Saturday, December 18, 2010

BANGGA BERAGAMA KRISTEN?



Banggakah kita beragama Kristen? Orang Kristen berarti “orang yang menjadi pengikut Kristus”. Namun, pertanyaannya adalah apakah orang lain melihat Kristus yang hidup di dalam diri kita? Ada beberapa bentuk ungkapan atau ekspresi religius seseorang dalam hidup kekristenannya, yaitu:



 1.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara verbal.
Dalam percakapan sehari-hari, kalau orang lain bertanya kepada kita: “Apa kabar?” Kadang-kadang (mungkin ada yang lebih sering lagi) kita menjawab: “Haleluya, Puji Tuhan!” Ketika sembuh dari sakit, kita juga biasanya berkata: “Haleluya!” Entah berapa kali kata itu diucapkan sebagai pemanis dalam percakapan atau dengan tujuan menunjukkan identitas kekristenan kita. Dalam doa-doa, kita juga menyebut dan memanggil nama “Tuhan” atau “Allah”, baik dalam doa-doa pendek maupun doa-doa yang panjang.
2.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara ornamental.
Pergi kemana-mana, orang Kristen tipe ini suka menggunakan simbol-simbol kekristenan. Memakai kalung salib, anting-anting bentuk salib, baju yang bergambar atau bertuliskan tentang iman Kristen (seperti: Jesus loves me, I love Jesus, dan sebagainya), dan di mobil dipasang sticker yang menyatakan identitas kekristenannya. Dari kejauhan orang lain sudah tahu, mobil itu milik orang Kristen.
3.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara ritual-seremonial.
Mungkin diantara kita ada orang Kristen yang sebelum dan sesudah makan selalu berdoa. Setiap hari bersaat teduh, bermeditasi. Setiap minggu pergi beribadah ke gereja, menyanyikan pujian kepada Allah, mengaku dosa, membaca Alkitab, dan memberikan persembahan. Di hari-hari tertentu atau hari-hari lain, mungkin kita melakukan doa puasa, mengikuti Perjamuan Kudus, memberitakan Injil, dan sebagainya. Hidup kita bergerak dari satu hari raya ke hari raya lainnya, mulai dari Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan Yesus, Pentakosta, dan sebagainya. Hidup kita dipenuhi jadwal ritus keagamaan, mulai dari ritual harian, mingguan, dan tahunan.
4.    Hidup kekristenan yang diwujudkan secara intelektual.
Yesus Kristus dalam Matius 22:37 memerintahkan kita untuk mengasihi Allah dengan seluruh keberadaan diri kita, termasuk mengasihi Allah dengan segenap “akal budi” kita (NIV: Love the Lord your God... and with all your mind”). Setiap bentuk kekristenan yang menolak atau meremehkan arti pentingnya “pemikiran” atau “intelektualitas”, bukanlah kekristenan yang Alkitabiah. Itulah sebabnya, kepercayaan Kristen diformulasikan dalam bentuk doktrin atau pengakuan iman. Hasil konsili dari Bapa-Bapa Gereja (misalnya, Konsili Chalcedon tahun 451) memuat “rumusan intelektual-teologis” tentang iman Kristen, khususnya berkaitan tentang doktrin Kristus. Demikian pentingnya identitas iman Kristen yang dirumuskan secara intelektual-teologis, maka dalam setiap kebaktian hari Minggu, kita mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli.  
Seorang tipe intelektual, merasa sangat dekat dengan Allah ketika mempelajari sesuatu yang baru tentang Dia yang sebelumnya tidak dipahaminya. Doktrin atau pengajaran iman Kristen menjadi sesuatu yang sangat menarik dan membangkitkan hasratnya untuk lebih mengasihi Allah.
Apakah salah mengekspresikan hidup kekristenan dengan keempat bentuk di atas? Tentu tidak! Hidup kekristenan tidak mungkin bisa terlepas dari ekspresi religius secara verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual. Keempat bentuk ekspresi religius itu jika dipahami dan dipraktikkan secara tepat dan proporsional, justru makin memperdalam keintiman relasi seseorang dengan Allah. Tetapi mengapa terdapat beberapa bagian Alkitab yang mengecam ekspresi religius di atas?
       Misalnya, terhadap orang yang sebentar-sebentar menyebut nama “Tuhan”, Yesus memperingatkan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku...” (Matius 7:21). Mengenai orang yang suka memakai ornamen atau atribut religius, Yesus berkata, ”Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang (Matius 23:5). 
      Selanjutnya, kepada mereka yang sangat menekankan ibadah ritual-seremonial, firman Tuhan memperingatkan,”Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi. Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:4-7).
     Terhadap mereka yang menekankan ekspresi religius dalam bentuk intelektual, ada bahaya yang harus diwaspadai, yaitu kesombongan rohani, suka perdebatan teologis dengan sikap menghakimi, atau tahu banyak tentang kebenaran, tetapi mengabaikan kebenaran. FirmanTuhan mengingatkan, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?” (Yakobus 2:19-20).

Lalu kita mulai berpikir, apa yang salah dengan ekspresi religius demikian? Ternyata Allah sangat mengecam ekspresi religius (verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual) yang terpisah dari kesucian hidup sehari-hari (ibadah moral). Dr. John Stott pernah menulis, “Ibadah tanpa kesucian hidup adalah kebencian di mata Allah!” Allah melalui nabi Amos, pernah mengecam umat Israel yang melakukan ibadah lahiriah, tetapi hidup mereka mengabaikan kebenaran dan keadilan terhadap sesama manusia: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:21-24).
Iman Kristen yang sejati tidak membuang atau merendahkan nilai dari ekspresi religius verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual, tetapi keempat hal itu saja tidak cukup. Ekspresi keagamaan yang sejati harus melibatkan bentuk kelima, yaitu “ibadah rohani”, ibadah moral, ibadah yang meliputi seluruh aspek hidup untuk melakukan kehendak Allah. Hal ini ditegaskan oleh rasul Paulus, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Paulus mengingatkan kita bahwa ibadah sejati, bukan sekadar ekspresi verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual, tetapi seluruh hidup kita yang menyenangkan hati Tuhan. 
Lalu, bolehkah kita bangga beragama Kristen? Silakan, boleh-boleh saja. Tetapi salah besar dan sangat disayangkan, jika hidup kekristenan kita hanya diungkapkan sebatas pada ekspresi religius verbal, ornamental, ritual-seremonial, dan intelektual. Seringkali kita terjebak dalam formalisme, ritualisme, dan simbolisme agama Kristen, sedangkan esensi kekristenan atau inti ibadah itu sendiri luput dari keseharian kita. 
Filsuf Francois Duc de Levis (1764-1830) pernah menulis, “Noblesse oblige”, yang artinya, “sebutan yang luhur mengandung tanggung jawab yang luhur pula”. “Orang Kristen adalah pengikut Kristus”, sungguh sebuah sebutan yang luhur dan mulia. Oleh sebab itu, hidup kekristenan seharusnya diwujudnyatakan dalam perilaku yang luhur, yaitu perilaku yang menyerupai Kristus. Hidup yang berbelas kasihan kepada sesama, memperjuangkan hak-hak orang lemah, berjuang menghapuskan diskriminasi, menabur kasih, perdamaian, dan pengampunan di tengah-tengah kebencian dan pertikaian, rela berkorban untuk kepentingan sesama, menegakkan keadilan dan kebenaran, dan seterusnya. Jika kita mengaku diri Kristen, tetapi hidup keseharian kita jauh dari teladan Kristus, apa kata dunia? Kita harus malu, sungguh-sungguh malu, jika ada orang yang bukan Kristen, tetapi hidup kesehariannya “lebih baik” daripada kita yang mengaku diri Kristen. (By: Binsar)



1 comment:

  1. Pengenalan akan Tuhan membawa kita untuk terus-menerus membaharui hidup menuju keserupaan dengan Kristus. Memahami keserupaan tersebut tidaklah mudah di tengah-tengah banyaknya "model-model rohani" lainnya, yang begitu menarik dan mempesona, yang dapat dengan mudah membelokkan jalan kita menuju keserupaan dengan Kristus. Dan refleksi Binsar ini merupakan suatu cara untuk memfokuskan kita untuk tetap memandang kepada Kristus, Sang Model Sempurna itu.

    ReplyDelete