Friday, March 11, 2011

JANGANLAH MENGHAKIMI!

 Tulisan berikut ini merupakan naskah khotbah yang pernah saya khotbahkan, semoga naskah khotbah ini bisa menjadi berkat bagi kita semua..... 

Matius 7:1-5 (TB LAI) Matius 7:1 "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.  2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.  3 Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?  4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.  5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."

Matius 7:1-5 (BIS) Matius 7:1 ”Janganlah menghakimi orang lain, supaya kalian sendiri juga jangan dihakimi oleh Allah. 2 Sebab sebagaimana kalian menghakimi orang lain, begitu juga Allah akan menghakimi kalian. Dan ukuran yang kalian pakai untuk orang lain, akan dipakai juga oleh Allah untuk kalian.  3 Mengapa kalian melihat secukil kayu dalam mata saudaramu, sedangkan balok dalam matamu sendiri tidak kalian perhatikan?  4 Bagaimana kalian dapat mengatakan kepada saudaramu, 'Mari saya keluarkan kayu secukil itu dari matamu,' sedangkan di dalam matamu sendiri ada balok?  5 Hai munafik! Keluarkanlah dahulu balok dari matamu sendiri, barulah engkau melihat dengan jelas, dan dapat mengeluarkan secukil kayu dari mata saudaramu.”


Leo Tolstoy pernah berkata: “Banyak orang yang berambisi ingin mengubah dunia. Banyak orang yang berambisi untuk mengubah hidup orang lain, tetapi terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.”
Saudara-saudara, dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang demikian. Dan ini juga menjadi tantangan dan ujian bagi kita sebagai hamba Tuhan yang banyak berurusan dengan mengubah hidup orang lain.
Pada era tahun 90-an. Pdt. Jesse Jackson dianggap sebagai salah satu kompas spiritual masyarakat Amerika. Beliau bukan hanya dikenal sebagai tokoh agama, tetapi juga seorang politikus, pejuang HAM yang gigih. Tetapi dunia kekristenan di Amerika dikejutkan oleh pengakuannya di depan publik, pada tanggal 18 Januari 2001, dia mengaku, telah berselingkuh sejak tahun 1998 dan telah mempunyai seorang anak di luar nikah, dari hasil perselingkuhannya itu, yang berumur 20 bulan. Ironisnya adalah skandal perselingkuhannya itu terungkap pada saat dia sedang menjadi konselor yang menangani kasus perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky. Bayangkan, orang yang sedang berselingkuh (Jesse Jackson) mencoba menjadi terapis bagi orang yang juga berselingkuh juga (Bill Clinton).
Kisah yang lain, pada November 2006, Pdt. Ted Haggard mengundurkan diri dari posisi gembala sidang senior dari New-Life Church di Colorado Spring yang beranggotakan 14.000 orang, dan juga dari posisi pimpinan National Association of Evangelicals karena terbongkarnya tindakan-tindakan dia terhadap seorang pelacur homoseksual bernama Mike Jones. Padahal di Amerika, Pdt. Ted Haggard dikenal sebagai tokoh Kristen yang banyak berbicara tentang kekudusan hidup, dan salah satu buku best-sellernya tentang topik spiritualitas sudah ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Selain dia banyak berbicara tentang topik kesucian hidup, dia juga mati-matian mengecam keras praktik homoseksual, begitu vokal menentang homoseksual, tetapi ternyata terbongkar, dia sendiri telah mempraktikkan dosa tersebut selama beberapa tahun.

Saudara-saudara, kedua kisah nyata di atas saya ungkapkan bukan karena saya merasa lebih rohani dari mereka, karena saya pun belum teruji; integritas dan konsistensi pelayanan seseorang harus dilihat sampai pada akhir hidupnya. Sebenarnya jika kita membaca biografi kedua tokoh tadi, banyak hal positif yang bisa kita pelajari dari pelayanan mereka. Tetapi saya ingin membukakan area-area fatal dalam hidup mereka yang perlu kita waspadai, karena kita pun bisa jatuh kepada hal yang sama. Area apa itu? Yaitu, betapa banyak Hamba Tuhan yang berusaha membereskan dosa-dosa orang lain, tetapi jarang membereskan dosa-dosanya sendiri. Menempatkan diri sebagai “penyelamat” bagi orang lain, tetapi sebenarnya dia pun butuh ditolong. Mereka ingin mengeluarkan orang dari kubangan dosa tertentu, tetapi mereka juga sedang terperangkap pada dosa yang sama, bahkan kadang-kadang lebih parah. Pdt. Ted Haggard berteriak mengecam keras dosa homoseksual padahal dia sendiri juga melakukannya.
Saudara-saudara, dalam perikop yang kita baca tadi, Yesus memberitakan perintah: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” “Sikap menghakimi” yang dimaksudkan dalam bagian ini bukan berarti kita tidak boleh mengkritik orang lain, bukan berarti kita tidak boleh menegur kesalahan orang lain, bukan berarti kita meniadakan nalar kritis kita untuk membedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang baik, dan mana yang jahat. Karena kalau kita melihat pasal 7, ayat 13 dst, di situ jelas sekali Yesus meminta kita untuk bisa membedakan antara nabi-nabi palsu dengan nabi-nabi yang sejati, ini berarti diperlukan kemampuan kritis untuk membedakan mana nabi yang asli dan mana yang palsu, mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang sesat.
Jangan menghakimi!” Bukan juga maksudnya kita tidak peduli dengan kesalahan orang lain, menutup mata dengan kesalahan orang lain, seolah-olah itu adalah masalah privacy orang lain, bukan urusan kita. Bukan itu poinnya. Tetapi sikap menghakimi yang dimaksudkan disini adalah lebih kepada sikap yang begitu fanatik dan agresif terhadap dosa-dosa orang lain, tetapi begitu toleran dengan dosa-dosa sendiri.
Sikap menghakimi disini lebih kepada sikap yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak sadar bahwa dia sebenarnya punya kesalahan yang jauh lebih besar.
Sikap menghakimi disini lebih kepada sikap yang begitu kejam, begitu keras mengkritik orang lain, judgmental spirit, dan menghukum orang lain tanpa belas kasihan; tetapi sebaliknya, begitu lemah mengkritik diri sendiri, begitu toleran dengan kesalahan diri sendiri. Yesus tidak melarang kita untuk mengkritik, atau menegur kesalahan orang lain. Yang dilarang Yesus adalah mengkritik dengan spirit/jiwa yang salah dengan tujuan dan motif yang salah. Kritik yang sifatnya menghancurkan, merendahkan orang lain. Mengkritik dengan sikap arogan, penuh dengan kesombongan rohani.
Poin utama yang ingin ditekankan oleh Yesus dalam perikop ini adalah Yesus mengingatkan kecenderungan (tendensi) manusia pada umumnya untuk lebih berfokus melihat kesalahan-kesalahan orang lain daripada melihat ke dalam diri sendiri. Jika kita menemukan dosa orang lain, kita kecam habis-habisan. Tetapi jika kita menemukan kesalahan diri sendiri, kesalahan itu kita anggap kecil dan remeh. Kita lucuti kesalahan orang lain, sampai akhirnya kita kehilangan belas kasihan terhadap orang lain.
Darimana kita tahu bahwa “menghakimi” yang dimaksudkan oleh Yesus adalah seperti itu? Dalam ayat 3-4, Yesus memberikan sebuah ilustrasi yang sangat ironis, fantastik, dan bisa dikatakan lucu juga.
Supaya lebih jelas ayat 3 bisa diterjemahkan seperti ini: “Mengapakah engkau melihat serbuk kayu [sangat kecil] di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu “tidak engkau perhatikan sungguh-sungguh?”
Dalam ilustrasi ini, diceritakan ada dua orang, yang satu memiliki “selumbar” di matanya (Yunani: karphos = serbuk kayu yang sangat kecil, serbuk kayu yang diperoleh ketika kita menggergaji sebuah kayu, intinya merujuk pada “sesuatu objek yang sangat kecil”). Sedangkan orang yang satu lagi memiliki “balok” dalam matanya (Yunani: dokos = balok yang biasanya digunakan untuk penyangga pada sebuah konstruksi bangunan). Orang yang memiliki balok dalam matanya itu, ingin menolong mengeluarkan selumbar dalam mata saudaranya. Tentu motivasi ini sangat baik kelihatannya. Tetapi masalahnya adalah tidak mungkin orang itu dapat menolong mengeluarkan selumbar dari mata saudaranya karena dalam matanya sendiri ada sebuah balok besar. Pada saat orang ini ingin mengeluarkan selumbar itu, ada balok yang menghalangi dia untuk bisa melihat dengan jelas selumbar itu. Dengan demikian, tak mungkin pertolongan bisa dilakukan.
Orang yang dalam matanya ada balok itu sebenarnya tertipu oleh dirinya sendiri, tertipu oleh penglihatannya sendiri. Jika biasanya kita ditipu oleh orang lain, tapi dalam hal ini, orang itu ditipu oleh dirinya sendiri. Orang ini berpikir dia tidak punya masalah yang perlu dibereskan. Orang lain yang punya masalah, tetapi justru orang ini sebenarnya punya masalah besar, punya dosa besar, tetapi dia tidak menyadari hal itu. Dia buta terhadap dosa dirinya sendiri (the self-blindness), tetapi melek terhadap dosa orang lain. Inilah ironisnya.
Kalau kita mau jujur dengan diri kita sendiri, bukankah natur keberdosaan kita membuat kita cenderung seperti ini. Suka atau tidak suka, saudara dan saya mempunyai kecenderungan seperti ini. Seringkali kita lebih mudah melihat selumbar-selumbar di mata orang lain, kita getol mencari selumbar-selumbar di mata orang lain, tetapi balok dalam mata kita sendiri, kita tidak tidak lihat, kita tidak sadar. Kadang-kadang, kita begitu peka, begitu sensitif dengan dosa-dosa orang lain, tetapi tidak peka dan sensitif dengan dosa kita sendiri. Kita begitu cepat dan mudah menemukan kesalahan orang lain, tetapi seringkali sulit menemukan kesalahan diri sendiri. Kita cenderung membesar-besarkan kesalahan orang lain, tetapi mengecilkan kesalahan diri sendiri, bahkan kadang-kadang menutup rapat-rapat supaya orang lain tidak ada yang tahu kesalahan kita itu. Kita seringkali sibuk dengan dosa-dosa orang lain, sampai-sampai lupa atau kurang mencermati kehidupan kerohanian kita sendiri. Seringkali tanpa sadar, kita menerapkan standar ganda dalam relasi dengan orang lain. Kita menerapkan standar dan tuntutan yang sangat tinggi terhadap orang lain, tetapi kita menurunkan standar itu bagi diri kita sendiri.
Saudara-saudara, kadang-kadang kita tidak peka terhadap dosa-dosa sendiri, tetapi begitu peka terhadap dosa-dosa orang lain, seperti yang dilakukan oleh Daud ketika membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba, istri Uria. Pada waktu nabi Natan memberikan sebuah perumpamaan untuk menegur dosa Daud. Daud tidak sadar, tidak peka bahwa Natan sebenarnya sedang menegur dosanya melalui perumpamaan itu. Kita semua sudah tahu ceritanya. Justru, Daud berkata: “Demi Allah yang hidup, orang kaya yang telah mengambil anak domba betina dari si miskin itu, harus dihukum mati, karena ia tidak mengenal belas kasihan.” Tetapi pada saat itu, nabi Natan berkata: “Daud, engkaulah orang itu!” (Baca 2 Samuel 12:1-7). Kadang-kadang kita juga bisa seperti Daud, yang kehilangan kepekaan terhadap dosa-dosa kita sendiri yang sebenarnya menjijikkan di mata Allah. John Calvin pernah menulis: “Orang yang kudus, bukanlah orang yang tidak dapat berbuat dosa lagi, tetapi orang kudus adalah orang yang makin memiliki kepekaan terhadap dosa-dosa diri sendiri, bahkan dosa-dosa yang terkecil sekalipun.”
Saudara-saudara, selanjutnya dalam ayat 5, Yesus mengatakan orang yang menghakimi sesamanya adalah orang yang “munafik” (Yunani= hupokrites). John MacArthur dalam buku tafsirannya mengenai bagian ini, dia mengaitkan “orang munafik” ini dengan Yakobus 1:23-24: “...ia (orang munafik, hupokrites) adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.” Orang munafik mempunyai mata untuk melihat, tetapi ironisnya dia tidak dapat melihat. Orang munafik digambarkan kitab Yakobus ini sebagai orang yang tidak berbuat apa-apa di depan cermin, dia tidak melakukan perubahan apa-apa terhadap apa yang dilihatnya. Bahkan dikatakan dia pergi dan lupa bagaimana rupanya. Orang munafik buta terhadap dirinya sendiri (self-blindness). Dia buta terhadap keadaan rohaninya yang sebenarnya.
Richard Foster mengawali bukunya Celebration of Disciplines dengan sebuah kalimat yang mengingatkan kita semua: “Superfisialitas merupakan kutukan di zaman kita” (Superficiality is the curse of our age). Kita hidup di era superfisial, era yang mementingkan kehidupan lahiriah, hal-hal yang nampak di permukaan, era kosmetik, era hidup yang penuh dengan topeng. Kita mengenakan berbagai topeng untuk menutupi diri kita yang sebenarnya. Kita pura-pura berdoa, pura-pura produktif bekerja, pura-pura aktif melayani, pura-pura peduli dengan orang lain, pura-pura cinta Tuhan. Terus-menerus berpura-pura, padahal kita melakukan semua itu bukan untuk kemuliaan Tuhan, tetapi untuk kemuliaan diri sendiri, untuk memenuhi kebutuhan ego kita. Oleh sebab itu, kadang-kadang dalam batas-batas tertentu, bagi saya, perkataan Sigmund Freud ada benarnya juga. Dia berkata: “Manusia beragama sebenarnya sedang menciptakan Allah bagi diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan ego sendiri. Allah adalah proyeksi dari kebutuhan manusia.” Karena keadaan manusia beragama seperti ini, maka Freud mengatakan kalimat berikutnya: “Agama sebenarnya adalah tongkat penopang bagi orang lemah.”
Saudara-saudara, jika seseorang begitu marah melihat dosa-dosa orang lain, tetapi tidak marah terhadap dosa-dosa sendiri, meremehkan dosa-dosa sendiri; ini adalah salah satu bentuk kemunafikan. Melihat ke luar diri, tanpa diimbangi melihat ke dalam diri sendiri adalah sesuatu hal yang sangat membahayakan kehidupan rohani kita.
Saudara-saudara, dosa kemunafikan adalah dosa yang paling sulit kita lihat, paling sulit kita sadari, karena dosa ini membutakan diri kita sendiri. Dosa kemunafikan berakar dalam sikap pembenaran diri sendiri (self-righteousness). Orang munafik lebih percaya pada diri sendiri daripada percaya kepada Allah. Orang munafik mengukur dan menilai segala sesuatu menurut ukuran sendiri, standar sendiri, dan menganggap penilaiannya yang paling objektif. Itulah sebabnya, orang munafik dalam perikop ini merasa begitu percaya diri, merasa memiliki kualifikasi untuk berkata kepada saudaranya: “Mari, saya keluarkan selumbar di matamu... Biarkan saya mengatakan apa yang salah dalam hidupmu, dan biarkan saya meluruskan jalanmu.” Padahal orang munafik ini tidak sadar, ada balok yang harus terlebih dahulu dikeluarkan dari matanya sendiri. Dengan menghakimi orang lain, dia sebenarnya sedang menikmati pembenaran atas diri sendiri tanpa rasa bersalah. Dengan menghakimi orang lain, kita ingin mengabsahkan kebenaran diri sendiri: “Sejelek-jeleknya saya, ada orang lain lho yang lebih jelek.”
Saudara-saudara, sikap menghakimi secara kejam bukan saja merupakan tanda kemunafikan yang membutakan seseorang terhadap realitas diri sendiri, tetapi juga, pada saat kita melakukan penghakiman yang kejam kepada orang lain, maka kita telah mengambil alih posisi Allah sebagai satu-satunya Hakim yang benar. Kita memiliki konsep yang salah tentang Allah. Perhatikan ayat 1.
Dalam 7:1 dikatakan: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (me krithete = verb subjunctive aorist passive 2nd person plural, divine passive).  Kata “dihakimi” , bentuk pasif, dalam bahasa Yunaninya krithete menggunakan bentuk subjunctive aorist passive, atau bentuk divine passive yang merujuk kepada Allahlah sebenarnya sebagai subjek pelaku yang mempunyai hak prerogatif untuk melakukan penghakiman itu. Itulah sebabnya, Alkitab BIS (Bahasa Indonesia Sehari-hari) menerjemahkan demikian: “Janganlah menghakimi orang lain, supaya kalian sendiri juga jangan dihakimi oleh Allah” (ditambahkan: ... oleh Allah).
Ini berarti ketika kita menghakimi orang lain, sebenarnya kita telah “merampas” posisi Allah sebagai satu-satunya Hakim yang Agung bagi umat manusia, karena sebenarnya penghakiman adalah hak prerogatif Allah, bukan hak manusia yang berdosa (The final judgment belongs to God alone). Absolute judgment adalah milik Allah, hanya Allah yang berhak melakukannya.
Kita tidak boleh menempatkan diri kita seolah-olah sebagai Allah dalam konteks relasi dengan orang lain. Pada saat kita menghakimi orang lain, sebenarnya kita secara tidak sadar telah mengangkat diri kita sendiri sebagai Allah atas orang lain. Kita menempatkan diri sebagai Allah yang seolah-olah mata tahu isi hati orang lain, yang bisa mengenal dengan sempurna motif-motif orang lain. Padahal kita belum tentu memahami semua data yang ada, semua keadaan, dan semua motif yang ada. Karena kita hanya menilai segala sesuatu berdasarkan data-data eksternal. Kita tidak mungkin memahami sepenuhnya kedalaman hati manusia yang tersembunyi. Perspektif kita bisa bias dalam melihat sebuah fakta masalah. Kita tidak maha tahu. Seorang Rabbi Yahudi, Hillel, pernah mengucapkan kalimat yang mirip dengan perkataan Yesus dalam Matius 7:1 ini. Rabbi Hillel pernah berkata: “Janganlah menghakimi sesamamu, kecuali kamu dapat memahami situasinya.”
Saudara-saudara, banyak dalam bagian-bagian lain, Alkitab menegaskan supaya kita tidak boleh menghakimi sesama manusia. Misalnya, Yakobus 4:12 dikatakan: Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?” Dalam Roma 2:1 juga ditegaskan hal yang sama: Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.
Saudara-saudara, pada saat kita terlebih dahulu mengeluarkan balok dalam mata kita, baru kita dapat melihat dengan jelas siapa Allah, siapa sesama kita, dan siapa diri kita sendiri. Pada saat kita terlebih dahulu mengeluarkan balok dalam mata kita, maka kita melihat diri kita sendiri orang berdosa, yang kotor, dan membutuhkan belas kasihan Allah. Sebenarnya banyak dosa yang telah kita lakukan, tetapi orang lain tidak tahu. Ternyata kita tidak sesaleh yang kita duga.
Saudara-saudara, saya tidak bisa membayangkan, jika seandainya Allah menampilkan setiap dosa yang paling memalukan yang pernah kita lakukan pada layar ini. Setiap orang, hanya cukup dengan durasi 5 menit ditampilkan dosa-dosanya yang paling memalukan, kita nonton sama-sama di ruangan ini. Dosa-dosa saya yang paling menjijikkan ditayangkan 5 menit. Setiap kita, mulai dari mahasiswa sampai dosen, mendapat giliran 5 menit saja. Saya tidak tahu bagaimana reaksi kita. Mungkin saya adalah orang pertama yang keluar dari ruangan ini, karena tidak tahan menanggung malu dosa-dosa saya dipertontonkan oleh Allah di layar ini. Saya tidak sanggup melihat kenajisan saya sendiri.
Saudara-saudara, pada saat kita terlebih dahulu mengeluarkan balok dalam mata kita, kita juga akan melihat orang lain sama seperti kita, sama-sama orang berdosa, sama-sama membutuhkan belas kasihan Tuhan. Sehingga pada saat kita menegur kesalahan orang, melakukan konfrontasi terhadap dosa orang lain, kita melakukannya dengan rendah hati, kita melakukannya dengan belas kasihan. Kita melakukannya bukan dengan sikap arogan, atau merasa diri lebih rohani dari orang itu.
Pada saat kita mengeluarkan balok dalam mata kita, maka kita dapat melihat bahwa Allah adalah satu-satunya Hakim yang benar, dan penghakiman-Nya tidak pernah salah. Saudara-saudara, engkau dan saya, yang telah mengalami pengampunan dan kemurahan Tuhan, seharusnya kita lebih hati-hati, dan lebih terkontrol dalam memberikan penilaian terhadap hidup orang lain.
William Barclay pernah menyatakan: “Salah satu disiplin rohani yang sangat terabaikan pada masa kini adalah evaluasi diri (self-evaluation).” Mengapa kelihatannya pertumbuhan rohani kita sangat lambat? Salah satunya, karena kita belum mau membuka diri kita secara transparan di hadapan Allah, belum menggumuli dengan serius area-area rawan dalam hidup kita, dan mengambil langkah-langkah yang konkret untuk mengatasinya.
Setelah beberapa tahun saya kuliah di sekolah teologi, saya semakin disadarkan bahwa mengetahui isi Alkitab tidak sama dengan mengenal Allah, menyukai isi Alkitab tidak sama dengan mengasihi Allah, membaca Alkitab tidak sama dengan mendengarkan Allah. Kiranya kita jangan jatuh menjadi orang-orang Farisi modern, mereka mengetahui isi Alkitab, menyukai isi Alkitab, membaca Alkitab; tetapi mereka tidak mengenal, tidak mengasihi, dan tidak mendengarkan Allah.
Saudara-saudara, perintah Yesus: “Janganlah menghakimi!” Diberikan dalam konteks relasi dengan sesama manusia, relasi dengan orang lain. Saya rindu dalam komunitas ini, kita tidak menjadi komunitas yang suka menghukum orang lain secara kejam, bukan komunitas yang suka memojokkan orang lain, tetapi komunitas yang memulihkan dan menyembuhkan. Komunitas yang saling mengampuni. Komunitas yang saling berbagi anugerah satu dengan yang lain.
Jika kita mengkritik orang lain, jika kita menegur kesalahan orang lain; biarlah semua itu kita lakukan karena kita sungguh-sungguh mengasihi orang itu. Kita lakukan dengan rendah hati, setelah melihat permasalahan secara utuh, bukan sepotong-sepotong, bukan atas dasar prasangka-prasangka negatif, prejudice yang belum jelas kebenarannya. Kita ingin memulihkan orang lain. Kita ingin berbagi anugerah dengan orang lain. Jangan kita bersukacita di atas kejatuhan orang lain. Marilah kita belajar memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. Dalam komunitas ini, kita dipanggil menjadi saudara bagi sesama kita, kita saling menjaga, kita saling memulihkan, kita saling menopang, kita saling belajar satu sama lain. Melalui komunitas ini, kita dibentuk dan dididik oleh Allah. Berbahagialah kita yang mau dididik oleh Allah. Berbahagialah kita yang sedang dipersiapkan oleh Allah menjadi hamba-Nya. Amin. (Binsar)