sebagai alat-Nya.
Terlalu sering saya melihat banyak gereja yang lebih mengutamakan program gereja daripada visi dan kehendak Allah. Akibatnya gereja kehilangan kepekaan untuk mendengar suara Sang Gembala dan Kepala Gereja, sehingga kegiatan gereja berjalan apa adanya tanpa dinamika yang sehat. Pengurus hanya meneruskan atau mengikuti pola-pola program gereja pada tahun-tahun sebelumnya, tanpa mengevaluasi esensi dan maknanya. Yang lebih menyedihkan adalah jika penyusunan program gereja dimulai dari anggaran biaya yang telah ditetapkan gereja, kemudian berdasarkan anggaran yang telah ditetapkan itu disusun program-program. Setiap program (sekalipun baik) yang melebihi anggaran biaya itu harus dihapuskan. Melalui pernyataan ini, saya bukan bermaksud menyepelekan masalah yang juga dihadapi gereja, yaitu anggaran dana yang terbatas. Tetapi yang hendak saya tekankan adalah gereja seringkali tidak mendahulukan visi Allah dan kehendak-Nya, tetapi mengutamakan apa yang diinginkan dan diminati oleh para pengurus/aktivis saja.

3.      Menekankan khotbah-khotbah yang berorientasi psikologis, yaitu menawarkan “obat kesembuhan jiwa” atau bersifat terapeutik.
Fokus iman telah bergeser dari Allah menuju diri sendiri yang ditandai dengan khotbah yang berorientasi kepada pemenuhan psikologis. Penekanannya bukan lagi kepada perlunya pertobatan dan kelepasan dari kuasa dosa yang merusak hidup manusia, tetapi kepada pemulihan citra diri melalui berbagai macam teknik psikoterapi dan pemenuhan kebutuhan psikologis manusia. Gereja tidak lagi mengkhotbahkan seluruh pengajaran Alkitab, tetapi hanya berfokus pada tema-tema, seperti : kasih yang menyembuhkan, bagaimana mengatasi kekecewaan dan putus asa, menyembuhkan luka-luka batin, membangun rasa kepercayaan diri yang sehat, membangun persahabatan dengan orang lain, membangkitkan potensi dalam diri Anda, bagaimana menyusun rencana dalam hidup, memobilisasi gereja Anda dan lain sebagainya, yang pada umumnya diadopsi dari psikologi dan manajemen bisnis. Psikologi murni ingin menghasilkan manusia yang “baik” tanpa kuasa Salib Kristus. Hal ini tidak berarti tema-tema seperti itu tidak boleh dikhotbahkan dalam gereja atau gereja harus bersikap anti psikologi dan manajemen bisnis, tetapi gereja harus mengkhotbahkan secara seimbang dan menyeluruh pengajaran Alkitab. Gereja harus bersikap kritis dan selektif dalam mengadopsi nilai-nilai dari luar kekristenan. Teologi yang berakar dalam kebenaran Alkitab harus menjadi fondasi seluruh pengajaran gereja. Tema-tema seperti pertobatan dan dosa, penyangkalan diri dan memikul salib, Allah Tritunggal, kekudusan Allah, kedaulatan Allah, finalitas Kristus, menjadi tema yang jarang terdengar lagi di banyak gereja. Padahal tema-tema ini merupakan keunikan iman Kristen yang tidak ditemukan dalam agama-agama lain, yang tanpanya seluruh bangunan iman Kristen akan roboh. Kecenderungan jemaat untuk menjadi orang yang pragmatis merupakan bentuk yang paling nyata pada masa kini.


Apakah ciri-ciri di atas telah menjadi fenomena yang nyata dalam gereja kita saat ini? Jika demikian, gereja mau dibawa kemana? Seruan untuk kembali kepada Allah sebagai fokus ibadah kita menjadi suatu hal yang tetap relevan sampai saat ini. Bukankah kejatuhan Adam dan Hawa karena ingin menggeser Allah dari posisi yang seharusnya? Gereja harus kembali membenahi dirinya dan kembali berfokus pada sentralitas Allah dan firman-Nya. Mari “kita selamatkan” generasi kekristenan, khususnya kaum muda Kristen, dari jurang kehancuran yang tidak mereka sadari.
Biarlah doa dan kerinduan rasul Paulus menjadi permohonan doa kita di hadapan Tuhan :
“Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupmu layak di hadapan-Nya serta berkenan kepada-Nya dalam segala hal, dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam segala pengetahuan yang benar tentang Allah ...” (Kolose 1:9b-10).


[1] David F. Wells, Hilangnya Kebajikan Kita, Terj. Losing Our Virtue (Surabaya : Momentum,  2005), 59-60. Buku karangannya yang lain adalah No Place for Truth (Telah diterjemahkan oleh Momentum : Tiada Tempat bagi Kebenaran). Kedua buku merupakan buku yang sangat baik dalam menyajikan keprihatinan dan analisa tentang kemerosotan gereja-gereja Injili dan makin pudarnya kesaksian Kristen, khususnya di Amerika.
[2] David F. Wells, Hilangnya Kebajikan Kita, 60.
[3] Ibid., 61.
[4] Ibid., 61-62.
[5] Mark Shaw, Sepuluh Pemikiran Besar dari Sejarah Gereja (Surabaya : Momentum, 2003), 127. Dalam bab kesepuluh buku ini membahas tentang “Suatu Visi Bagi Ibadah” yaitu petunjuk-petunjuk Richard Baxter untuk bersuka di dalam Allah.
[6] Ibid.

No comments:

Post a Comment