Berikut ini adalah naskah khotbah yang pernah saya khotbahkan dalam pelayanan saya. Kiranya dapat menjadi berkat bagi kita semua...
Pada awal bulan Juni 2008 yang lalu, ketika saya nonton acara Buser di SCTV, diceritakan ada sebuah keluarga yang miskin, suami-isteri sedang bertengkar karena masalah ekonomi. Perang mulut terjadi terus-menerus, sampai akhirnya emosi sang suami tidak terkendali. Dengan kemarahan yang meluap-luap, sang suami lalu menyiramkan minyak tanah ke tubuh isterinya, kemudian dilemparkannya korek api yang menyala ke tubuh isterinya hingga terbakar. Untungnya, para tetangga segera menolong dan membawanya ke rumah sakit. Sekujur tubuh wanita itu terkena luka bakar. Sang suami kabur dari rumah dan sekarang sedang menjadi buronan polisi. Saudara-saudara, kisah nyata ini memberitahu kita bahwa seringkali kemiskinan membuat seseorang merasa hidup tercekik dan “gelap mata”.
Kisah lainnya adalah beberapa tahun yang lalu, saya pernah membaca sebuah koran. Di situ diceritakan tentang sepasang suami-istri yang sangat miskin dan tega membunuh anak putrinya yang berumur 8 tahun. Penyebabnya sangat sepele. Putrinya ini terus merengek dan menangis minta uang jajan, tetapi orang tua tidak punya uang saat itu, karena untuk makan sehari-hari pun susah. Karena anak putrinya ini terus menangis, akhirnya kedua orang tuanya kesal, jengkel, dan marah. Sang ayah memegang erat kepala putrinya itu, sedangkan si ibu mencekik leher anaknya sendiri sampai mati.
Selanjutnya, dalam acara Liputan 6 siang SCTV tanggal 8 Juli 2008 pernah ditayangkan, seorang ibu dan nenek yang tega menjual bayinya kepada orang lain seharga 500 ribu rupiah. Kadang-kadang karena kemiskinan orang bisa menjadi “gelap mata” dan melakukan hal yang kelihatannya tidak masuk akal demi mempertahankan kelangsungan hidup. Ketiga kisah nyata di atas, hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak tindakan kriminal yang terjadi akibat dipicu oleh kemiskinan. Inilah fakta memilukan yang terjadi dalam masyarakat kita.
Saudara-saudara, jika kemiskinan seringkali membuat seseorang hidupnya tertekan dan merasa tercekik, maka tidak heran banyak orang beranggapan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan itu sendiri. Uang adalah segala-galanya. Kesimpulan ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa seluruh perjalanan hidup manusia membutuhkan uang dari lahir sampai meninggal dunia. Pada saat seseorang lahir, baik di rumah sakit atau di rumah, hal itu butuh uang. Membesarkan anak-anak butuh uang. Makin tinggi jenjang pendidikan anak, maka uang yang dibutuhkan juga makin besar. Menikah butuh uang. Makan-minum membutuhkan uang. Sakit membutuhkan uang. Bahkan mati pun membutuhkan uang, baik dengan cara dikremasi atau dikubur. Banyak TPU di Jakarta, lokasi pemakaman harus diperpanjang setiap beberapa tahun sekali, ini juga butuh uang. Kalau tidak, maka pemilik TPU berhak membongkar kuburan tersebut jika tidak diperpanjang. Maka makin kuatlah kesimpulan kita, bahwa uang adalah segalanya, uang adalah sandaran hidup, bahkan banyak orang yang melangkah pada kesimpulan yang lebih jauh bahwa uang adalah hidup itu sendiri.
Tidak heran jika kita seringkali mengukur nilai hidup kita sendiri dan nilai hidup orang lain berdasarkan banyaknya uang dan harta yang dimiliki. Kita membangun nilai diri dan rasa percaya diri kita berdasarkan banyaknya harta yang kita miliki. Kita merasa, makin mahal mobil yang kita pakai, makin mewah rumah kita, makin bermerk baju dan handphone yang kita gunakan, maka kita merasa harga diri dan rasa percaya diri kita makin besar. Kita merasa lebih percaya diri jika memakai sepatu merk Bally daripada sepatu merk Bata. Kita membangun rasa percaya diri kita berdasarkan atribut-atribut fisik yang melekat pada diri kita, bukan berdasarkan pemahaman bahwa kita adalah makhluk mulia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
Handphone yang mula-mula digunakan untuk sarana komunikasi, sekarang berubah fungsinya menjadi simbol status diri seseorang. Jenis dan merk handphone dijadikan simbol status dan nilai diri seseorang. Mobil yang mula-mula digunakan untuk transportasi, sekarang mengalami pergeseran nilai, telah berubah menjadi lambang status sosial seseorang. Siapa orang itu diukur dari merk mobilnya, merk handphonenya, merk bajunya, merk sepatunya, dimana tinggalnya (di kawasan elit atau di wilayah kumuh), pokoknya seseorang diukur dari benda-benda fisik yang melekat pada dirinya. Sikap seperti ini dilakukan bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga terhadap orang lain.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita tidak boleh membeli barang mahal atau semua pakaian kita harus pakaian yang murah. Tetapi kita harus belajar membeli sesuatu lebih berdasarkan kebutuhan dan fungsinya, membeli barang bukan untuk pamer kekayaan, apalagi menjadikan barang itu sebagai ukuran harga diri kita.
Saya yakin penyakit cinta uang atau tamak akan uang, bukan hanya bisa dialami oleh orang-orang kaya, tetapi juga bisa terjadi pada orang-orang miskin. Saya masih ingat, ketika saya melayani Komisi Remaja di sebuah gereja. Ada seorang anak remaja putri yang pada saat itu duduk di bangku 3 SMA mensharingkan pergumulan yang sedang dihadapinya kepada saya. Remaja putri ini rencananya setelah lulus SMA akan langsung dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang pria kaya yang menjadi pilihan orang tuanya. Padahal remaja putri ini merasa tidak cocok dan belum mengenal dengan baik sang pria tersebut. Remaja putri ini dilahirkan dalam keluarga yang miskin. Dia adalah anak tunggal dalam keluarga itu. Sang ibu berpesan kepada puterinya itu: “Kalau cari suami, carilah suami yang kaya, yang penting warisannya banyak. Masalah cinta nomor dua, lama-lama cinta juga bisa tumbuh kalau sering bersama-sama. Kami orang tuamu sudah capek hidup susah, nggak enak jadi orang miskin itu. Tolong, angkatlah harga diri keluarga kita, Nak. Kamu mau kita hidup miskin terus seperti ini?”
Saudara-saudara, Allah bukanlah anti kekayaan atau anti materi. Hal yang dibenci Allah bukanlah harta kekayaan, tetapi sikap hati yang menjadikan harta dan uang sebagai sandaran hidup, sumber kebahagiaan. Perhatikan 1 Timotius 6:10 (TB LAI: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” NIV: “For the love of money is a root of all kinds of evil. Some people, eager for money, have wandered from the faith and pierced themselves with many griefs”). Di situ tidak dikatakan bahwa uang adalah akar dari segala kejahatan, tetapi cinta uanglah yang dikatakan sebagai akar segala kejahatan. Money is not the root of all evil, but the love of it is! Jadi, bukan uangnya yang salah, tetapi sikap hati kita terhadap uang itu. Sikap hati yang tamak akan uanglah yang menjadi akar berbagai kejahatan. Karena tamak akan uang, maka banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh uang dan kekayaan. Karena tamak akan uang, ada orang yang rela membunuh keluarganya sendiri. Karena tamak akan uang, ada orang yang rela menjual kehormatan dan harga dirinya. Karena tamak akan uang, ada orang yang rela mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dalam hidupnya, seperti korupsi, mengambil hak-hak orang lain, menggaji orang jauh di bawah standar kelayakan yang seharusnya.
Uang adalah ibarat sebuah pisau. Pisau itu dapat menjadi barang yang baik atau buruk bergantung bagaimana saudara dan saya menggunakannya. Pisau menjadi sesuatu yang baik jika digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat seperti mengupas buah, memotong daging, dst, tetapi pisau berubah menjadi “jahat” jika digunakan untuk membunuh atau mencelakakan orang lain. Demikian juga halnya dengan uang, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Seorang teolog dan penafsir Alkitab, Carl F. Henry pernah menyatakan, “Saya pikir Tuhan tidak memandang hina harta, justru Dia memberikannya kepada kita. Yang Tuhan pandang hina adalah penyalahgunaannya, dan Dia memberi pahala atas pengelolaan harta yang baik”.
Saudara-saudara, uang hanyalah sarana atau alat penunjang kehidupan, bukan tujuan kehidupan itu sendiri. Pada saat kita menjadikan pengejaran akan uang sebagai tujuan hidup, seluruh kompas hidup kita diarahkan ke sana, maka pada saat itu juga kita telah menjadi budak uang. Kita harus bisa membedakan antara mencari uang sebagai “sarana penunjang kehidupan” dengan “mencari uang sebagai tujuan akhir kehidupan”.
Pada tahun 1923 diadakan pertemuan penting para pengusaha kelas dunia yang kaya raya di Hotel Edgewater Beach di Chicago. Yang menghadiri pertemuan ini adalah 9 orang ahli keuangan/pengusaha yang paling berhasil di dunia saat itu, yaitu:
1. Charles Schwab, seorang konglomerat bisnis baja.
2. Howard Hopson, pengusaha gas terbesar dunia.
3. Leon Frazer, president dari Bank of International Settlements.
4. Jesse Livermore, pengusaha terbesar di Wall Street.
5. Richard Whitney, Presiden Bursa Saham New York.
6. Ivan Krueger, kepala dari monopoli terbesar dunia.
7. Arthur Cotton, spekulan gandum
8. Albert Fall, anggota kabinet Presiden Amerika Serikat
9. Samuel Insull, presiden perusahaan utility terbesar.
Namun, 25 tahun kemudian, setelah pertemuan itu, akhir hidup mereka begitu tragis. Tiga orang dari 9 orang pengusaha itu, mati bunuh diri, yaitu: Leon Fraser, Jesse Livermore, dan Ivan Krueger. Sedangkan enam orang lainnya:
1. Charles Schwab meninggal dalam keadaan bangkrut, hidup dengan utang selama 5 tahun sebelum kematiannya.
2. Samuel Insull meninggal sebagai buronan hukum dan tanpa uang sepeser pun di negeri asing.
3. Howard Hopson menjadi gila.
4. Arthur Cotton meninggal dalam keadaan bangkrut.
5. Richard Whitney masuk penjara Sing-Sing.
6. Albert Fall masuk penjara karena terlibat skandal keuangan dalam kabinet.
Kisah nyata di atas hanyalah sebagian kecil dari akhir hidup yang tragis dari orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada harta kekayaan, menjadi budak uang. Kesembilan orang di atas, belajar dengan sangat baik seni menjadi kaya secara materi, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang belajar bagaimana caranya hidup berbijaksana. Akhir hidup mereka begitu tragis dan memilukan hati, bukan karena kekayaan mereka, tetapi karena sikap hati mereka yang salah terhadap kekayaan. Mereka sebenarnya bukan tuan atas harta yang mereka miliki, tetapi mereka telah menjadi budak harta, sampai akhirnya keserakahan dan ketamakan akan harta itu menjerat dan menghancurkan diri mereka sendiri. Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Tuhan Yesus: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Lukas 12:15). Jadi, tidak benar jika ada orang yang berkata: “Kebahagiaan dapat dibeli oleh uang”, mungkin yang lebih tepat adalah: “Semua penderitaan dapat dibeli oleh uang”. Karena tamak akan uang, manusia jatuh ke dalam berbagai penderitaan dan pencobaan yang sebenarnya tidak harus dipikulnya jika dia mau hidup berbijaksana.
Saudara-saudara, dari kisah tragis kesembilan pengusaha di atas, kita belajar bahwa uang bukanlah segala-galanya. Uang tidak dapat membeli kepuasan dan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Mungkin kita bisa mengalami kepuasan dan kesenangan sesaat dengan banyaknya uang yang kita miliki, tetapi uang tidak dapat dijadikan sumber kepuasan hidup, apalagi sebagai sandaran dan jaminan hidup kita sepenuhnya. Itulah sebabnya, dalam 1 Timotius 6:17-19, rasul Paulus mengingatkan kita supaya tidak menyandarkan diri pada kekayaan yang bersifat sementara, melainkan bersandar pada Allah sendiri. Kekayaan dapat berubah-ubah, dapat hilang, dan sangat tidak menentu. Siapa yang menyangka kesembilan pengusaha kaya di atas, hidupnya berakhir dengan sangat tragis. Ternyata kekayaan mereka tidak dapat diandalkan untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran hidup akibat keserakahan mereka sendiri.
Jangan sombong dengan banyaknya harta yang kita miliki. Kita kaya di masa sekarang, belum tentu kekayaan itu dapat bertahan terus seumur hidup kita. Terlalu banyak kisah nyata yang membuktikan hal ini. Jangan menjadikan harta kekayaan kita sebagai ukuran nilai hidup kita. Sebaliknya, dalam 1 Timotius 6:18-19 itu, Paulus memerintahkan supaya kita kaya dalam kebajikan, kaya dalam kemurahan, dan suka berbagi dengan orang lain. Jika kita dikaruniai kekayaan, alangkah indahnya jika kita juga kaya dalam kebajikan dan kemurahan. Tetap hidup rendah hati di hadapan Allah dan sesama kita.
Dalam Pengkhotbah 5:9 dinyatakan: “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia-sia.” (ESV: “He who loves money will not be satisfied with money, nor he who loves wealth with his income; this also is vanity”). Uang tidak mungkin bisa memuaskan dahaga jiwa kita. Pada saat kita menjadi hamba/budak uang, kita akan selalu merasa terus belum cukup, belum cukup, dan belum cukup. Kita ingin terus “sedikit lagi”, “sedikit lagi”. Seperti yang pernah dialami oleh salah seorang industriawan Amerika dan “Sang Raja Minyak” yang terkaya di dunia, John David Rockefeller (1839 – 1937). Rockeffeler diperkirakan memiliki kekayaan jauh lebih besar daripada yang dimiliki oleh Bill Gates. Ketika Rockeffeler sudah hidup bergelimang harta, maka seseorang bertanya kepada dirinya: “Berapa banyak lagi harta yang ingin Anda kumpulkan?” Maka Rockeffeler menjawab: “Sedikit lagi”. Jawaban dia sungguh menarik bagi saya. Rockeffeler tidak mengatakan: “Sudah cukup”, tetapi justru dia merasa masih kurang, sehingga dia berkata: “Sedikit lagi”. Rockeffeler merasa belum puas, belum cukup dengan berlimpahnya harta yang sudah dimilikinya. Kita mungkin aneh mendengarnya, tetapi inilah fakta yang dirasakan dan diungkapkan oleh orang yang telah menjadi budak uang.
Saudara-saudara, memang pada dasarnya manusia diciptakan bukan dipanggil untuk hidup menghambakan diri pada materi/uang, tetapi seharusnya menghambakan diri pada Allah, Sang Pencipta. Materi diciptakan untuk kepentingan manusia, dan manusia diciptakan untuk kemuliaan Allah. Pada saat kita melanggar ketetapan penciptaan Allah ini, maka akan berakibat fatal bagi diri kita. Sadarilah, kepuasan yang sejati hanya kita peroleh di dalam Allah sendiri, Sang Pencipta dan Penebus hidup kita. Seorang Bapa Gereja, Augustinus pernah menyatakan: “Di dalam diri manusia ada sebuah kekosongan. Kekosongan itu tidak mungkin bisa dipuaskan oleh apa pun juga [termasuk oleh uang], kecuali oleh Allah sendiri”. Jika kepuasan dan kebahagiaan hidup yang tertinggi sudah kita peroleh dari Allah dan di dalam Allah sendiri, maka kita tidak akan lagi mencari kepuasan dan kebahagiaan kita dari uang. Kita mungkin bekerja keras mencari uang, tetapi hati kita tidak pernah melekat pada uang. Kita mencari uang, tetapi tidak lagi diperbudak oleh uang, karena kita telah mengalami kepuasan di dalam Allah.
Saudara-saudara, John Wesley (1703 – 1791) seorang tokoh Kebangunan Rohani abad ke-18 dan pendiri aliran Metodis pernah menuliskan satu kalimat penting tentang kepemilikan: “Raihlah sebanyak mungkin apa yang bisa kau dapat, simpanlah sebanyak mungkin semua yang kamu bisa, dan berikan semua yang bisa kamu berikan.Uang tidak pernah lama bersamaku karena ia akan membakarku. Kulemparkan dari tanganku secepat aku bisa agar uang itu jangan sampai memperoleh jalan masuk ke hatiku.” Dalam kalimat John Wesley ini terkandung bijaksana yang luar biasa. Silakan kumpulkan sebanyak mungkin harta yang bisa kita kumpulkan, tetapi berikan dan gunakan semuanya untuk kemuliaan Allah. Silakan kumpulkan harta sebanyak mungkin, tapi ingat, jangan kita malah dijerat dan diperbudak oleh harta kita, jangan sampai hati kita melekat kepada harta itu, dan menjadikannya berhala hidup kita. Uang bukanlah segala-galanya. Hanya Tuhanlah segala-galanya dalam hidup kita. Berbahagialah orang yang hidup bersandar dan mengandalkan Tuhan. Amin. (Binsar)
No comments:
Post a Comment