Efesus 4:31 (TB LAI) Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan,
pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala
kejahatan.
Efesus 4:32 Tetapi hendaklah kamu
ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni,
sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
4:31 Segala
kepahitan, amarah, dendam, kebencian, dan fitnah, buanglah dari antara kamu,
demikian juga segala bentuk sikap yang melukai perasaan orang lain.
4:32 Sebaliknya,
hendaklah kamu baik hati, penuh belas kasihan, dan saling mengampuni seorang
terhadap yang lain, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Dalam
surat 1 Yohanes 3:15 dikatakan, “Setiap
orang yang membenci saudaranya adalah seorang pembunuh manusia”. Yesus
dalam Khotbah di Bukit, dalam Matius 5:21-22 juga menegaskan hal yang sama,
waspadalah dengan pembunuhan yang kita lakukan di dalam hati.
“Membunuh”
bukan hanya berarti kita membunuh orang secara fisik, mengambil nyawa orang
lain. Kita bisa juga melakukan pembunuhan di dalam hati, pembunuhan di dalam
pikiran, yaitu ketika kita membenci orang yang seharusnya kita kasihi.
Kebencian yang menyala, dendam, kepahitan, kedengkian, dan kemarahan yang tidak
terkendali terhadap sesama adalah bentuk-bentuk pembunuhan di dalam hati. Kita dapat
membunuh perasaan orang lain melalui caci maki, penghinaan yang kasar, yang
melukai hati sesama kita. Kita lupa siapa sesama kita. Sesama kita manusia
adalah gambar dan rupa Allah. Jika kita menghina manusia, ciptaan Allah, maka kita
sebenarnya sedang menghina Allah, Penciptanya.
Kita
harus jujur di hadapan Tuhan, saudara dan saya mungkin pernah melakukan
pembunuhan di dalam hati. Pada saat kita begitu benci, dengki dengan seseorang.
Apa yang ada dalam pikiran kita? Mungkin dalam hati kita berkata, “Gue ngelihat mukanya aja muak rasanya.
Mudah-mudahan elu cepat mati deh”. Kita caci maki orang itu dalam hati
kita. Kita sumpahi orang itu dalam hati kita. Orang yang kita benci itu masih
hidup, masih ada, masih exist, tetapi
dalam pikiran kita, kita anggap orang itu sudah mati, sudah tidak ada lagi.
Itulah pembunuhan dalam hati.
Apa
untungnya kita memelihara kebencian dan kedengkian? Tidak ada! Kita makan pun
jadi susah. Tidur susah. Pikiran susah. Ketemu dengan dia susah. Kalau bisa kita
menghindari berpapasan dengan orang itu. Misalnya, kalau kita mau pergi ke
toilet. Ternyata orang yang kita benci itu baru keluar dari toilet, kita segera
menghindari orang itu biar tidak ketemu. Kita segera berbalik ke arah lain
untuk menghindar. Alangkah susahnya hidup ini. Sementara orang yang kita benci itu,
mungkin dia santai-santai aja tuh. Kita sendiri yang rugi. Pikiran dan emosi
kita terkuras habis hanya untuk memikirkan hal-hal yang tidak perlu sebenarnya.
Hidup ini sudah rumit, ditambah lagi dengan kebencian dan kepahitan, jadinya
hidup jauh lebih rumit. Pada saat kebencian melingkupi kita; kita bukan saja
telah berdosa kepada Tuhan, tetapi kita telah merugikan diri kita sendiri.
Kita harus sadar, musuh kita bukanlah
saudara-saudara seiman kita. Musuh kita bukanlah umat beragama lain yang
berbeda keyakinan dengan kita. Musuh kita bukanlah orang-orang yang melukai dan
menyakiti hati kita. Musuh kita adalah kebencian yang ada dalam diri kita
sendiri.
Saudara2,
janganlah kebencian, dendam, dan kepahitan kita pelihara dalam kehidupan kita,
termasuk dalam kehidupan bergereja. Kebencian, dendam, kepahitan, tidak akan pernah
menyelesaikan masalah, justru akan memperkeruh masalah dan membuat hidup ini
lebih berat.
Untuk mengalahkan kebencian dan
dendam, kita harus memberikan pengampunan dalam hidup ini. Namun sebelumnya,
saya akan memberikan beberapa pemahaman yang salah, konsep yang keliru tentang
pengampunan pada masa kini. Saya akan memberikan 3 diantaranya:
1.
Banyak orang beranggapan mengampuni
berarti kita mampu melupakan kesalahan orang lain (Forgiving is forgetting).
Ada orang yang beranggapan kalau kita benar-benar
sudah mengampuni seseorang, maka kita harus melupakan kesalahan orang itu.
Kalau kita masih ingat kesalahan yang orang lain lakukan kepada kita, berarti
kita belum sungguh-sungguh mengampuni. Ini pandangan yang keliru.
Manusia diciptakan dengan memiliki daya
ingat/memori. Kalau suami kita berselingkuh dan bersetubuh dengan wanita lain,
lalu suami kita itu bertobat dan kita sebagai istri mengampuni, mungkinkah kita
bisa melupakan pengkhianatan yang pernah dilakukan suami kita itu? Tentu tidak!
Karena ketidaksetiaan adalah masalah yang sangat sensitif dalam sebuah
pernikahan. Mengampuni berarti kita tidak menyangkali bahwa orang itu pernah menyakiti
kita, melukai hati kita, tetapi ingatan itu tidak membuat kita sakit hati,
dendam, atau benci lagi kepada orang itu. Ingatan itu tidak menjadi masalah
lagi bagi kita, ketika kita berelasi dengan orang yang sudah kita ampuni. Dulu
sebelum mengampuni, kita ingat kesalahan orang itu, dan timbul kebencian,
kepahitan, dan amarah dalam diri kita. Begitu kita mengampuni, kita juga tetap
masih ingat kesalahan yang diperbuatnya, tetapi kita sekarang telah terbebas
dari kepahitan, terbebas dari dendam, dan terbebas dari kebencian. Itulah arti
mengampuni.
2.
Ada yang beranggapan mengampuni berarti
kita mentoleransi kesalahan orang lain (Forgiving
is tolerance). Ini
juga pandangan yang salah.
Mengampuni bukan berarti kita mentoleransi
kesalahan orang lain, seolah-olah kesalahan orang lain itu bukanlah sebuah
masalah. Mengampuni bukan berarti membenarkan apa yang salah, bukan berarti
menutup mata terhadap kesalahan yang dibuat. Benar tetap benar, salah tetap
salah. Kasih dan pengampunan yang sejati bukan berarti kita mengabaikan
keadilan, kebenaran, dan kesucian.
Kita harus membedakan antara “kesalahan yang
diperbuat” dengan “orang yang bersalah”. Walaupun hal ini tidak mudah, karena
garis pemisah keduanya sangat tipis. Sama seperti Tuhan yang benci terhadap
dosa, tetapi mengasihi orang berdosa. Kita mengakui orang itu melakukan
kesalahan. Kita mengakui mungkin dia menghina kita. Tetapi orang yang melakukan
kesalahan itu tetap adalah manusia, makhluk yang mulia, objek kasih Allah, gambar
Allah yang harus kita hargai, terlepas kesalahan yang dia lakukan.
Pada saat kita mengampuni, yang kita toleransi
adalah “orangnya”, bukan “kesalahan yang diperbuatnya”. Mengampuni berarti kita
memberikan kesempatan kepada orang itu untuk bertobat, untuk memperbaiki
kesalahannya. Sama seperti Tuhan dengan panjang sabar memberikan kesempatan
kepada kita untuk bertobat, untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Memang pengampunan menjadi tidak mudah tatkala
kita bertemu dengan orang yang bersalah, tetapi tidak merasa dirinya salah,
merasa diri paling benar. Ini memang sesuatu yang sangat menjengkelkan kita.
Tetapi kita dipanggil untuk terus berdoa dan mengingatkan orang itu dengan
bijaksana, bukan malah memelihara kebencian dalam diri kita.
3.
Ada yang beranggapan mengampuni berarti
membebaskan orang dari hukuman atau konsekuensi yang harus dipikulnya.
Dalam hubungan antar manusia, mengampuni
tidak berarti kita mengabaikan konsekuensi yang harus dipikul oleh orang yang
bersalah. Zakheus, sang pemungut cukai, sangat mengerti prinsip ini ketika dia
bertobat. Ketika bertobat dan menerima pengampunan dari Tuhan Yesus; Zakheus siap
mengganti kerugian dari orang yang pernah dia peras, bahkan dia akan ganti
empat kali lipat. Dalam Lukas 19:8, Zakheus berkata kepada Yesus: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan
kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan
kukembalikan empat kali lipat.” Banyak penafsir Alkitab yang mengatakan
ketika Zakheus melakukan komitmennya ini, dia menjadi jatuh miskin. Bayangkan,
memberikan setengah harta milik kepada orang miskin dan mengganti 4 kali lipat
uang dari orang yang pernah dia peras. Ini jumlah sangat besar! Tetapi Zakheus
siap menanggung semua itu. Dia rela melakukan semua itu, karena dia mengerti
apa artinya menerima pengampunan dari Tuhan Yesus.
Jadi kalau ada karyawan telah
mencuri uang perusahaan, misalnya 5 juta, lalu dia mengaku salah, menyesali
perbuatannya, tetapi tidak mau mengembalikan uang yang sudah dicurinya itu, dan
tidak siap untuk menerima hukuman/sanksi dari perusahaan, maka orang itu tidak
sungguh-sunggh bertobat. Itu pertobatan palsu!
Dalam Efesus 4:32, pengampunan Allah
yang kita terima di dalam Kristus menjadi dasar perintah supaya kita mengampuni
orang lain. Dalam Doa Bapa Kami, kebutuhan manusia akan pengampunan ditempatkan
Yesus pada posisi kedua setelah kebutuhan makan dan minum. Manusia bukan saja
butuh makan dan minum, tetapi juga butuh pengampunan dalam hidupnya. Dalam Doa
Bapa Kami dikatakan, “dan ampunilah kami
akan kesalahan kami seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada
kami” (Matius 6:12). Kalimat ini bukan berarti Allah mengampuni kita oleh
karena kita juga mengampuni orang lain. Bukan berarti untuk mendapatkan
pengampunan, kita harus mengampuni orang lain. Kita diampuni oleh Allah semata-mata
karena kemurahan dan belas kasihan-Nya terhadap kita, bukan karena jasa kita.
Tetapi yang Yesus maksudkan dalam doa ini adalah jika kita tidak mau mengampuni
orang lain, maka kita sebenarnya tidak mengakui betapa besarnya pengampunan
Allah bagi kita. Kita tidak menghargai dan meresapi nilai dari pengampunan
Allah. Sikap tidak mau mengampuni orang lain memperlihatkan bahwa kita adalah
orang yang keras hati, tidak ada penyesalan, tidak ada pertobatan, tidak kehancuran
hati sebagai orang berdosa yang sudah terlebih dahulu mengalami pengampunan
yang tak terbatas dari Allah.
Padahal dosa dan kesalahan yang kita
lakukan terhadap Allah jauh lebih besar, jauh lebih banyak, jauh lebih sering,
jika dibandingkan dengan kesalahan yang orang lain perbuat terhadap diri kita.
Mungkin diantara kita ada yang berkata, “Pak,
Bapak tidak tahu sih betapa sakitnya hati saya dihina dan dilukai oleh orang
itu. Betapa sakitnya hati saya difitnah dan diperlakukan kasar oleh orang itu.”
Saya tahu luka hati itu begitu dalam, tidak mudah dihapus begitu saja. Saya
tidak ingin mengecilkan masalah yang saudara hadapi. Tetapi kita harus sadar,
betapapun sakitnya hati kita akibat dilukai dan dihina orang lain, semua itu
tetap jauh lebih kecil jika dibandingkan kita sudah menyakiti hati Tuhan. Pernahkah
kita mencoba menghitung, selama kita sekian puluh tahun hidup di dunia ini sampai
sekarang, kira-kira berapa kali kita sudah berdosa kepada Tuhan, baik melalui
hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan kita? Mungkin tidak terhitung. Berapa
kali kita telah menyakiti hati Tuhan? Mungkin tidak terhitung. Berapa kali kita
minta pengampunan dari Tuhan? Mungkin tidak terhitung. Jika Allah sedemikian
murah hati kepada kita, mengampuni kita dengan pengampunan yang tidak terbatas,
mengapa kita justru membatasi pengampunan kita kepada orang lain? Mengapa kita
tidak mau mengampuni kesalahan orang lain? Betapa tidak adilnya kita pada diri
sendiri! Betapa tidak fair-nya diri
kita! Jika kita sadar betapa besarnya kesalahan kita kepada Allah, tetapi Dia
masih mau mengampuni kita, maka kesalahan-kesalahan orang lain bukan lagi
menjadi penghalang bagi kita untuk mengampuni. Jika kita tidak mau mengampuni
kesalahan saudara-saudara seiman kita, apalagi mereka sudah bertobat, dan minta
maaf kepada kita, maka kita adalah orang yang egois, yang berpusat pada diri
sendiri, yang melihat segala sesuatu menurut ukuran kita, bukan ukuran Allah. Allah
memberikan perintah kepada kita untuk mengampuni, perintah ini mengingatkan
kita, supaya kita terus-menerus sadar bahwa kita adalah orang-orang berdosa
yang sudah terlebih dahulu menerima pengampunan tanpa batas dari Allah.
Dalam pelayanan dan hidup bergereja, kita pasti
pernah dilukai dan melukai orang lain. Kadang-kadang perasaan kita dilukai oleh
saudara-saudara seiman kita, tetapi kadang-kadang kita juga, mungkin dengan
sadar atau tidak sadar melukai orang lain. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jangan
lupa, gereja adalah kumpulan orang2 berdosa yang telah diselamatkan oleh Tuhan.
Gereja bukanlah kumpulan malaikat, gereja bukan kumpulan orang yang sempurna,
yang tidak bisa berbuat dosa lagi, sehingga tidak mungkin ada persekutuan tanpa
gesekan, tidak ada persekutuan yang bebas konflik, walaupun kita sudah berusaha
mencegah terjadinya konflik. Orang berdosa berkumpul dengan orang berdosa di
dalam gereja, pasti ada konflik. Tetapi cara berpikir kita juga harus seimbang.
Jangan kita terlalu menekankan natur keberdosaan kita (sinful nature). Kita bukan sekedar orang-orang berdosa yang
dikumpulkan dalam gereja ini. Betul kita orang berdosa, masih bisa berbuat dosa
selama kita hidup dalam dunia ini. Tetapi kita adalah “orang-orang berdosa yang
telah dibaharui dan diselamatkan oleh Tuhan”. Berarti ada kekuatan dan anugerah
Allah yang memampukan kita untuk mewujudkan persekutuan yang indah. Persekutuan
yang indah bukan berarti tidak ada gesekan, tidak ada konflik, atau tidak ada
masalah di dalamnya. Tetapi sebuah persekutuan yang mempraktikkan kebenaran
firman Tuhan, sebuah persekutuan yang mempunyai tujuan yang sama, untuk
bersama-sama melayani Allah dan sesama. Dalam persekutuan, hidup bergereja,
kita belajar memberi dan menerima, belajar mengampuni dan diampuni. Kita
belajar memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan. Tanpa
pengampunan dan kasih, persekutuan yang indah tidak mungkin terwujud. Hanya
luka, dendam, dan kebencian yang terus kita bawa dalam pelayanan kita.
Saudara2, kalau kita mungkin merasa ada sesuatu
yang kurang dalam gereja kita, maka langkah penting yang harus kita lakukan
adalah belajar menuntut diri kita untuk lebih dahulu mengasihi, jangan menunggu
orang lain untuk memulai hal itu. Mulailah dari diri sendiri untuk memberikan
kontribusi atau perbaikan yang positif bagi gereja.
Saya ingat dengan perkataan seorang dosen saya: “Kalau kamu ingin mencari sahabat baik,
setelah kamu cari kemana-mana tidak ketemu, maka yang terbaik adalah mulailah
dari diri kamu sendiri untuk menjadi sahabat baik bagi orang lain. Maka mulai
hari itu, ada “satu” sahabat baik di dunia, yaitu dirimu sendiri.” Kita
menuntut orang lain untuk menjadi sahabat baik buat kita, tetapi alangkah
indahnya jika kita yang terlebih dahulu menuntut diri untuk menjadi sahabat
baik bagi orang lain. Kita menuntut orang untuk memahami diri kita, tetapi
alangkah indahnya jika kita yang terlebih dahulu menuntut diri sendiri untuk
memahami orang lain.
Mulailah dari diri kita sendiri untuk mengasihi
orang lain, untuk mengasihi gereja ini. Alangkah indahnya jika semua jemaat
memiliki pola pikir seperti itu, mulai menuntut diri sendiri untuk lebih dahulu
mengasihi orang lain. Mulai terlebih dahulu menuntut diri sendiri untuk
mengampuni orang lain, bukan saling menunggu karena gengsi. Ini memang tidak
mudah, sangat sulit. Ketika kita mengampuni, seringkali hati kita berontak
untuk melakukannya, apalagi jika luka hati itu begitu dalam. Itulah sebabnya
seringkali pengampunan bukanlah “tindakan sekali jadi, langsung beres”, tetapi lebih
kepada sebuah “proses”. Kita harus menanggalkan kepahitan dan kebencian itu
berkali-kali, sebelum akhirnya kita dibebaskan sepenuhnya.
Ketika kita mengampuni, berarti kita sedang
menyatakan kemurahan dan anugerah kepada orang lain. Pada saat kita tidak
mengampuni, kita kehilangan sifat kemurahan dan belas kasihan dalam diri kita,
bahkan kita akan kehilangan banyak hal dalam hidup ini. Ketika kita mengampuni,
kita sedang menaburkan perdamaian dalam hidup ini. Tapi ketika kita tidak
mengampuni, kita akan terus menaburkan kebencian dan pertikaian yang tidak ada
habis-habisnya. Sekarang pilihan ada di tangan kita. Kita mau hidup dalam
pengampunan atau tidak. Mau tetap hidup terpenjara dalam kebencian atau hidup
dalam kelegaan dan kebebasan. Mau hidup dalam dendam atau hidup dalam anugerah.
Mau hidup dalam kepahitan atau sukacita. Salah satu
ciri, tanda orang yang makin dewasa rohaninya adalah orang itu akan lebih cepat
mengampuni. Pikirkan baik-baik. Dan marilah kita terus berdoa kepada
Tuhan, supaya kemurahan dan belas kasihan-Nya memenuhi hati kita, sehingga kita
dimampukan untuk hidup saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus
sudah terlebih dahulu mengampuni kita dengan pengampunan yang tak terbatas.
Amin.