Tuesday, July 26, 2011

Kerendahan Hati

“Inilah pelajaran terbesar dan paling berguna yang dapat kita pelajari:
Mengetahui diri kita sendiri siapa kita sebenarnya, dengan bebas mengakui kelemahan
dan kegagalan kita, menganggap kurang diri kita sendiri karena semua itu,
tidak menonjolkan diri kita sendiri, sebaliknya selalu menganggap orang lain lebih baik
adalah hikmat dan kesempurnaan besar.” (Thomas A. Kempis)


O Yesus, Tuhan yang lembut dan rendah hati
Jadikan hati kami seperti hati-Mu
Dari hasrat dihargai, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat dicintai, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat dihormati, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat dipuji, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat diutamakan, lepaskan, kami, o Yesus.
Dari hasrat disetujui, lepaskan kami, o Yesus.
Dari hasrat menjadi populer, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan direndahkan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan ditelantarkan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dibatasi, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan disalahpahami, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dilupakan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dicemoohkan, lepaskan kami, o Yesus.
Dari ketakutan dicurigai, lepaskan kami, o Yesus.
Agar orang lain lebih dicintai ketimbang kami,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain lebih dihargai daripada kami,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain makin bertambah, kami makin berkurang,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain lebih diperhatikan daripada kami,
Yesus anugerahi kami hasrat itu.
Agar orang lain lebih diutamakan daripada kami dalam segala hal,
Yesus anugerahi kami hasrat itu. Amin.
(Doa Ibu Teresa)

Kita hidup di tengah-tengah zaman yang memberhalakan status, harga diri, kedudukan, dan kesuksesan duniawi. Oleh sebab itu, kerendahan hati menjadi salah satu kualitas karakter yang langka ditemukan pada zaman ini. Manusia dalam keberdosaannya lebih cenderung untuk menjadi sombong ketimbang rendah hati. Menurut sebagian Bapa-Bapa gereja dan para teolog, kesombongan merupakan dosa terbesar diantara segala dosa. Misalnya, Bapa Gereja, Augustinus dari Hippo (354 – 430) menyatakan bahwa kesombongan adalah awal dari segala dosa. Thomas Aquinas (1224 – 1274) menganggap kesombongan sebagai dosa ultimat. Karena kesombongan, maka Adam dan Hawa telah jatuh ke dalam dosa dengan mengambil alih posisi Allah dalam hidup mereka dan tidak mau bergantung mutlak lagi kepada Allah dan firman-Nya. Kesombongan membawa seseorang kepada sikap mengabaikan Allah dan hidup dalam ketidaktaatan (Mazmur 10:2-11).
John Stott dalam bukunya The Living Church menyatakan bahwa “para pendeta dan pemimpin gereja rentan terhadap godaan kesombongan karena mereka selalu menjadi sorotan orang banyak”. Akibatnya, kepemimpinan dapat dengan mudah turun derajatnya menjadi otoriter atau justru “menjilat” orang lain. Seorang pemimpin Kristen seharusnya menggunakan kuasa dan kedudukannya dalam kerendahan hati sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran Alkitab.
Dalam Alkitab, kita cukup banyak menemukan bahwa Allah memuji dan menginginkan kerendahan hati umat-Nya. Dalam Mikha 6:8 dinyatakan, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” Dalam perumpamaan tentang orang Farisi dan Pemungut Cukai (Lukas 18:9-14), Tuhan Yesus mengecam sikap orang Farisi yang suka membenarkan dirinya sendiri dan merendahkan orang lain. Sebaliknya, Tuhan Yesus memuji sikap pemungut cukai yang rendah hati dan mengakui keberdosaannya di hadapan Allah. Selanjutnya, Tuhan Yesus Kristus juga pernah berkata, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).
Orang-orang kudus dalam sejarah gereja juga banyak menekankan pentingnya bertumbuh dalam kerendahan hati sebagai salah satu karakter seorang murid Kristus. Bapa Gereja, Augustinus dari Hippo, pernah menyatakan, “Bagi orang yang mau hidup dalam jalan-jalan Tuhan, maka ada 3 hal yang harus dimilikinya. Yang pertama adalah kerendahan hati. Kedua, kerendahan hati. Ketiga, kerendahan hati”. Bagi Augustinus, tanpa kerendahan hati tidak mungkin seseorang hidup dalam jalan Tuhan, karena kerendahan hati dimulai dari sebuah kesadaran siapa sebenarnya Allah dan siapa sesungguhnya kita di hadapan-Nya. Selanjutnya, seorang teolog dan tokoh Kebangunan Rohani Amerika pada abad ke-18, Jonathan Edwards (1703 – 1758), dalam bukunya yang berjudul Religious Affection mencantumkan kerendahan hati sebagai salah satu dari tanda kerohanian yang sejati. Bagi Edwards, tanpa kerendahan hati, tidak ada kehidupan rohani yang murni, walaupun mungkin orang itu mengklaim mengalami perasaaan religius yang menggebu-gebu terhadap Allah.
Ada berbagai definisi tentang kerendahan hati. Gerald R. McDermott, mendefinisikan kerendahan hati sebagai “sebuah sikap yang melihat segala sesuatu sebagaimana yang sebenarnya”. Brigid E. Herman menyatakan hal yang senada bahwa “kerendahan hati merupakan kepekaan terhadap realitas dan proporsi yang didasarkan pada suatu pengetahuan kebenaran tentang Allah dan diri sendiri”. John Stott berpendapat bahwa “kerendahan hati merupakan sebuah kejujuran dengan tidak berpura-pura menjadi yang lain selain diri kita sesungguhnya”. Ladislaus Boros menyatakan, “kerendahan hati berarti memutuskan untuk memegang tangan Allah dan memercayai tuntunan-Nya sehingga menjadi seperti anak kecil, menunjukkan sopan-santun dalam segala hal, peka terhadap apa yang tidak menyenangkan bagi orang lain, melindungi yang lemah dengan kekuatannya, penuh dengan kelembutan batin, dan mau meringankan beban hidup sesamanya”. Sedangkan Martin Luther, tokoh reformasi abad ke-16 menyatakan, “kerendahan hati adalah keputusan untuk membiarkan Tuhan menjadi Tuhan”.
Kerendahan hati merupakan jalan menuju pengenalan secara benar terhadap Allah dan diri sendiri. Berdasarkan prinsip Roma 12:3, maka dapat dikatakan bahwa kerendahan hati adalah sebuah sikap jujur yang mampu melihat diri sendiri secara tepat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, tidak melihat diri lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya. Orang yang rendah hati memiliki konsep diri yang sehat. Dia melihat dirinya dan segala sesuatu dari sudut pandang Allah secara akurat. Orang yang melihat dirinya lebih tinggi daripada yang seharusnya adalah orang sombong (superior). Sebaliknya, orang yang melihat dirinya lebih rendah daripada yang seharusnya adalah orang yang rendah diri (inferior). Baik sikap sombong dan rendah diri tidak berkenan di hadapan Allah. Sikap sombong dan rendah diri biasanya adalah hasil dari sikap kita yang suka membandingkan diri kita dengan orang lain, sehingga yang menjadi tolak ukur penilaian diri adalah diri sendiri dan orang lain, bukan Allah dan firman-Nya.
Namun, orang yang rendah hati bukan sekadar mengenal dirinya sendiri, karena pengenalan yang demikian lebih kepada tindakan intelek semata. Orang yang rendah hati lebih daripada sekadar mengenal dirinya secara intelek, tetapi di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia menyetujui, menegaskan, mengesahkan, dan mengatakan “ya” tentang realitas dirinya sendiri. Orang yang rendah hati bersedia menjadi dirinya sendiri dan melakukan apa yang dapat dilakukan sesuai kehendak Allah.
Kerendahan hati bukanlah berarti rendah diri, menghina diri sendiri, atau merasa diri tidak berharga. Kerendahan hati bukanlah masalah menjelek-jelekkan diri sendiri atau mencoba membuat diri kita bukanlah apa-apa. Rendah hati juga bukan berarti kita tidak boleh bangga. Tetapi kebanggaan itu tidak boleh membuat kita angkuh, lupa diri, dan tidak tahu diri dengan memandang rendah atau menghina orang lain yang memiliki prestasi di bawah kita.
Orang yang rendah hati juga tidak menyangkali kemampuan-kemampuan atau kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, tetapi menyadari bahwa semua itu adalah anugerah Tuhan dan harus digunakan untuk kemuliaan Tuhan dan kebaikan bagi sesama. Orang yang rendah hati memiliki kesadaran bahwa nilai dirinya bukan ditentukan oleh kepintaran, pekerjaan, prestasi, pendapat orang, atau apa yang dimilikinya, tetapi nilai dirinya ditentukan oleh who I am in Christ” (siapa saya di dalam Kristus). “Apa yang kita lakukan” (what we do) harus didasari oleh pemahaman “siapa kita di dalam Kristus” (who we are in Christ).
Adapun beberapa karakteristik atau ciri orang yang rendah hati adalah sebagai berikut:

1.      Anugerah Tuhan selalu menjadi fondasi dalam hidupnya.
Kerendahan hati bermula dari 2 alasan mendasar. Pertama, kesadaran yang mendalam bahwa kita adalah orang berdosa yang mati secara rohani. Kedua, pengalaman kita tentang kasih dan anugerah Allah yang berlimpah dan tak bersyarat yang kita alami di dalam Kristus.
Orang yang rendah hati selalu menganggap dirinya tidak layak, tidak memadai, dan bersandar pada anugerah Tuhan setiap saat dalam hidupnya. Anugerah Tuhan menjadi fondasi dalam hidupnya. Semua orang percaya mengerti dan setuju bahwa seluruh hidup ini adalah semata-mata anugerah Allah, tetapi sayangnya seringkali terdapat kesenjangan besar antara apa yang kita pahami tentang anugerah Tuhan dengan apa yang kita perbuat dalam hidup kita sehari-hari.
Orang yang rendah hati sungguh-sungguh menyadari bahwa “I am nothing, but God is everything”, dan pemahaman itu tercermin dalam gaya hidupnya sehari-hari. Pusat dan sandaran hidupnya bukanlah dirinya dan apa yang dimilikinya (harta, kedudukan, popularitas, kepintaran, dll), melainkan Allah sendiri. Rasul Paulus dengan segala prestasi pelayanannya yang luar biasa tetap menyatakan, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:10)
Ada masa-masa tertentu dalam hidup saya yang sangat mengandalkan diri sendiri karena saya merasa mempunyai banyak kemampuan untuk berbuat banyak hal. Sekalipun dalam doa saya mengatakan bahwa saya bergantung penuh pada anugerah Tuhan dalam hidup saya, tetapi kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari, sikap saya tidak sejalan dengan doa-doa saya tersebut. Itulah sebuah kerendahan hati yang palsu. Untuk merobohkan kesombongan saya, kadang-kadang Tuhan mengizinkan saya menemukan jalan buntu dalam hidup ini melalui masalah-masalah hidup yang berat, seolah-olah saya tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Apa yang saya banggakan dan andalkan selama ini, tidak dapat menolong saya. Pada saat itu saya sungguh tidak berdaya, dan tidak ada jalan lain, kecuali saya tersungkur di hadapan kemuliaan dan kebesaran diri-Nya, serta mengakui kebodohan dan kelemahan saya. Melalui berbagai peristiwa kehidupan, Tuhan mengajar saya untuk hidup rendah hati dalam arti yang sesungguhnya. Saya mengamini pernyataan J.I. Packer dalam bukunya Never Beyond Hope: How God Touches and Uses Imperfect People (2000):
Sampai Tuhan menghancurkan keyakinan diri Anda, Ia tidak dapat berbuat banyak dengan Anda. Terkadang, seperti Simon Petrus, kita harus membuat kesalahan dan sungguh gagal sebagai orang Kristen sebelum keyakinan diri alami kita itu dihancurkan. Dalam rahmat-Nya Allah mengizinkan kita gagal dalam rangka memukul keluar keyakinan pada diri kita sendiri. Ketika Ia sudah melakukan hal itu, Ia dapat membangkitkan kita dengan suatu cara berpikir baru, yang memercayai Dia daripada memercayai diri kita sendiri. Hal ini sangat sehat bagi jiwa kita.

2.      Tidak suka menonjolkan diri sendiri.
Untuk mengukur seberapa besar kecenderungan diri kita menonjolkan diri sendiri, maka kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan berikut ini kepada diri kita masing-masing. Jika kebaikan kita dilupakan orang lain atau perbuatan baik kita tidak dilihat oleh orang lain, kerja keras kita tidak dihargai orang lain, dan tidak ada orang yang berterima kasih atas jerih lelah kita, apakah hal itu membuat kita berkecil hati? Apakah kita suka memamerkan kepada orang lain keberhasilan atau prestasi yang telah kita raih? Apakah kita orang yang haus akan pujian dan penghargaan dari orang lain? Apakah pengakuan dan penghargaan dari orang lain itu menjadi hal yang sangat berpengaruh dan bernilai primer dalam hidup kita? Apakah kita memiliki semangat kerja dan pelayanan yang sama kualitasnya, baik pada saat dilihat maupun tidak dilihat oleh orang lain? Apakah kita suka menguasai pembicaraan, dan lebih suka orang lain mendengarkan kita daripada kita mendengarkan orang lain?
Saya masih ingat, sekitar tahun 2009 yang lalu, salah seorang dosen seminari saya, pernah mengirimkan SMS yang berisi pujian terhadap diri saya. Kalimatnya kurang lebih seperti ini, “Binsar, kamu mempunyai kemampuan khotbah yang baik dan didukung kemampuan eksegesis yang baik. Kelak kamu jadi pengkhotbah yang sangat baik. Terus asah kemampuanmu.” Tidak salah menerima pujian dari orang lain, karena pujian yang positif dapat memotivasi seseorang untuk lebih maju. Namun sayangnya, saya salah dalam menyikapi pujian itu. Saya tunjukkan SMS itu kepada Grace (yang pada saat itu masih pacar saya, dan sekarang telah menjadi istri saya). Bagi saya pada saat itu, rasanya belum cukup hanya Grace yang mengetahui pujian itu, lalu beberapa minggu kemudian, saya menunjukkan SMS itu kepada 2-3 orang teman dekat saya di asrama sekolah teologi waktu itu. Saya ingin terus menyimpan SMS itu dalam handphone saya sebagai sebuah bukti bahwa kemampuan berkhotbah saya diakui oleh salah seorang dosen saya. Rasanya saya tidak ingin menghapus SMS itu dari handphone saya. Walaupun saya tidak menunjukkan SMS itu kepada semua teman saya di asrama, tetapi pada saat itu, saya harus mengakui bahwa saya telah menonjolkan diri saya sendiri. Ada semacam kebutuhan dalam diri saya supaya orang lain mengetahui prestasi dan keunggulan diri saya. Inilah sebuah sikap hati yang haus pujian. Sejujurnya, saya merasa sangat malu untuk menceritakan pengalaman ini, apalagi jika tulisan ini dibaca oleh dosen-dosen dan teman-teman sekolah teologi saya. Namun, saya ingin berbagi pengalaman tentang kegagalan rohani saya dalam area kerendahan hati. Saya bersyukur kepada Allah karena Roh Kudus menyingkapkan kebusukan hati saya itu dan membentuk saya supaya makin serupa dengan Kristus, walaupun saya masih terus bergumul dengan kelemahan dan kedagingan diri saya.

3.      Berani mengakui kesalahan dan minta maaf kepada orang lain.
Orang yang rendah hati tidak malu dan gengsi untuk berkata, “Saya salah, dan Anda benar. Maafkan saya.” Seringkali kita lebih mudah mengakui kesalahan kita dan minta maaf kepada orang-orang yang lebih tua daripada kita, atau kepada orang yang mempunyai posisi dan kedudukan yang cukup tinggi. Mungkin tidak sulit bagi kita untuk mengakui kesalahan dan minta maaf kepada orang tua atau atasan kita di kantor. Tetapi apakah hal yang sama juga kita lakukan kepada orang-orang yang kelihatannya “lebih rendah” dari kita? Misalnya, kepada anak-anak kita, pegawai kita, pembantu di rumah, atau kepada orang-orang yang kedudukannya lebih rendah daripada kita.
Berani dengan tulus minta maaf kepada orang lain bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru tanda kekuatan dan kedewasaan seseorang karena dia telah mampu untuk mengalahkan kesombongan dalam dirinya sendiri, yaitu perasaan gengsi untuk mengakui kesalahan. Kadang-kadang, kita mempunyai kecenderungan untuk dengan mudah mengakui kesalahan kita di hadapan Allah, tetapi gengsi untuk mengakui kesalahan kita pada orang lain, karena kita beranggapan bahwa tindakan itu mengurangi harga diri kita. Kita telah memiliki sistem nilai hidup yang terbalik, yaitu apa yang diberi nilai tinggi oleh Allah justru kita anggap rendah, tetapi apa yang rendah di mata Allah, justru kita beri nilai tinggi.

4.      Jujur dan tulus mengakui serta memuji kelebihan atau keberhasilan orang lain.
Orang rendah hati dengan sukacita dan penuh ketulusan dapat berkata kepada orang lain, “Pendapat Anda jauh lebih baik daripada saya”. Orang yang rendah hati tidak pelit dalam memberikan pujian terhadap orang lain dan turut bersukacita dengan keberhasilan orang lain. Nampaknya, lebih sulit bersukacita dengan orang yang sedang bersukacita, daripada menangis dengan orang yang sedang menangis. Mungkin dengan mudah kita terharu dan menangis ketika rekan kerja kita meninggal dunia. Namun, mungkin kita sulit bersukacita dan mengucapkan “selamat” dengan penuh ketulusan jika ada rekan kerja kita yang mengalami kenaikan posisi (promosi jabatan) menjadi lebih tinggi daripada kita. Rasul Paulus mengingatkan, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Roma 12:15).
Orang sombong akan merasa iri atas superioritas orang lain yang melampaui dirinya. Sebaliknya, orang yang rendah hati selalu menyukai kebaikan dimana pun ia menemukannya. Orang yang rendah hati tidak menganggap kelebihan orang lain sebagai kekurangan yang tidak dimiliki dirinya, karena dia sadar bahwa kelebihan orang lain dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. Dia tidak melihat orang lain yang mempunyai banyak kelebihan sebagai saingan dirinya, tetapi justru sebagai kawan sekerja yang sama-sama berusaha mewujudkan kebajikan di dunia ini. Jika kita sulit menghargai atau mengagumi keberhasilan dan kelebihan orang lain, akibatnya kita sulit merasa bahagia.
Salah satu bentuk penghargaan kita terhadap keberhasilan orang lain adalah dengan tulus memberikan pujian. Pujian bukanlah kata-kata muluk, basa-basi, sanjungan kosong, atau penghormatan yang berlebihan. Sanjungan berlebihan biasanya diberikan oleh orang yang gila hormat kepada orang lain yang juga gila hormat. Menurut Andar Ismail, “pujian adalah kata-kata yang wajar yang mengungkapkan penghargaan dan apresiasi kita yang tulus terhadap perbuatan seseorang” (Selamat Menabur, 2007). Baginya, “pujian yang sehat dapat menimbulkan dorongan semangat atau encouragement, dan sekaligus “reinforcer” (penguat) atas perilaku yang baik”. Pujian yang sehat adalah salah satu bentuk ungkapan terima kasih yang dapat dikenang oleh seseorang selama bertahun-tahun. Namun sayangnya, kita cenderung pelit memuji keberhasilan atau perbuatan baik orang lain. Misalnya, ketika anak kita berbuat salah, maka kita langsung menegur kesalahannya, bahkan mungkin kita marahi, tetapi ketika dia melakukan apa yang baik, kita jarang sekali memujinya, karena kita beranggapan bahwa kebaikan itu sudah sepatutnya untuk dilakukan. Hal ini adalah pola pendidikan yang tidak adil dalam memperlakukan seorang anak yang akan berdampak negatif bagi perkembangan jiwanya.
Tuhan Yesus pun semasa hidup-Nya di dunia, memberikan teladan dengan memberikan pujian atas sikap atau perilaku yang baik dari orang lain. Yesus memuji kebesaran iman seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:9) dan seorang perempuan Kanaan (Matius 15:28). Yesus memuji sikap Maria yang memilih untuk duduk mendengarkan pengajaran-Nya (Lukas 10:38-42). Bukankah pada suatu saat kelak, kita juga rindu Tuhan memuji kita, dengan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan Tuanmu?” (Matius 25:21, 23).
Dalam kaitan dengan sikap mengapresiasi orang lain, Andar Ismail dalam bukunya Selamat Menabur (2007) menulis demikian:
Menyatakan apresiasi sebenarnya tidak sulit. Cukup dua atau tiga kalimat, entah lisan, tertulis atau melalui telepon. Yang sulit adalah bahwa untuk itu diperlukan jiwa yang besar dan kematangan diri. Orang yang berjiwa kerdil merasa tidak aman untuk menghargai keberhasilan orang lain. Mereka malah ingin menutup-nutupi prestasi orang lain. Kalau Anda mau coba, barangkali Anda membuat sesuatu lalu memberikannya kepada sepuluh orang. Bisa diduga bahwa diantara mereka ada yang cuek. Jangankan menghargai, mengucapkan terima kasih pun tidak. Tetapi bisa juga ada yang menyatakan apresiasi. Siapa orang itu? Sudah bisa diduga, orang yang memuji karya Anda adalah justru orang yang sudah matang dan berjiwa besar.

5.      Suka berterima kasih kepada orang lain dengan penuh kejujuran dan ketulusan
Berterima kasih kepada orang lain berkaitan dengan integritas dan kerendahan hati. Berterima kasih tanpa integritas adalah pujian yang tidak tulus dan sekadar “pemanis di mulut saja”. Berterima kasih juga melibatkan kerendahan hati untuk berkata, “Terima kasih, saya tidak mungkin bisa melakukannya tanpa bantuan Anda”.
Seringkali kita sulit berterima kasih kepada orang lain karena beberapa alasan. Pertama, kita cenderung beranggapan pihak yang mengucapkan terima kasih adalah pihak yang kedudukannya lebih rendah. Namun sebenarnya, apa salahnya orang tua mengucapkan terima kasih kepada anaknya, majikan kepada karyawannya, atau guru kepada muridnya, jika memang telah menerima kebaikan yang sepatutnya dihargai? Kedua, kita beranggapan bahwa pihak yang berterima kasih adalah pihak yang lemah, yang telah menerima pertolongan atau kebaikan orang lain. Gengsi dan harga diri kita terlalu tinggi untuk mengakui kenyataan ini. Padahal hidup ini sangat bersifat relasional. Memberi dan menerima adalah bagian hidup manusia. Ada saat-saat tertentu, kita menjadi penolong dan pemberi bagi orang lain, tetapi ada juga saat-saat tertentu kita perlu ditolong dan menerima kebaikan dari orang lain. Kita semua perlu menerima pengampunan, nasihat, penghiburan, penguatan, kritik, dan masukan dari orang lain. Tidak mungkin dalam hidup ini, kita selalu berada pada posisi sebagai penolong bagi orang lain. Bahkan Yesus Kristus pun, semasa hidupnya di dunia tidak selalu berada pada posisi sebagai penolong sesama manusia. Ada juga masa-masa, Yesus sebagai “penerima”. Pada masa kecil-Nya, Yesus menerima perawatan dan pengasuhan penuh dari Maria, ibu-Nya. Ia disuapi dan tubuh-Nya harus dibersihkan oleh ibu-Nya. Yesus dan para murid-Nya menerima dukungan dana dari sejumlah orang untuk pelayanan-Nya (Lukas 8:1-3). Yesus tidak menolak bantuan Simon dari Kirene untuk memikul kayu salib-Nya menuju Golgota (Lukas 23:26). Yesus menerima pertolongan orang lain supaya jasad tubuh-Nya yang sudah mati dapat dipindahkan ke dalam kubur (Yohanes 19:38-42). John Stott menulis dalam bukunya The Radical Disciple (2010):
Di dalam pribadi Kristus, kita belajar bahwa kebergantungan [dalam arti positif] tidaklah dapat membuat seseorang kehilangan martabat mereka, kehilangan nilai diri mereka yang tinggi. Dan jika sikap kebergantungan adalah sikap yang dianggap tepat oleh Allah, Pencipta semesta, maka tentu sikap itu tepat juga bagi kita.

Mungkin bisa disimpulkan, bahwa kadang-kadang kita sulit mengungkapkan terima kasih kepada orang lain, karena kurangnya sikap kerendahan hati di dalam diri kita. Kita sulit mengakui kebutuhan diri kita untuk dibantu oleh orang lain. Atau kurangnya keberanian dan kejujuran dalam diri kita, sehingga kita mungkin terlalu malu untuk memberitahu orang lain betapa berartinya mereka bagi kita. Kadang-kadang kita menganggap enteng kebaikan orang lain.
Jika kesadaran dan kebiasaan untuk berterima kasih kepada Tuhan adalah sesuatu yang baik, maka saya juga percaya bahwa kesadaran dan kebiasaan berterima kasih kepada orang lain adalah sesuatu yang sangat Alkitabiah. William Arthur Ward menyatakan, “Merasa berterima kasih, tetapi tidak mengungkapkannya ibarat membungkus kado, tetapi tidak memberikannya”.
Dr. William L. Stidger duduk dan menulis surat ucapan terima kasih kepada seorang guru karena guru itu dulu pernah membesarkan hatinya ketika dia menjadi muridnya tiga puluh tahun yang silam. Pekan berikutnya, dia menerima surat jawaban, yang ditulis dengan tangan gemetaran oleh gurunya yang sudah sangat lanjut usia itu. Surat itu berbunyi:
“William sayang. Aku ingin kau tahu betapa berartinya suratmu bagiku. Aku wanita yang sudah tua, berumur delapan puluh tahun lebih, tinggal sendirian di sebuah kamar yang sempit, memasak makananku sendiri, kesepian, dan rasanya seperti daun yang hanya tinggal sehelai pada sebatang pohon. Kamu pasti tertarik untuk mengetahuinya, William, bahwa aku telah mengajar selama lima puluh tahun, dan selama itu suratmu adalah surat pujian pertama yang pernah kuterima. Surat itu tiba di pagi hari yang dingin dan muram, tapi berhasil menyemarakkan hati tuaku yang kesepian. Selama betahun-tahun aku belum pernah merasa sebahagia ini”. (Martin Buxbaum, Table Talk for Family Fun)

6.      Menerima kelemahan dan keterbatasan diri sendiri
Anugerah Allah tidak menghilangkan kelemahan dalam diri orang percaya, bahkan hamba Allah atau pemimpin gereja sekalipun. Allah tidak pernah bermaksud menjadikan kita sebagai pribadi tanpa kelemahan atau pura-pura tanpa kelemahan. Justru kita harus mengakui dan membawa kelemahan-kelemahan itu ke hadapan Allah untuk dipulihkan oleh-Nya, sambil terus-menerus memandang kepada kasih karunia-Nya.
Orang percaya bukanlah orang yang kebal terhadap berbagai kelemahan. Hal yang menarik adalah Alkitab justru tidak pernah menutup-nutupi kelemahan dan dosa-dosa dari tokoh-tokoh Alkitab. Alkitab dengan jujur mencatat kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa yang mereka lakukan. Nuh yang mabuk (Kejadian 9:20-27), Abraham dengan kebohongannya (Kejadian 12:10-20), Ishak yang pilih kasih kepada Esau (Kejadian 25:28), Yakub yang suka menipu (Kejadian 27:18-30), Daud yang berzinah dan merancangkan pembunuhan dengan licik (2 Samuel 11:1-27), Salomo dengan istri-istrinya yang menyembah berhala (1 Raja-raja 11:1-13), Petrus yang menyangkal Yesus (Matius 26:69-75), dan Paulus dengan pergumulan “duri dalam dagingnya” (2 Korintus 12:7-10). Kelemahan dalam diri manusia sangat banyak bentuknya, bisa berupa kelemahan fisik, dalam hal emosional, karakter, atau spiritual. J.I. Packer dalam bukunya Never Beyond Hope: How God Touches and Uses Imperfect People (2000) menulis:
Alkitab memberikan kepada kita kisah-kisah kehidupan dari banyak pribadi yang Allah pilih dan panggil untuk pelayanan-Nya. Berulang-ulang kali Alkitab menceritakan tentang kelemahan, kejatuhan moral, dan kegagalan spiritual dalam kehidupan mereka. Cara Allah terhadap orang-orang ini adalah mengubah mereka sementara Ia memakai mereka, dan memakai mereka sambil memperbaiki mereka. Berulang kali kisahnya adalah tentang Allah yang menerima kemuliaan melalui pelayanan yang diberikan, sementara pada saat yang sama orang yang melakukan pelayanan itu dalam keadaan masih sangat tidak sempurna. Tetapi Allah mengajar mereka pelajaran tentang hidup yang benar sambil ia terus memakai mereka. Pengudusan dan pelayanan berjalan bersama. Pengudusan bertumbuh sementara pelayanan berlangsung.

Saya bukan bermaksud menyatakan bahwa kelemahan manusiawi menjadi “surat izin” untuk berbuat dosa, bukan juga menganggap enteng kelemahan-kelemahan yang ada pada diri kita. Namun, hal yang ingin saya tekankan adalah kesadaran keberdosaan dan ketidaksempurnaan diri kita justru seharusnya membawa kita hidup makin rendah hati, karena kita sangat rentan dengan dosa dan kita membutuhkan belas kasihan Allah setiap saat.
Selanjutnya, orang yang rendah hati sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya memiliki banyak keterbatasan. Dia mengakui dengan jujur dan ketulusan bahwa dirinya tidak dapat melakukan semua hal. Dia tidak malu untuk mengakui kebutuhannya akan orang lain. Kita bukanlah Superman. Namun, John Ortberg dalam bukunya Kehidupan yang Selalu Anda Dambakan (1999) menyesalkan:
Kadang-kadang kita orang dewasa mencoba menjadi Superman. Kita berusaha tampak lebih pintar, lebih sukses, atau lebih rohani daripada sebenarnya. Kita mencoba menjawab pertanyaan yang tidak kita mengerti. Tapi itu beban berat, menjadi Superman setelah dewasa.

7.      Selalu ingin diajar dan belajar
John of the cross menyatakan bahwa “orang yang rendah hati memiliki keinginan yang mendalam untuk diajar oleh orang lain yang dapat membawa manfaat bagi diri mereka sendiri.” Thomas Kempis menasihati kita, “Jangan terlalu yakin dengan pendapat Anda sendiri, tetapi bersedialah mendengarkan apa yang orang lain katakan”. Jiwa yang rendah hati ditandai oleh hasrat yang besar untuk mau diajar dan belajar di sepanjang hidupnya. Mau diajar dan belajar dari berbagai macam sumber, baik dari pengalaman hidup diri sendiri dan orang lain, buku-buku, media cetak, dan berbagai sumber ilmu lain yang tidak ada habisnya. Belajar adalah aktivitas seumur hidup (Life long learning).
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya diperbantukan pelayanan praktik di salah satu gereja di Jakarta, salah seorang Hamba Tuhan senior pernah mengatakan pada saya demikian, “Binsar, ternyata belajar bahasa Yunani dan Ibrani ketika di STT itu tidak terpakai waktu pelayanan”. Saya cukup terkejut dengan pernyataan itu. Nampaknya, bagi Hamba Tuhan ini, persiapan khotbah tidak perlu lagi menelusuri sampai ke bahasa asli Alkitab, karena jemaat awam tidak mengerti hal itu. Saya berpendapat bahwa penekanan pada sebuah khotbah adalah aplikasi dari teks Alkitab yang dibaca. Tetapi bagaimana mungkin kita bisa menarik aplikasi dari sebuah teks Alkitab secara akurat jika kita tidak menemukan arti mula-mula teks Alkitab (original meaning) yang sesungguhnya? Untuk menemukan arti mula-mula dari teks Alkitab, seringkali kita harus menelusuri bahasa aslinya. Bagi saya, berkhotbah adalah memberitakan kebenaran firman Allah secara akurat, tepat, “mendarat” di hati umat, dan mampu menjawab kebutuhan umat. Untuk dapat berkhotbah dengan baik perlu terus-menerus belajar dan memperlengkapi diri.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, semangat mau terus belajar dan memperlengkapi diri, tergolong rendah. Hal ini terlihat dari hasil survei internasional yang menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat kedua dari bawah dalam hal kemampuan memahami isi buku (Andar Ismail, Selamat Bergereja, 2009). Dalam masyarakat kita, budaya membaca buku sangat rendah karena kegiatan itu dianggap hanya untuk orang-orang yang masih sekolah. Begitu selesai sekolah, tidak lagi membiasakan diri membaca buku. Padahal minat baca adalah dasar semangat belajar.
Bahkan, menurut pengamatan Dr. Andar Ismail, minat baca para pendeta pun masih rendah. Kalaupun mereka banyak membeli buku, namun masih sedikit yang dibaca dan dicerna dengan baik. Sayang sekali jika buku-buku dibeli hanya dipajang sebagai simbol status diri.
Andar Ismail dalam bukunya Selamat Bergereja (2009) menulis demikian:
Menurut Calvin, tiap pendeta memerlukan pietas literata, yaitu kesalehan melalui literatur atau pertumbuhan diri melalui banyak membaca buku. The Westminster Dictionary of Christian Education mencatat Calvin berucap, “No one is a good minister of the Word of God who is not first a scholar”. Kata scholar di sini berarti terpelajar dan suka belajar.

8.      Lebih mengutamakan penilaian Allah daripada penilaian manusia
Orang yang rendah hati selalu berusaha hidup sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar Allah, tetapi dia sendiri tidak terlalu mencemaskan penampilan atau citra dirinya. John Ortberg menyatakan bahwa “mencemaskan penampilan mungkin adalah bentuk keangkuhan yang paling umum”. Orang yang rendah hati mampu memilah dengan cermat dan bijaksana, mana penilaian orang lain yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Dia mendengarkan dengan bijak apa kata orang tentang dirinya, tetapi hidupnya tidak dikendalikan oleh penilaian atau pendapat orang lain. Orang yang rendah hati akan mempertimbangkan dengan serius pendapat dan nasihat orang lain, namun dirinya tidak kecanduan akan persetujuan dari orang lain.
Kita cenderung tergoda untuk menyenangkan semua orang. Bahkan seringkali kita menurunkan standar firman Tuhan, kompromi dengan dosa demi menyenangkan orang lain, atau supaya diri kita bisa diterima oleh kelompok lain. Kita lupa, Tuhan Yesus saja selama hidup di dunia, tidak bisa menyenangkan semua orang. Jadi, keliru sekali, jika kita melakukan apa yang Yesus sendiri tidak pernah lakukan, yaitu berusaha untuk menyenangkan semua orang. Jika Yesus dapat menyenangkan semua orang, maka Yesus tidak mungkin difitnah dan mati dengan cara yang hina, yaitu disalib.
Saya pernah berbagi beban pelayanan via SMS pada pertengahan bulan Juli 2011 yang lalu kepada salah seorang teman saya, seorang Hamba Tuhan yang sedang melayani penuh waktu di salah satu gereja di Jakarta. Kepadanya, saya mensharingkan salah satu alasan saya untuk beberapa tahun ke depan saya ingin melayani di gereja lokal, yaitu saya ingin melalui masalah-masalah hidup bergereja yang sangat kompleks dapat menjadi sarana yang Tuhan pakai untuk membawa saya lebih serupa dengan Tuhan Yesus. Lalu dia membalas SMS saya dengan menyatakan, “Kadang-kadang masalah gereja bisa menjebak kita bukan makin serupa dengan Yesus, tetapi serupa dengan anggota DPR. Jadi hati-hati jaga kerohanian, Sar”. Saya tersenyum ketika membaca SMS balasannya itu. Saya bisa menangkap apa maksudnya. Terkadang dalam menangani masalah-masalah hidup bergereja, Hamba Tuhan tergoda untuk menjadi orang yang otoriter atau “menjilat” orang lain demi kepentingan diri sendiri, sehingga tidak lagi mengutamakan apa yang disukai Tuhan. Saya sungguh menyadari bahwa hal ini juga adalah godaan dan tantangan bagi saya. Baik sikap otoriter maupun “menjilat”, keduanya bertentangan dengan sifat kerendahan hati.
Charles Swindoll dalam bukunya A Life Well Lived menulis, “kerendahan hati berarti mengutamakan nama baik Tuhan daripada nama baik diri sendiri”. Betapa mengerikan, jika kita rela mempermalukan nama Tuhan, bahkan menjual nama Tuhan demi untuk memelihara “nama baik sendiri”. Dalam Galatia 1:10 (BIS), rasul Paulus menulis, “Apakah dengan itu nampaknya saya seolah-olah mengharap diakui oleh manusia? Sama sekali tidak! Saya hanya mengharapkan pengakuan dari Allah. Apakah saya sedang berusaha mengambil hati manusia supaya disenangi orang? Kalau saya masih berbuat begitu, saya bukanlah hamba Kristus.” Selanjutnya, Michael Ramsey, pemimpin tertinggi Gereja Anglikan Inggris (Archbishop of Canterbury) pernah memberikan nasihat, “Jangan kuatir tentang status.... Hanya satu status yang diminta Tuhan untuk kita perhatikan, yaitu status untuk mendekat kepada-Nya”.

9.      Tidak reaktif  dan balas dendam ketika direndahkan oleh orang lain
Orang yang rendah hati mampu melihat bahwa setiap hinaan dan cercaan dari orang lain merupakan sarana yang diizinkan Tuhan untuk membawa dirinya makin dewasa di dalam Kristus dan makin serupa dengan Kristus. Kadang-kadang, kita “butuh” dicela dan direndahkan, supaya kita bisa lebih menghargai orang lain. Michael Ramsey, pemimpin tertinggi Gereja Anglikan Inggris (Archbishop of Canterbury) pernah memberikan nasihat:
Siapkan diri untuk menerima perendahan. Tentu proses ini akan terasa sangat menyakitkan, namun hal ini akan menolongmu untuk menjadi rendah hati. Akan terdapat perendahan yang sepele. Terimalah itu. Namun akan terdapat juga perendahan yang lebih besar.... Semua ini dapat menjadi kesempatan yang begitu limpah untuk sedikit lebih dekat dengan Tuhan kita yang rendah hati dan tersalib.

Orang yang hidup dalam kerendahan hati juga tidak reaktif  terhadap fitnahan atau pendapat orang lain yang berlebihan tentang dirinya. Bahkan pada kondisi-kondisi tertentu, dengan hikmat dari Allah, mungkin dia akan memilih untuk berdiam diri, karena dia percaya bahwa Allah adalah Pembela dirinya. Richard Foster menulis:
Salah satu keuntungan dari berdiam diri adalah kebebasan untuk menyerahkan pembenaran seseorang menjadi tanggung jawab Allah sepenuhnya. Kita tidak perlu meminta orang lain berterus terang. Ada sebuah kisah tentang seorang biarawan Abad Pertengahan yang tanpa bukti dituduh melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu. Pada suatu hari dia memandang dari jendelanya ke luar, dan menyaksikan seekor anjing menggigit dan merobek sepotong permadani yang tergantung di tempat jemuran. Ketika ia perhatikan, Tuhan berbicara kepadanya, “Inilah yang sedang Aku lakukan pada reputasimu. Tetapi jika Engkau mau percaya pada-Ku, engkau tidak perlu kuatir tentang pendapat orang lain”. Mungkin yang terpenting dari semuanya, berdiam diri mengajak kita supaya percaya bahwa Allah dapat membenarkan dan meluruskan banyak perkara. (Gerald R. McDermott, Mengenali 12 Tanda Kerohanian Sejati, 2001)

Hal ini bukan berarti kita menerima dengan pasrah semua sikap orang lain yang semena-mena terhadap diri kita. Bukan berarti kita tidak boleh membela diri terhadap tuduhan palsu yang dilontarkan oleh orang lain kepada kita. Namun hal utama yang ingin ditekankan adalah kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan. Ketika kita dihina dan direndahkan oleh orang lain, jangan kita membalas dengan merendahkan dan menghina kembali orang itu. Saya mengakui bahwa hal ini sangat sulit dilakukan, karena kecenderungan diri manusia pada umumnya adalah membalas yang baik dengan yang baik, dan yang jahat dengan yang jahat. Yesus Kristus dalam dalam Lukas 6:27-36 (TB LAI) mengatakan:
“Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.... Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.... Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

Perjuangan untuk hidup rendah hati merupakan sebuah proses seumur hidup. Kita harus terus-menerus berjuang dengan pertolongan Roh Kudus untuk hidup makin rendah hati seperti Yesus Kristus. Dalam perjuangan untuk hidup rendah hati itu, tentu ada pergumulan, kegagalan, dan pertumbuhan. Kerendahan hati kita tidak pernah konstan karena kita masih terus bergumul dengan dosa. Ada pada saat-saat tertentu kita menyombongkan diri, dan ada juga pada saat-saat tertentu kita mungkin rendah hati. Dalam area-area hidup tertentu, kita mungkin dapat bersikap rendah hati, tetapi dalam area-area yang lain, kita mungkin begitu rentan dengan kesombongan. Charles Swindoll dalam bukunya A Life Well Lived menulis demikian, “Di dalam diri manusia, selalu terjadi peperangan antara kesombongan dan perjuangan untuk hidup rendah hati”. Kita perlu terus-menerus bertumbuh dalam kerendahan hati.
Dengan demikian, tidak ada seorang pun diantara kita yang dapat berkata, “Saya telah hidup dengan rendah hati dan bebas dari kesombongan”. Kerendahan hati memiliki sifat paradoks, seperti yang dinyatakan oleh E.D. Hulse dalam Bashford Methodist Messenger, “Kerendahan hati adalah sesuatu yang aneh. Begitu kita mengira telah mendapatkannya, kita kehilangan sifat itu”.
Kita tidak pernah mencapai kesempurnaan selama di dunia ini. Sebagai orang percaya, selama di dunia, kita selalu berada dalam ketegangan eskatologis antara “the already, but not yet”. Oleh sebab itu, dosa kesombongan tidak dapat kita lenyapkan sepenuhnya di dalam diri kita. Kita menantikan penyempurnaan dari Allah yang akan dilakukan-Nya pada akhir zaman nanti. Pada hari yang bahagia itu, dengan mengenakan tubuh kebangkitan yang mulia, kita umat percaya, akan mengalami keadaan yang disebut oleh Bapa Gereja, Augustinus, “non posse peccare” (tidak dapat berdosa lagi). Kita akan hidup sepenuhnya memancarkan kemuliaan Allah Tritunggal dalam persekutuan yang kekal dengan diri-Nya. 
By: Binsar