“Seperti apa para pemimpinnya, seperti itu juga gerejanya. Kesehatan yang menyeluruh dari gereja atau pelayanan apa pun bergantung terutama pada kesehatan emosional dan spiritual dari pemimpinnya. Kunci kepemimpinan rohani yang sukses banyak bergantung pada kehidupan batiniah pemimpinnya dari pada kemahiran, karunia-karunia, ataupun pengalaman pemimpinnya.”
(Peter Scazzero dalam buku Gereja yang Sehat Secara Emosional)
Melalui tulisan ini saya mengajak kita semua untuk melihat betapa pentingnya karakter, integritas dan kedewasaan rohani seorang pemimpin dalam pertumbuhan gereja. Hasil riset yang dilakukan oleh Barbara Kellerman, profesor kepemimpinan di Center for Public Leadership di Harvard University menyatakan bahwa kejatuhan hampir semua jenis pemimpin (termasuk pemimpin gereja) terutama lebih disebabkan oleh cacat karakter dari pada kurangnya kompetensi dalam kepemimpinan.1 Penelitian yang dilakukan oleh James Kousez dan Barry Posner mendukung persepsi bahwa integritas adalah modal utama seorang pemimpin. Riset mereka yang melibatkan ribuan kaum profesional dari empat benua selama hampir dua puluh tahun menunjukkan bahwa integritas adalah kualitas paling vital yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.2 Hal yang senada juga diungkapkan oleh George Barna, setelah melakukan penelitian selama 15 tahun terhadap kehidupan gereja, akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa alasan utama mengapa gereja kehilangan pengaruhnya adalah karena tidak adanya kepemimpinan yang baik.3 Kesadaran akan hal ini seharusnya mendorong para pemimpin gereja untuk terus mengevaluasi diri, waspada terhadap titik-titik rawan yang dapat menjatuhkan dirinya dan terus-menerus memperlengkapi diri dalam anugerah dan kuasa Tuhan.
Ratapan Atas Maraknya Kemerosotan Integritas Para Pemimpin Gereja
Dengan rasa malu dan hati yang pedih, kita harus dengan jujur dan berani mengakui bahwa tingkat kemerosotan karakter dan integritas para pemimpin gereja makin meningkat dari tahun ke tahun. Skandal seks, keuangan, tamak akan harta/fasilitas, haus kekuasaan dan kedudukan, tidak rela posisinya digantikan oleh orang lain, semangat saling menjatuhkan sesama pemimpin, kebal terhadap kritikan, otoriter, merasa diri paling berpengalaman dan paling dibutuhkan, sulit bekerjasama dalam perbedaan, sulit mengakui kelebihan orang lain, melakukan kebohongan publik, malas belajar dan tidak mau terus memperlengkapi diri, merupakan contoh-contoh gejala kejatuhan para pemimpin gereja yang makin nyata pada masa kini. Istilah ‘kejatuhan pemimpin’ yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada “cacat” karakter dan integritas yang menggerogoti efektivitas dari seorang pemimpin.
Pdt. Jesse Jackson yang dianggap sebagai salah seorang pemimpin rohani yang berpengaruh di Amerika karena keterlibatannya secara aktif dalam bidang politik, HAM dan pelayanan gerejawi, akhirnya pada tanggal 18 Januari 2001 harus mengakui di depan publik bahwa ia telah memiliki seorang anak diluar nikah berumur 20 bulan.4 Perselingkuhannya sudah terjadi sejak tahun 1998. Yang menarik adalah hasil perselingkuhan itu justru terungkap pada saat ia dipercaya menjadi konselor bagi mantan presiden Bill Clinton dalam kasus Monica Lewinski.5 Contoh lain adalah Pdt. Ted Haggard, seorang pemimpin yang dihormati di Amerika, pendeta senior dari New Life Church di Colorado Springs dan menjadi anggota dewan America Mission, akhirnya pada tahun 2006 terungkap bahwa dia seorang homoseks. Terungkapnya kasus ini justru pada saat Pdt. Haggard dengan gencar melarang homoseks dan pernikahan sesama jenis di Amerika. Dia berjuang memerangi homoseks di Amerika, padahal dirinya sendiri juga seorang homoseks. Contoh-contoh kasus di atas memang sebuah ironi, tetapi inilah kenyataannya. Bagaimana dengan gereja-gereja di Indonesia? Pemimpin-pemimpin kita juga banyak yang mengalami kejatuhan yang memalukan, bahkan dengan sengaja berusaha menutup-nutupi supaya tidak terbongkar di depan publik. Gereja-gereja banyak yang pecah bukan karena perbedaan dalam memahami kehendak Tuhan, bukan karena perbedaan dalam memperjuangkan kebenaran Tuhan (seperti reformasi Martin Luther), tetapi pecah karena ambisi pribadi yang tidak suci dan tamak akan kekuasaan.
Hal ini membuat tingkat kepercayaan jemaat kepada para pemimpin gereja makin berkurang dan pengaruh kepemimpinan makin lemah. Jikalau seorang pemimpin gereja telah kehilangan kepercayaan dan pengaruhnya bagi jemaat, gereja mau dibawa ke mana? Jikalau seorang hamba Tuhan telah kehilangan kepercayaan dan rasa hormat dari jemaat, bagaimanakah mungkin pesan khotbahnya didengar oleh jemaat? Jemaat akan satu demi satu meninggalkan gereja itu karena kecewa dengan tingkah laku pemimpinnya. Jemaat kehilangan panutan dan teladan hidup yang diharapkan dari seorang pemimpin rohaninya.
Melihat fakta kejatuhan para pemimpin gereja yang menyedihkan ini, mendorong saya untuk merenung dan bergumul di hadapan Tuhan. Akhirnya saya sampai kepada beberapa kesimpulan:
1. Anggapan umum dari masyarakat bahwa seorang pemimpin seharusnya kebal terhadap berbagai kelemahan adalah hal yang salah. Sebagai seorang pemimpin dan pelayan di gereja, kita seolah-olah dituntut sempurna dan tidak boleh menunjukkan kelemahan diri kita kepada jemaat. Yang menarik adalah Alkitab justru tidak pernah menutup-nutupi kelemahan dan dosa-dosa dari tokoh-tokoh Alkitab. Alkitab dengan jujur mencatat kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh Nuh yang mabuk (Kejadian 9:20-27), Abraham dengan kebohongannya (Kejadian 12:10-20), Ishak yang pilih kasih kepada Esau (Kejadian 25:28), Yakub yang suka menipu (Kejadian 27:18-30), Daud yang berzinah dan merancangkan pembunuhan (2 Samuel 11:1-27), Salomo dengan istri-istrinya yang menyembah berhala (1 Raja-raja 11:1-13), Petrus yang menyangkal Yesus (Matius 26:69-75), dan Paulus dengan pergumulan “duri dalam dagingnya” (2 Korintus 12:7-10). Melalui bagian ini saya bukan bermaksud menyatakan bahwa kelemahan manusiawi menjadi izin untuk berbuat dosa, bukan juga menganggap dosa-dosa yang dilakukan oleh para pemimpin gereja harus dimaklumi. Dosa-dosa dan kelemahan diri harus digumuli dengan serius di hadapan Tuhan. Namun, yang saya ingin tekankan adalah semua pemimpin, tanpa terkecuali, termasuk saya, memiliki kemungkinan untuk jatuh karena juga memiliki kelemahan-kelemahan. Tidak ada seorang pun manusia atau pemimpin rohani yang kebal terhadap segala jenis dosa dan kelemahan, sehingga hal ini harus mendorong kita untuk waspada dan mawas diri. Tidak bijak jika kita hanya berbicara tentang keburukan orang di luar sana, tetapi gagal melihat keburukan diri sendiri. Tidak bijak jika kita hanya menuding kesalahan mereka dan dengan bersemangatnya membicarakan keburukan orang lain. Jika tokoh-tokoh Alkitab yang disebut sebagai pahlawan iman saja bisa jatuh dalam kelemahan-kelemahan mereka, berarti kita pun juga dapat jatuh dalam area-area kelemahan kita. Kesadaran demikian, seharusnya memotivasi kita makin rendah hati belajar dari kegagalan orang lain dan hal itu menjadi bahan refleksi untuk terus-menerus mengawasi diri sendiri karena diri kita pun dapat jatuh, walaupun mungkin dalam sisi-sisi yang berbeda. Rasul Paulus mengingatkan Timotius: “Awasilah dirimu dan awasilah ajaranmu” (1 Timotius 4:16).6 Hidup yang kudus tidak dapat dipisahkan dari pengajaran yang benar.
2. Anugerah Allah tidak menghilangkan kelemahan dalam diri seorang pemimpin gereja atau hamba Allah.7 Allah tidak pernah bermaksud menjadikan kita seorang pemimpin tanpa kelemahan atau pura-pura tanpa kelemahan, sebaliknya kita harus membawa kelemahan-kelemahan itu ke hadapan Tuhan untuk dipulihkan oleh-Nya, sambil terus-menerus memandang kepada kasih karunia-Nya.8 Namun sayangnya, seperti yang pernah dikatakan oleh Pdt. Dr. Buby Ticoalu (Dosen SAAT Malang) dalam sebuah Seminar Kristen di Jakarta, kebanyakan pemimpin gereja jarang menggumuli dengan sungguh-sungguh dosa dan kelemahan-kelemahan dirinya dihadapan Tuhan, jarang menangisi dan meratapi dosa-dosanya dihadapan Tuhan. Pada umumnya pemimpin gereja hanya menyediakan sedikit waktu untuk menggumuli karakter dan kelemahan-kelemahan diri sendiri, tetapi seringkali hanya fokus kepada permohonan supaya Tuhan memberkati dan mengurapi pelayanan yang dikerjakan, atau supaya Tuhan mencukupkan kebutuhan dana dalam pelayanan. Kelemahan-kelemahan diri “diizinkan” oleh Allah supaya kita terus-menerus menyadari ketergantungan diri kita secara mutlak kepada Tuhan dan menjadi sarana kita mengalami kuasa Allah dalam kelemahan kita (2 Korintus 12:9). Adanya kelemahan-kelemahan dalam diri seorang pemimpin gereja, jangan disimpulkan sebagai kurangnya anugerah Allah dalam hidup orang itu.
3. Disiplin rohani pribadi (misalnya, rajin Saat Teduh, mempelajari Alkitab dan buku-buku teologi, doa) tidak secara otomatis menjamin seorang pemimpin terhindar dari kejatuhan. Ini tidak berarti disiplin rohani itu tidak penting atau tidak berpengaruh pada kehidupan rohani kita, tetapi disiplin rohani saja tidak cukup memadai untuk menjaga kita dari kejatuhan.9 Kita tidak boleh mengabaikan disiplin rohani pribadi sebagai salah satu alat/sarana anugerah Tuhan, tetapi pertumbuhan rohani tidak semata-mata tergantung pada disiplin tersebut.
Langkah Yang Terabaikan dalam Mencegah Kejatuhan Pemimpin Gereja
Salah satu bentuk spiritualitas yang banyak ditekankan dalam gereja masa kini adalah keintiman hubungan pribadi (personal) dengan Tuhan melalui disiplin rohani. Hal ini tidak salah, tetapi belum memenuhi seluruh pengajaran Alkitab tentang pertumbuhan rohani. Akibatnya secara tak sadar, kita lebih menekankan disiplin rohaninya dari pada keintiman hubungan dengan Tuhan. Padahal disiplin rohani hanyalah alat anugerah, bukan esensi dari spiritualitas itu sendiri.
Pertumbuhan rohani yang sejati tidak boleh hanya dipahami secara personal (individualis), tetapi juga harus dipahami secara komunal, yaitu melibatkan tubuh Kristus (jemaat Kristen, umat percaya). Kerohanian seseorang makin bertumbuh melalui persekutuan dengan orang-orang Kristen lainnya, tidak pernah lepas dari tubuh Kristus. Makin dekat persekutuan seseorang dengan Allah, maka makin kuat pula ikatannya dengan jemaat. Keseimbangan antara doa pribadi dan doa bersama (jemaat), ibadah pribadi dan ibadah publik merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Itulah salah satu alasan mengapa kita tidak boleh memisahkan diri dari gereja.
Dengan demikian, pencegahan kejatuhan pemimpin gereja pun harus melibatkan umat percaya yang lain di luar diri kita. Seorang pemimpin gereja harus meminta dengan gigih beberapa saudara seiman yang dapat dipercaya dan dewasa imannya untuk menguatkan, mengingatkan, mengoreksi, mengevaluasi dan “mengendalikan” rasa haus pemimpin terhadap uang, seks, kuasa, kedudukan dan popularitas. Diperlukan beberapa orang Kristen (seperti penasihat rohani, istri atau suami sendiri, sahabat, konselor Kristen) yang kita beri hak dan wewenang untuk mengawasi, menegur dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan krusial sehubungan dengan pelayanan, kehidupan pribadi dan keluarga kita. Hal ini memang tidak mudah dan tidak mengenakkan karena dengan demikian seorang pemimpin mengizinkan orang lain untuk masuk ke dalam wilayah privasi dan mengetahui kelemahan-kelemahan dirinya. Namun, “kerugian” ini tidak sebanding dengan keuntungan yang akan mereka terima, yaitu terlindung dari tipu muslihat Iblis.10
Berikut ini adalah beberapa contoh para pemimpin Kristen yang melibatkan saudara seiman untuk mengawasi kehidupan pelayanannya:11
1. Pdt. Rick Warren menyadari dengan begitu larisnya buku tulisannya yang berjudul The Purpose Driven Life, maka dia bisa mendadak menjadi seorang milioner. Untuk menghindari godaan tamak terhadap uang, maka beliau dan keluarganya sepakat mengambil 5 keputusan. Pertama, mereka tidak akan meningkatkan gaya hidup keluarga (ganti rumah, ganti mobil dsb). Kedua, Warren berhenti menerima gaji dari gereja tempat dia melayani. Ketiga, ia mengembalikan seluruh gaji dari gereja yang telah diterimanya selama 25 tahun. Keempat, ia mendirikan beberapa yayasan kemanusiaan. Kelima, mereka hidup hanya dengan 10% dari pendapatan dan mempersembahkan sisanya untuk pekerjaan Tuhan. Rick Warren melibatkan penasihat rohaninya, istri dan keluarganya sebelum mengambil keputusan ini.
2. Seorang pendeta yang cukup dihormati, Chuck Swindoll secara rutin setiap minggu diajukan 7 pertanyaan yang harus dijawabnya kepada pembimbing rohaninya. Ketujuh pertanyaan yang diajukan itu adalah:
1. Apakah Anda sempat berduaan dengan seorang wanita dimana interaksi Anda dengannya dapat menimbulkan kecurigaan atau menjurus ke arah berbahaya?
2. Apakah ada urusan-urusan finansial Anda yang tidak menunjukkan integritas?
3. Apakah Anda mengekspose diri Anda kepada materi-materi yang secara eksplisit bernada seksual?
4. Apakah Anda menyediakan cukup waktu untuk berdoa dan Pemahaman Alkitab pribadi?
5. Apakah Anda memprioritaskan waktu Anda bagi keluarga?
6. Apakah Anda berusaha memenuhi mandat panggilan Allah bagi Anda?
7. Apakah Anda baru berbohong kepada saya?
3. Pdt. Billy Graham memiliki prinsip dalam pelayanannya tidak akan bertemu, bepergian dan makan sendiri dengan wanita mana pun, kecuali dengan istrinya sendiri.
4. Tokoh pembela iman Kristen, Dr. Ravi Zacharias melibatkan rekan sepelayanannya untuk ikut campur dalam pergumulan pribadinya. Seluruh jadwal pelayanannya diatur oleh istrinya karena area tersebut sangat vital bagi seorang Ravi yang jam terbangnya sangat tinggi. Beliau tidak pernah bepergian sendiri tanpa rekan sepelayanan yang selalu mengetahui keberadaan dirinya 24 jam sehari.
Hal ini tidak berarti bahwa para pemimpin yang namanya saya sebutkan di atas akan setia dalam pelayanan sampai akhir hidupnya. Tidak ada jaminan seperti itu. Saya percaya kesetiaan seorang pemimpin dalam pelayanan adalah anugerah Allah, walaupun peran usaha dan komitmen dari pemimpin itu sendiri tidak dapat diabaikan. Anugerah Allah selalu mendahului setiap pekerjaan baik yang kita lakukan. Diluar anugerah Allah, kita tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi yang ingin saya tekankan adalah bagaimana mereka bergumul dengan kelemahan-kelemahan diri sendiri dan berjuang dengan segala usaha untuk terhindar dari jerat nafsu dengan melibatkan orang Kristen lain untuk mengawasi diri mereka. Prinsip-prinsip kehidupan pelayanan mereka dapat kita tiru dan dapat diaplikasikan secara fleksibel sesuai dengan konteks pelayanan kita di gereja. Ini bukanlah sebuah rumusan, tetapi suatu langkah usaha menuju kepada hidup pemimpin yang berintegritas dan berdampak positif bagi kehidupan jemaat yang dilayani.
Gereja mengalami kemunduran dan tidak relevan bukan karena tata ibadahnya, musiknya atau teknologinya, walaupun hal-hal ini juga penting. Hal esensial yang menyebabkan gereja mengalami kemunduran dan kehilangan pengaruhnya terhadap dunia terutama karena para pemimpinnya tidak hidup sesuai dengan standar firman Allah, “cacat” karakter dan integritas. Pada zaman ini kita tidak kekurangan pengkhotbah dan pengajar yang baik, tetapi terutama kita kekurangan teladan hidup. Dunia membutuhkan orang-orang yang mampu berkata seperti Paulus, "Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus" (1 Korintus 11:1) dan “Ikutilah ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku” (2 Timotius 3:10). Kapan kita berani mengucapkan kalimat ini kepada jemaat yang kita layani? Kiranya Tuhan menolong kita. Amin. (By: Binsar)
CATATAN AKHIR:
1. Penjelasan lebih lanjut lihat Barbara Kellerman, Bad Leadership: What It Is, How It Happens, Why It Matters (Boston: Harvard Business School Press, 2004).
2. Sen Sendjaya, http://www.sabda.org/lead/_htm/memimpin_dengan_integritas.htm
3. Sen Sendjaya, “Kejatuhan Pemimpin Gereja dan Cara Pencegahannya” dalam The Integrated Life, ed. Panitia Festschrift Susabda STTRII (Yogyakarta: ANDI, 2006), 360-361.
4. Ibid., 350.
5. Ibid.
6. Bentuk Kalimat (Tenses) dalam bahasa Yunani yang digunakan Paulus dalam ayat ini adalah Imperatif Present Aktif , yaitu perintah yang harus terus-menerus dilakukan (bentuk present). Paulus memerintahkan Timotius untuk terus-menerus di sepanjang hidupnya mengawasi diri dan ajarannya.
7. Benny Solihin,”Naskah Khotbah: Anugerah Tuhan dan Kelemahan Seorang Pemimpin Kristen” dalam Jurnal Veritas Vol. 3 No. 2 (Malang: SAAT, Oktober 2002), 184.
8. Ibid., 187.
9. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Jonathan Edwards, seorang teolog dan tokoh kebangunan rohani Amerika pada abad ke-18 dalam buku karyanya yang berjudul Religious Affection yang membahas tentang tanda-tanda kerohanian yang sejati dan yang palsu/tidak memadai. Tulisan Edwards tersebut dianggap banyak para ahli sebagai buku “psikologi religius” terbesar pada masa itu yang sangat berpengaruh sampai masa kini.
10. Sendjaya, Kejatuhan Pemimpin Gereja, 359.
11. Ibid., 356-359.
No comments:
Post a Comment