Salah satu gadget yang sedang booming di Indonesia adalah BlackBerry. Dalam kurun dua tahun saja sejak BlackBerry diperkenalkan di Indonesia, pertumbuhannya melesat hampir 500% pada periode 2007-2008. Namun, hal yang menarik untuk dicermati adalah jika di luar negeri, kebanyakan orang menggunakan fasilitas BlackBerry untuk keperluan kerja, maka di Indonesia justru lebih ke arah untuk menjadi simbol status sosial seseorang. Terjadinya pergeseran ini juga diakui oleh Direktur Utama Better-B, Kemal Arsjad, dalam jumpa pers di Hotel Mulia, Jakarta, menyatakan: “Di Indonesia, orang menggunakan BlackBerry, bukan terutama untuk keperluan kerja, tetapi sudah bergeser ke arah lifestyle.” Better-B adalah salah satu pengembang aplikasi BlackBerry di Indonesia. Selanjutnya, Kemal Arsjad menambahkan, kebanyakan pengguna BlackBerry di Indonesia menggunakan gadgetnya untuk mengakses Facebook dan Twitter. Padahal, fungsi dari BlackBerry, jauh lebih luas ketimbang hanya untuk mengakses situs jejaring sosial tersebut.
Jika orang-orang di luar negeri, kebanyakan membeli BlackBerry karena tuntutan kebutuhan kerja dan fungsinya, tetapi di Indonesia, tidak sedikit orang menggunakannya karena social pressures (tekanan sosial) dari lingkungan sekitarnya. Tentu saja, saya tidak bermaksud men-generalisasi bahwa semua orang yang menggunakan BlackBerry di Indonesia karena tekanan sosial atau demi simbol status sosial, pasti ada juga yang menggunakannya berdasarkan pertimbangan yang tepat dan bijaksana, karena kebutuhan kerja dan fungsinya. Namun, melalui artikel ini, saya ingin membedah fenomena pembelian dan penggunaan gadget (seperti BlackBerry, iPad, dsb) dengan motif dan tujuan yang keliru, serta pengaruh nilai-nilai materialistik di balik fenomena tersebut.
Ada sebuah kisah nyata yang menarik untuk disimak. Seorang anak SMA di Jakarta menuntut kepada orang tuanya untuk dibelikan sebuah BlackBerry, karena tidak tahan bergaul di tengah-tengah kenyataan semua teman di kelasnya telah menggunakan BlackBerry. Anak ini telah mengalami tekanan sosial dari lingkungan sekitarnya. Bayangkan, bagaimana rasanya menjadi seorang anak remaja yang cuma seorang diri belum punya BlackBerry di tengah-tengah lingkungan pergaulannya sehari-hari. Anak ini merasa “terasing dan aneh sendiri”. Bukan karena diasingkan oleh komunitasnya, tetapi terasing oleh dirinya sendiri, karena dia melihat “keanehan” dirinya, yaitu tidak punya BlackBerry seperti teman-teman sebayanya. Dalam diri anak ini, ditanamkan oleh komunitas lingkungannya bahwa mempunyai BlackBerry adalah sebuah kewajaran, hal yang normal, bahkan sebuah keharusan di masa kini. Dia merasa tanpa punya BlackBerry, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Seolah-olah, dengan mempunyai BlackBerry, menjadikan dirinya sebagai “anak normal kembali” di tengah-tengah lingkungannya.
Kisah nyata di atas, hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah di negeri ini. Bahkan, di sekolah-sekolah tertentu, sudah menjadi pemandangan umum, siswa-siswi SD dan SMP menggunakan BlackBerry. Kisah di atas sebenarnya mencerminkan betapa spirit materialisme dan konsumerisme telah merasuki seluruh lapisan masyarakat.
Secara sederhana, materialisme adalah pandangan yang menganggap materi adalah segala-galanya. Kepemilikan materi dijadikan sebagai tujuan akhir hidup, ukuran kebahagiaan, dan identitas diri seseorang. Padahal materi sebenarnya hanyalah sarana penunjang kehidupan, dan bukan tujuan akhir hidup itu sendiri. Materialisme mengacaukan antara apa yang utama dengan apa yang sesungguhnya hanyalah sarana.
Siapakah manusia itu? Materialisme menyatakan bahwa “manusia adalah materi yang dipunyainya.” “Saya adalah BlackBerryku, saya adalah iPadku, saya adalah mobil Ferrariku, saya adalah perusahaanku, saya adalah hartaku”. Namun pertanyaan yang perlu direnungkan adalah jika “manusia adalah materi yang dipunyainya”, maka siapakah manusia, jika semua yang dimilikinya itu telah lenyap? Apakah dengan ketiadaan semua itu, manusia menjadi kehilangan martabat dan kemuliaan dirinya sebagai citra Allah?
Gadget yang mula-mula digunakan sebagai sarana komunikasi, informasi, dan penyimpanan data, sekarang berubah fungsinya menjadi simbol status diri seseorang. Jenis dan merk gadget menjadi simbol status dan nilai diri seseorang. Tanpa sadar, kita membangun harga diri dan rasa percaya diri kita pada barang-barang yang melekat pada diri kita. Makin “bermerk” dan trend barang yang kita pakai, kita merasa harga diri dan rasa percaya diri kita makin bertambah.
Melalui barang-barang “mewah” yang sedang trend itu, orang-orang ini ingin menaikkan status sosialnya di mata masyarakat. Orang-orang yang melakukan pengejaran status sosial secara berlebihan ini sering disebut sebagai “social status climber”. Bahkan, kadang-kadang, ada sebagian orang yang termasuk kategori ini, rela menghalalkan segala cara, atau mengorbankan apa saja demi mencapai status sosial yang lebih tinggi.
Pada saat kita membeli gadget (seperti BlackBerry, iPad, dsb) tidak disesuaikan dengan kebutuhan kita, maka paling tidak, kita telah gagal dalam 3 (tiga) hal:
1. Dalam praktiknya, kita gagal untuk membedakan antara “wants” (keinginan) dengan “needs” (kebutuhan).
Dalam materialisme, perbedaan antara “keinginan” dengan “kebutuhan” menjadi kabur. Materialisme mengarahkan seseorang dari merasa “ingin” menjadi merasa “butuh”, lalu merasa “harus memiliki”. Jika tidak waspada, kadang-kadang, pergeseran dari ketiga tahap itu (merasa ingin – butuh – harus memiliki) menyelinap masuk ke dalam hati kita dengan cara yang sangat halus dan licin. Barang-barang yang trend itu begitu menarik perhatian kita. Robert Banks menyatakan, “In fact, we tend to value things more than people. Some of the objects are central to the operation of our society and therefore become symbols of what we most highly prize. These objects receive an enormous amount of attention. They are the locus of a whole range of expectations.” (Redeeming the Routines, Grand Rapids: Baker Academic, 1993, p. 90).
2. Gagal untuk menunjukkan kepekaan dan kepedulian sosial terhadap sesama yang berkekurangan.
Betapa tidak pekanya kita, jika dengan gampangnya kita gonta-ganti gadget, hanya untuk sekadar mengikuti trend atau demi high lifestyle, sementara ada jutaan manusia Indonesia yang untuk makan sehari-hari pun harus berjuang mati-matian. Bayangkan, angka standar kemiskinan yang digunakan di Indonesia adalah orang yang penghasilannya Rp. 211.000,- per bulan. Jika standar ini digunakan, maka berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2010, terdapat 31,02 juta orang miskin di Indonesia, atau sekitar 13,33% dari total penduduk Indonesia 234, 2 juta orang (M. Fadjroel Rachman, “Dicari, Presiden Tanpa Gaji”, Kompas, 28 Januari 2011). Tetapi apalah artinya uang Rp. 211.000,- per bulan pada zaman sekarang? Jika standar kemiskinan ini kita naikkan, menjadi 2 dollar AS per hari (menggunakan standar Bank Dunia untuk kategori “orang miskin”), atau sekitar Rp. 600.000,- per bulan (asumsi 1 dollar AS = Rp. 10.000,-), maka orang miskin di Indonesia menjadi 121,7 juta orang, atau sekitar 52% dari total penduduk Indonesia tahun 2010 (M. Fadjroel Rachman, “Dicari, Presiden Tanpa Gaji”, Kompas, 28 Januari 2011). Melihat kondisi kemiskinan bangsa seperti ini, pantaskah kita memboroskan uang untuk membeli sesuatu hanya demi high lifestyle? Dimanakah hati nurani kemanusiaan kita?
3. Gagal menunjukkan diri sebagai makhluk beriman yang dipanggil sebagai penatalayan atas harta yang Tuhan percayakan.
Sebagai orang Kristen, kita tidak boleh berpikir dan berkata: “Ini uangku. Aku peroleh dengan cara halal, hasil kerja kerasku. Jadi, suka-suka aku dong mau memakainya seperti apa? Itu hakku!” Sebenarnya, kita bukanlah pemilik sesungguhnya dari harta yang kita miliki. Semua itu adalah anugerah dan pemberian yang dipercayakan oleh Allah kepada kita untuk dikelola dengan bijaksana. Allah memberikan nafas hidup dan kesehatan yang memungkinkan kita untuk bekerja. Allah melengkapi kita dengan talenta-talenta atau skill yang membuat kita dapat berkarya dalam hidup ini, dan masih banyak hal yang merupakan karunia Allah dalam hidup kita. Tanpa Tuhan, sebenarnya kita tidak dapat menghasilkan apa-apa dalam hidup ini. Oleh sebab itu, kita dipanggil untuk menggunakan harta kepemilikan kita secara bijaksana sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan semau kita. Kita dipanggil untuk menjadi makhluk beriman yang mampu berpikir kritis, bukan makhluk konsumtif. Makhluk beriman memiliki kepekaan, mana barang yang harus dibeli, mana yang tidak perlu dibeli; mana yang harus diprioritaskan, mana yang bisa ditunda. Sebaliknya, makhluk konsumtif adalah “korban” iklan yang terus membeli ini dan itu, tanpa pertimbangan yang bijaksana.
Saya ingin menegaskan bahwa saya sama sekali bukan anti kemajuan teknologi gadget. Saya juga bukan anti kekayaan. Namun, saya rindu kita belajar menempatkan segala sesuatu pada tempat yang sepantasnya seperti yang diajarkan oleh Alkitab. Menurut ordo ciptaan, materi diciptakan untuk manusia, dan manusia diciptakan untuk kemuliaan Allah. Kita telah mengingkari natur kemanusiaan kita dan melanggar ordo ciptaan Allah, jika kita justru menghambakan diri pada materi dan diperbudak olehnya.
Pada akhirnya, kita harus senantiasa mengingat pesan firman Tuhan ini:
“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.... Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.” (1 Timotius 6:10, 17-19)
Harta bukan untuk dicintai, ditumpuk, dan dipamerkan, tetapi untuk dikelola dengan bijaksana untuk melayani Allah dan sesama manusia. Kita harus waspada terhadap berbagai bentuk wajah materialisme pada masa kini. Marilah kita belajar memiliki gaya hidup sederhana yang memuliakan Tuhan dan melayani sesama kita di tengah-tengah budaya materialistik ini. (Binsar)
No comments:
Post a Comment