Wednesday, February 02, 2011

APAKAH ALLAH DAPAT MELAKUKAN APA SAJA?



“Banyak orang yang percaya kepada kemahakuasaan Allah, tetapi sedikit sekali orang yang mau memercayakan dirinya kepada kemahakuasaan Allah. Banyak orang yang suka berbicara kemahakuasaan Allah, tetapi yang berbahagia adalah orang yang mau hidup di dalamnya.”


Seorang mahasiswa teologi pernah bertanya kepada dosennya: “Dapatkah Allah membuat batu karang yang sedemikian besar sehingga Ia sendiri tidak dapat memindahkannya?” Sepintas pertanyaan ini mengandung dilema yang serba salah. Jika dijawab “ya”, maka hal itu berarti ada sesuatu hal yang tidak dapat Allah kerjakan, yaitu memindahkan batu karang itu. Sebaliknya, jika dijawab “tidak”, berarti juga ada hal yang tidak dapat Allah kerjakan, yaitu membuat batu karang yang sedemikian besar itu. Sekilas kesimpulannya adalah apa pun jawaban yang diberikan, baik “ya” ataupun “tidak”, tetap memosisikan Allah sebagai Pribadi yang tidak Mahakuasa, karena ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan-Nya.
Sebenarnya dilema itu muncul karena dimulai dari sebuah asumsi yang keliru, yaitu kemahakuasaan Allah berarti Allah dapat melakukan apa saja. Padahal Alkitab dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat Allah lakukan, seperti Allah tidak dapat berdusta (Bilangan 23:19, Ibrani 6:18), Allah tidak dapat melakukan dosa, Allah tidak dapat menciptakan sesuatu yang setara dan sehakikat dengan diri-Nya, dan Allah tidak dapat berhenti menjadi Allah (Mazmur 90:1-2).
Kembali kepada pertanyaan di atas: “Dapatkah Allah membuat batu karang yang sedemikian besar sehingga Ia sendiri tidak dapat memindahkannya?” Jawaban yang sesuai dengan Alkitab adalah tidak. Allah tidak dapat membuat batu karang yang sedemikian besar, sehingga Dia tidak dapat memindahkannya. Alasannya adalah jika Allah membuat batu karang seperti itu, berarti Dia telah menciptakan sesuatu yang berada di luar batas kuasa-Nya. Berarti Allah telah menghancurkan kemahakuasaan-Nya sendiri. Allah telah menciptakan sesuatu yang melawan natur-Nya sendiri. Hal ini tidak mungkin. Tidak ada kontradiksi dalam diri Allah.
Kemudian mungkin muncul pertanyaan dalam pikiran kita: “Bukankah itu berarti kekuasaan Allah terbatas karena dibatasi oleh natur-Nya?” Ya! Seorang teolog, R.C. Sproul menegaskan bahwa “kuasa Allah dibatasi oleh siapa dan apa Dia” (Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen, Malang: SAAT, 2002, hal. 52). Bahkan ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh Iblis, tetapi Allah sendiri tidak dapat melakukannya. Iblis dapat berdusta, tetapi Allah tidak. Iblis dapat menipu manusia, tetapi Allah tidak dapat melakukannya. Sproul menyatakan bahwa “Allah tidak dapat melakukan hal-hal yang bertentangan dengan natur-Nya bertujuan untuk menegaskan bahwa Allah tidak dapat sekaligus sebagai Allah dan bukan Allah pada waktu yang sama” (Sifat Allah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, hal. 100).
Ada pandangan yang mengatakan bahwa kemahakuasaan Allah berarti Allah dapat melakukan apa saja, jika Ia menghendakinya, termasuk berbuat dosa. Allah mampu berbuat dosa (jika Dia menghendakinya), tetapi Dia tidak menghendakinya. Saya tidak menyetujui pandangan ini. Pandangan ini merupakan sebuah penghujatan terhadap karakter Allah yang kudus dan sempurna. Bagi saya, Allah bukan hanya tidak menghendaki berbuat dosa, tetapi bahkan Allah tidak mungkin, tidak dapat (dalam arti mutlak) untuk berbuat dosa. Tidak ada benih dosa dalam diri Allah. Tidak ada ketidakbenaran dan pencemaran dalam diri Allah. Natur Allah tidak pernah berubah. Keadaan diri Allah tidak pernah bisa dipengaruhi oleh sesuatu apa pun di luar diri-Nya. Allah tidak pernah bergantung pada sesuatu di luar diri-Nya. Allah adalah Pencipta, bukan ciptaan yang bisa jatuh ke dalam dosa.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kemahakuasaan Allah berarti Allah dapat melakukan apa saja yang sesuai atau tidak bertentangan dengan natur diri-Nya. Ungkapan “apa saja” dalam konteks kalimat itu, tidak berarti Allah dapat melakukan segala sesuatu tanpa batasan, bahkan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan diri-Nya. Tidak ada kontradiksi dalam diri Allah. Kemahakuasaan Allah dibatasi oleh natur-Nya. Kemahakuasaan Allah selalu selaras dengan natur-Nya. Pada saat Allah melakukan sesuatu yang sesuai dengan natur-Nya itu, maka tidak ada kuasa atau kekuatan apa pun yang dapat menggagalkan-Nya. Kehendak-Nya itu pasti terlaksana. Inilah pemahaman yang sebenarnya tentang kemahakuasaan Allah.
Pada akhirnya, kita perlu merenungkan implikasi pemahaman tentang kemahakuasaan Allah bagi orang-orang Kristen:
1.      Kemahakuasaan Allah tidak pernah sewenang-wenang dan disalahgunakan untuk dosa, karena Allah adalah Mahasuci dan tidak dapat berbuat dosa. Kemahakuasaan Allah selalu sejalan dengan kekudusan-Nya, kebenaran-Nya, kehendak-Nya, kasih-Nya dan keadilan-Nya. Seringkali kekuasaan yang ada di tangan manusia disalahgunakan karena manusia telah berdosa, namun tidak demikian halnya dengan kekuasaan di tangan Allah. Manusia berdosa cenderung korup dengan kekuasaan. Itulah sebabnya Abraham Lincoln, Presiden Amerika ke-16 pernah berkata bahwa salah satu ujian bagi karakter seseorang adalah berilah dia kuasa. “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power”. Karakter seseorang yang sesungguhnya akan terlihat bagaimana dia menggunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Pemahaman yang benar akan kemahakuasaan Allah menyadarkan kita bahwa kuasa yang sesungguhnya ada di tangan Allah. Allah adalah sumber dari segala kuasa yang kita terima (Matius 28:18). Terlepas dari Allah, manusia pada dasarnya tidak memiliki kuasa dari dirinya sendiri. Kuasa datangnya dari Allah. Halnya ini memotivasi kita untuk menggunakan kuasa dengan benar sesuai dengan natur Allah. Kuasa yang kita gunakan tidak boleh digunakan sesuka hati kita, tetapi harus selaras dengan kasih, kekudusan, kebenaran dan keadilan Allah. Jika kita diberi kuasa untuk memimpin, mengajar, memberdayakan orang lain atau hal-hal lainnya, sudahkah kita menggunakannya dengan benar? Saya menyaksikan cukup banyak orang yang dulu sewaktu menjadi “bawahan” masih rendah hati, tetapi ketika menjadi seorang pemimpin dengan kekuasaan yang lebih besar telah berubah menjadi seorang yang otoriter, arogan, sulit menerima kritikan, sulit mengakui keunggulan orang lain, dan merasa lebih superior daripada yang lain. Yang salah bukan pada kekuasaan itu sendiri, tetapi sikap hati dan cara kita menggunakan kekuasaan tersebut.

2.      Pemahaman akan kemahakuasaan Allah yang selalu sejalan dengan natur-Nya, seharusnya makin mendorong kita untuk memercayakan diri sepenuh-Nya kepada kemahakuasaan-Nya. Mengapa? Karena jika kita sungguh percaya bahwa Allah tidak mungkin menyalahgunakan kemahakuasaan-Nya atas ciptaan-Nya, maka kita diyakinkan bahwa segala sesuatu yang Tuhan lakukan dan Dia kehendaki bagi diri kita adalah baik adanya. Tidak pernah ada maksud jahat Allah kepada kita. Apa yang diperbuat Allah bagi kita selalu selaras dengan kasih, kebenaran, kekudusan dan keadilan-Nya. Ketika penderitaan dan masalah hidup menimpa kita, maka kita tidak akan pernah berusaha mempersalahkan Tuhan atau meragukan kuasa-Nya atas kita. Hati kita bisa pedih dan perih, jiwa kita bisa meratap atas penderitaan yang kita alami, tetapi iman kita tetap bisa melihat tangan Allah yang Mahakuasa memegang erat kita. Allah mampu melakukan apa saja yang seturut kehendak-Nya untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (Bdk. Roma 8:28). Allah mengontrol segala sesuatu. Diri kita yang rapuh dan lemah ini berada dalam kemahakuasaan-Nya. Inilah penghiburan dan sukacita bagi kita. (Binsar)

1 comment:

  1. aloo pak binsar, ini ahong..

    nice blog!! keep writing, God bless you..

    ReplyDelete