Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24)
Berikut ini adalah bahan Pemahaman Alkitab yang pernah saya sampaikan di sebuah gereja. Bahan ini adalah salah satu topik dari serangkaian topik tentang Christian Spirituality Series yang pernah saya bawakan. Semoga menjadi berkat....
Pendahuluan
Leo Tolstoy pernah menyatakan, “Banyak orang yang berambisi ingin mengubah dunia, tetapi terlalu sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri”. Selanjutnya, William Barclay pernah menyatakan, ”Salah satu tugas besar yang sering terabaikan dalam kehidupan Kristen adalah evaluasi diri (self-examination), dan mungkin hal ini sering diabaikan karena merupakan latihan yang merendahkan diri kita.”
Ketika saya membaca kedua kalimat di atas, saya merenung dalam hati. Iya, benar juga. Kita perlu pergi ke dokter untuk melakukan general check-up terhadap kesehatan kita, untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan kita, bagaimana kadar gula darah kita, tekanan darah kita, kondisi jantung kita, kolestrol, dll, untuk mengetahui apakah kondisi tubuh kita sehat atau tidak. Dunia pendidikan dan dunia kerja juga sangat menyadari pentingnya evaluasi, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Namun, mengapa saya tidak melakukan hal itu terhadap kerohanian saya? Di sekolah, diadakan berbagai macam evaluasi, berupa ulangan-ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir, dan sebagainya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga mengevaluasi dirinya, apakah target sekolah sudah tercapai atau tidak. Perusahaan-perusahaan melakukan evaluasi terhadap kinerja karyawannya. Perusahaan juga mengevaluasi dirinya apakah sudah berjalan dengan baik atau tidak, apa kendala-kendala yang dihadapinya. Evaluasi dilakukan dalam usaha untuk melakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Kita juga mungkin menyusun target-target dan rencana-rencana dalam hidup kita. Kira-kira umur berapa mau menikah. Kira-kira mau punya anak berapa. Kira-kira kapan bisa punya rumah sendiri. Kira-kira dalam jangka 5 tahun ini berapa banyak uang yang mau kita tabung dan mau digunakan untuk apa, dst. Kita punya rencana. Punya target-target dalam hidup ini, punya evaluasi kerja.
Tetapi sayangnya, hal yang sangat penting itu jarang sekali kita lakukan terhadap kerohanian kita. Kita jarang sekali mengevaluasi kerohanian kita. Kita tidak pernah menyusun target-target dan rencana-rencana untuk pertumbuhan rohani kita. Kerohanian kita berjalan apa adanya tanpa ada evaluasi yang serius. Paling-paling kita cuma merenung perjalanan hidup kita pada saat kita merayakan Ulang Tahun atau Tahun Baru. Itu pun juga cuma evaluasi pada kulitnya saja, tidak mendalam dan menyeluruh. Kita mungkin tidak pernah mencatat satu demi satu, hal-hal apa yang seharusnya kita perbaiki dalam diri kita. Namun kalau dalam pekerjaan, karir, mungkin kita ada catatan, hal-hal apa yang harus kita perbaiki. Ini berarti, ada sesuatu yang salah dalam perjalanan kerohanian kita.
Itulah sebabnya, jangan heran, kita menemukan ada banyak orang Kristen, mungkin termasuk diri kita, yang sudah puluhan tahun jadi orang Kristen, mungkin tiap minggu ke gereja, mungkin terlibat aktif dalam pelayanan gereja, ikut seminar sana dan sini, mungkin sudah jadi majelis, bahkan sudah menjadi Hamba Tuhan; namun kerohaniannya masih seperti anak kecil. Ciri utama anak kecil adalah dia cenderung egosentris, dia ingin selalu dirinya menjadi pusat perhatian. Melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang diri sendiri. Sulit menempatkan diri pada posisi atau perasaan orang lain. Mudah tersinggung. Sulit bersikap bijak terhadap perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat selalu dianggap sebagai serangan atau perlawanan terhadap dirinya. Anak kecil selalu mau menang sendiri. Sudah punya mainan sendiri, pingin ngambil mainan temannya sendiri. Kita perlu memeriksa diri kita secara teratur di hadapan hadirat Allah.
Apakah Dasar Alkitab tentang Pemeriksaan Diri?
· Mazmur 139:1, 23-24; 2 Korintus 13:5-7; 1 Timotius 4:16
Dalam Mazmur 139: 23-24, Pemazmur seolah-olah ingin berkata, “Tuhan, Engkau mengenal aku dengan sempurna, tidak ada sesuatu pun dalam diriku yang tersembunyi di hadapan-Mu. Oleh sebab itu, jika Engkau melihat ada sesuatu yang salah dalam diriku, beritahukanlah hal itu kepadaku, ya Tuhan.” Pemazmur menginginkan hubungan/keintiman yang lebih dalam dengan Allah, keinginan ini begitu kuat, lebih daripada keinginan tentang apapun dalam dunia ini.
Doa-doa kita kebanyakan berisi permohonan-permohonan yang hanya berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani. Tetapi kita jarang sekali berdoa, bergumul dengan serius di hadapan Tuhan dan berkata: “Tuhan, sudah sekian tahun saya jadi orang Kristen, mengapa saya lebih mudah melihat kesalahan orang daripada kesalahan diri sendiri? Mengapa saya sulit untuk mengampuni kesalahan orang lain? Mengapa saya merasa benar sendiri? Mengapa gairah dan kerinduan saya akan Allah masih dangkal?” Kalimat-kalimat doa seperti itu hanya lahir dari hati orang-orang yang mau dengan rendah hati memeriksa dirinya di hadapan hadirat Allah. Doa pemeriksaan diri adalah bentuk doa yang sangat menyukakan hati Tuhan.
Bagaimana cara Allah menyelidiki diri kita? J.I. Packer dalam bukunya, Praying (2006), bab 5 (Prayer Checkup) menyatakan, ada 2 cara Allah menyelidiki kita. Pertama, Allah menggunakan firman Tuhan melalui kuasa Roh Kudus untuk membawa kita kepada kehidupan yang lebih kudus. Allah menegur dosa-dosa kita, menginsyafkan kita akan dosa-dosa kita, membersihkan kita dengan firman-Nya. Allah menyelidiki kita melalui firman-Nya. Kedua, Roh Kudus membentuk pertanyaan-pertanyaan dalam hati kita yang harus kita jawab. Pertanyaan-pertanyaan mengenai motivasi dan sikap kita dalam melakukan sesuatu, tujuan-tujuan kita yang tersembunyi yang mungkin orang lain tidak ada yang tahu, namun Allah mengetahuinya. Allah seperti Konselor yang sedang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membedah hati kita. Kalau konselor di dunia masih bisa kita tipu, tetapi Allah tidak.
Apakah Pemeriksaan Diri Itu?
Adele Ahlberg Calhoun dalam Spiritual Disciplines Handbook (2005) menyatakan, “Pemeriksaan diri (self-examination) adalah sebuah proses dimana Roh Kudus membuka hati kita dan menyingkapkan keadaan diri kita yang sesungguhnya di hadapan Allah”. Pemeriksaan diri di hadapan hadirat Allah merupakan salah satu disiplin rohani yang penting, tetapi terabaikan pada masa kini. Pemeriksaan diri selalu melibatkan pengakuan dosa, dimana Roh Kudus menolong kita untuk melihat siapa diri kita sesungguhnya (the real me), dan melihat dosa-dosa kita dari sudut pandang Allah, bukan dari sudut pandang diri sendiri. Seringkali ada dosa-dosa yang kita anggap remeh, kita toleransi, karena semua orang juga melakukan hal itu, dianggap biasa. Kita menjadi tidak bisa atau kehilangan kepekaan dalam merasakan kepedihan hati Tuhan atas dosa-dosa yang kita lakukan. Pemeriksaan diri membawa kita kepada transformasi hidup, perubahan hidup, hidup yang makin diperbarui makin serupa Kristus, hidup yang makin dikuduskan.
Pemeriksaan diri bukan sekedar di dalamnya ada pengakuan dosa, tetapi kita menggumuli dengan serius, bagaimana caranya supaya kita bisa keluar dari dosa tersebut. Apa langkah-langkah konkret yang harus kita lakukan untuk tidak mengulanginya lagi.
Pengakuan dosa pribadi kita harus bersifat spesifik, bukan bersifat general. Tidak cukup hanya mengaku dosa, “Tuhan, saya telah berdosa kepada-Mu melalui hati, perkataan, dan perbuatan saya”. Kita harus merinci dosa-dosa kita dalam doa pengakuan dosa itu. Makin spesifik pengakuan dosa kita, makin objektif kita melihat diri sendiri. Tujuannya adalah untuk membangunkan kesadaran diri kita (awareness) betapa seriusnya dosa di hadapan Tuhan.
Mengapa Kita Perlu Secara Teratur Melakukan Pemeriksaan Diri di Hadapan Allah?
1. Karena natur kita telah rusak oleh karena dosa, kita mempunyai potensi yang luar biasa untuk menipu diri sendiri (self-deception).
Dalam Yeremia 17:9-10 dikatakan: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.”
Richard Foster mengawali bukunya Celebration of Disciplines dengan sebuah kalimat yang sangat menyentak saya, “Superficiality is the curse of our age.” (Superfisialitas adalah kutukan di zaman kita). Kita hidup di era yang superfisial, era kosmetik, era plastik. Kita mengenakan berbagai “topeng” untuk menutupi diri kita sebenarnya, yaitu the real me. Kita pura-pura berdoa, pura-pura produktif bekerja, pura-pura aktif melayani, pura-pura peduli dengan orang lain, pura-pura cinta Tuhan. Terus-menerus berpura-pura, padahal kita melakukan semua itu bukan untuk kemuliaan Tuhan, tetapi untuk kemuliaan diri sendiri. Apakah betul kita sudah sungguh-sungguh mencintai Tuhan?
2. Karena di dalam keberdosaan kita, kita memiliki penyakit rohani yang disebut “rabun dekat” secara rohani (Lihat Matius 7:1-5).
"Rabun dekat" di sini maksudnya adalah kita sulit untuk melihat dan menemukan dosa-dosa kita sendiri, tetapi kita paling mudah dan sangat cepat dalam melihat dosa-dosa orang lain. Kita sangat peka dan sensitif dengan kesalahan orang lain, tetapi kadang-kadang tidak peka dengan kesalahan diri sendiri. Kita sangat jelas bisa melihat kesalahan dan dosa orang lain, tetapi kita “kabur” melihat dosa-dosa sendiri. Kita seringkali suka meneropongi dosa-dosa orang lain, sampai-sampai lupa atau kurang mencermati kehidupan kerohanian kita sendiri.
Seringkali tanpa sadar, kita menerapkan standar ganda dalam relasi dengan orang lain. Kita menerapkan standar dan tuntutan yang sangat tinggi terhadap orang lain, tetapi kita menurunkan standar itu bagi diri kita sendiri. Kesalahan orang lain kita kecam habis-habisan, tetapi kalau kita melakukan kesalahan yang sama atau yang bobotnya lebih berat, kita begitu mudah memaafkan diri sendiri, kita begitu tolerir dengan dosa sendiri. Melihat ke luar diri, tanpa diimbangi melihat ke dalam diri sendiri adalah sesuatu hal yang sangat membahayakan kehidupan rohani kita.
Daud pernah mengalami penyakit “rabun dekat” ini. Daud yang membunuh Uria untuk mendapatkan Batsyeba, istrinya. Pada waktu nabi Natan memberikan sebuah perumpamaan untuk menegur dosa Daud. Daud tidak sadar, tidak peka bahwa Natan sebenarnya sedang menegur dosanya. Kita semua sudah tahu ceritanya. Justru, Daud berkata: “Demi Allah yang hidup, orang kaya yang telah mengambil anak domba betina dari si miskin itu, harus dihukum mati, karena ia tidak mengenal belas kasihan.” Tetapi pada saat itu, nabi Natan berkata: “Daud, engkaulah orang itu!” (Baca 2 Samuel 12:1-7).
Kadang-kadang kita juga bisa seperti Daud, yang kehilangan kepekaan terhadap dosa-dosa kita sendiri yang sebenarnya menjijikkan di mata Allah. John Calvin pernah menulis satu kalimat, “Orang yang kudus, bukanlah orang yang tidak dapat berbuat dosa lagi, tetapi orang kudus adalah orang yang makin memiliki kepekaan terhadap dosa-dosa diri sendiri, bahkan dosa-dosa yang terkecil sekalipun.” Saya setuju dengan pernyataan Simon Chan dalam bukunya Spiritual Theology bahwa “kita dapat melakukan kesalahan yang fatal tanpa memiliki kepedihan hati nurani.” Jika ada dosa-dosa tertentu yang belum kita sadari dan akui di hadapan Allah, maka hal itu membuat kepekaan rohani kita makin berkurang.
Kalau penyakit rabun dekat secara rohani ini makin parah dan tidak diatasi, maka lama-kelamaan dapat membawa kita kepada kemunafikan, kita buta dengan keadaan diri kita yang sesungguhnya (self-blindness). Martin Luther pernah berkata, “Bukti ultimat/tertinggi dari orang berdosa (the ultimate proof of sinner) adalah kita tidak sadar bahwa kita sedang berdosa”.
Apa Saja Metode Yang Bisa Digunakan untuk Memeriksa Diri Kita?
Seorang teolog, J.I. Packer, dalam bukunya Praying (2006), bab 5 (Prayer Checkup) menyatakan, “Tokoh-tokoh Kristen selama berabad-abad, mulai dari Bapa-Bapa Gereja (abad 1-5), tokoh-tokoh Reformasi, Puritan, Katolik Roma, Wesleyan, dan tokoh-tokoh Gereja Ortodoks Timur; mereka semua sepakat mengenai pentingnya secara teratur memeriksa diri demi kesehatan rohani.” Orang-orang Puritan biasanya melakukan pemeriksaan diri pada Sabtu malam, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi Sabat (hari Minggu).
1. Bercermin pada Tujuh Dosa Maut (the seven deadly sins)
Berdasarkan catatan sejarah, misalnya, Bapa-Bapa Gereja, seperti Augustinus, melakukan pemeriksaan dirinya melalui menelusuri 7 dosa maut yaitu: (1) kesombongan (2) kemarahan (3) hawa nafsu (4) iri hati (5) ketamakan (6) kemalasan (7) kerakusan. Bagaimana keadaan diri kita tentang dosa-dosa tersebut?
Kesombongan ditempatkan sebagai dosa yang pertama. Bapa Gereja, Augustinus menyatakan, “Initium ominis peccati est superbia” (The beginning of all sin is pride). Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena mereka tidak mau bergantung penuh lagi pada Allah. Manusia berdosa menolak untuk bergantung pada Allah. Dalam hubungan dengan orang tua, makin dewasa kita, maka kebergantungan kita dengan orang tua seharusnya makin berkurang. Tetapi dalam kerohanian, makin dewasa rohani seseorang, maka tingkat kebergantungannya pada Allah harus makin besar.
David W. Gill, dalam bukunya Becoming Good (2000), menyatatakan, “Sifat yang suka mendominasi adalah kesombongan. Kita bisa sombong karena pengetahuan yang kita miliki, kita berpikir kita sudah mengetahui segala sesuatu, dan tidak mau belajar dari orang lain. Orang yang sombong biasanya sangat dominan dalam berbicara, tetapi miskin dalam hal mendengar. Selalu ingin perkataannya didengar dan diperhatikan oleh orang lain, tetapi sulit untuk mendengar dan memperhatikan perkataan dan pendapat orang lain. Kesombongan membutakan diri kita tentang apa yang kurang pada diri kita.”
2. Bercermin Melalui Sepuluh Perintah Allah
Tokoh Reformasi abad 16, Martin Luther, melakukan pemeriksaan diri melalui Sepuluh Perintah Allah. Hukum ke-1: Apakah Allah menjadi pusat hidup saya hari ini? Hukum ke-2: Apakah ada berhala dalam hidup saya? Diri sendiri, uang, pekerjaan, dll? Hukum ke-3: Apakah kita menghormati nama Allah dalam hidup keseharian kita? Alan Redpath, dalam bukunya Law and Liberty (Hukum Taurat dan Kebebasan), menyatakan,“Berdoa, tetapi tidak berbuat; percaya, tetapi tidak menaati; memuji Tuhan, tetapi dalam hati berontak, adalah tindakan yang menyalahgunakan nama Allah.” Hukum ke-4: Apakah kita menghormati dan menguduskan hari Sabat? Hukum ke-5: Apakah kita menghormati orang tua kita? Dan seterusnya.
3. Journaling Confessions (bersifat pribadi)
Dalam Alkitab dicatat kisah bangsa Israel dalam hubungan mereka dengan Allah. Kisah yang berisi masa-masa dimana mereka setia dan tidak setia kepada Tuhan. Jurnal adalah catatan kisah pribadi kita dalam hubungan kita dengan Allah. Kita sedang membuat sejarah hidup kerohanian kita sendiri. Kita membentuk identitas diri kita dengan Allah. Jurnal berbeda dengan diary (buku harian) yang sering dibuat oleh orang-orang untuk menuangkan curahan isi hatinya. Jurnal berisi “koleksi” atau kumpulan dari pikiran, perkataan, dan perbuatan kita ketika berdialog dengan diri sendiri. Kita mencoba melihat diri kita sendiri dari sudut pandang Allah. Melalui kegiatan ini kita mengungkapkan pengalaman dan perasaan-perasaan kita ke dalam kata-kata yang konkret. Hal ini membuka kesempatan kepada Allah untuk berbicara pada kita. Point dari journaling adalah mengungkapkan isi hati kita dengan jujur, sehingga membantu kita lebih dapat melihat keadaan diri kita sesungguhnya dengan lebih jelas. Di dalamnya mengandung unsur pemeriksaan diri, penyingkapan dosa-dosa di hadirat Allah dan sekaligus menyatakan kebutuhan akan Allah untuk merestorasi, memulihkan hidup kita.
Misalnya, pada suatu hari itu kita pernah marah kepada seseorang. Kita perlu mengungkapkan perasaan-perasaan dan meninjau kembali pengalaman-pengalaman kita itu, sikap kita ketika marah. Mengapa kita marah? Apa motivasi kita? Apakah kemarahan itu membawa kita pada dosa?
4. Pemeriksaan Diri oleh Allah (versi J.I. Packer)
J.I. Packer, dalam bukunya Praying (2006), bab 5 (Prayer Checkup), memberikan beberapa kriteria untuk mendeteksi sejauh mana kondisi kerohanian kita dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada diri sendiri untuk dijawab secara jujur di hadapan hadirat Allah:
1. Periksalah iman kita (Checkup our faith)
· Apakah kita sungguh-sungguh mengenal Allah dengan benar? Apakah kita mengetahui apa yang seharusnya kita ketahui tentang Allah dan mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah?
· Apakah iman kita membawa kedamaian di hati kita, damai dengan Allah melalui pengampunan, damai di dalam berbagai keadaan melalui bersandar kepada Allah, damai dengan sesama karena melalui iman kita mengasihi mereka?
· Apakah kita memiliki iman yang teguh di tengah-tengah tekanan dan krisis hidup?
2. Periksalah pertobatan kita (Checkup our repentance)
· Sebuah kehidupan yang bertobat adalah kehidupan penyangkalan diri. Apakah kita sudah hidup dalam penyangkalan diri?
3. Periksalah kasih kita (Checkup our love)
· Seberapa besar kasih kita kepada Allah dan sesama kita?
· Apakah kita peduli dengan kebutuhan sesama kita? Apakah berbelas kasihan terhadap sesama menjadi kesukaan kita?
· Apakah doa-doa kita berfokus pada kehendak dan kemuliaan Allah? Apakah kita suka mendoakan kebutuhan orang lain diluar jam-doa doa bersama dijadwalkan gereja?
· Apakah kita mudah memberikan diri kita, mudah memberi waktu dan uang kita untuk kebutuhan orang lain?
4. Periksalah kerendahan hati kita (Check up our humility)
J.I. Packer: “Humility is honest realism and realistic honesty”.
Menurut Packer, kerendahan hati berakar dalam sebuah kesadaran:
· Kita begitu kecil dan berdosa di hadapan Allah.
· Kita begitu lemah dan tidak mampu untuk mengontrol dan memastikan masa depan kita, karena seluruh hidup kita ada dalam kedaulatan Allah.
· Dalam keberdosaan kita, sejak lahir kita memiliki daya tarik yang kuat terhadap kebahagiaan dan kesuksesan menurut ukuran dunia, bukan menurut ukuran Allah.
· Kesadaran bahwa kita egois, lebih mementingkan diri sendiri.
· Kesadaran bahwa kita lebih berfokus pada apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita daripada apa yang Allah pikirkan tentang diri kita (what others think of us).
· Kesadaran bahwa setiap kesempatan yang kita miliki dalam hidup ini bukanlah hak yang harus kita miliki, tetapi semua itu adalah pemberian karunia Allah.
J.I. Packer: “Genuine humility is not only Godward in direction, it also colors all relationships with other humans.”
· Apakah kita bersukacita dan antusias melayani jika kita dipercaya untuk melayani bidang yang “kecil” di gereja, atau pelayanan-pelayanan yang bersifat di belakang layar/tidak kelihatan?
· Apakah pikiran-pikiran kita dipenuhi anugerah Tuhan terhadap “orang-orang sulit” yang sering kita temui dalam hidup kita? [Ingat: Yesus Kristus tetap membasuh kaki Yudas Iskariot dengan penuh cinta kasih, bukan dengan kasar].
· Apakah kita menghargai dan menghormati orang lain dalam pikiran, perkataan dan tindakan kita? Atau suka menghina dan merendahkan orang lain dalam pikiran, perkataan, dan tindakan kita?
· Apakah kita secara teratur memberikan penghargaan dan pujian terhadap pekerjaaan orang lain? (Do we regulary credit for their labor?)
5. Periksalah kebijaksanaan/hikmat (wisdom) kita.
· Apakah kita makin mengenal apa yang disukai dan yang berkenan di hadapan Allah?
Apakah kita sudah mempraktikkan Yakobus 1:5, meminta hikmat kepada Allah untuk menjalani hidup yang berkenan di hadapan-Nya? (Yakobus 1:5, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit ,maka hal itu akan diberikan kepadanya.”)
· J.I. Packer: “We pray with wisdom when we pray for wisdom to see what hopes, expectations, petitions to God and plans for ourselves and others wisdom now suggest.”
Kesimpulannya: Periksalah fokus hidup kita! (Checkup our focus in life!). Periksalah prioritas-prioritas hidup kita! Apakah seluruh agenda hidup kita sudah dikendalikan dan dipimpin oleh Allah? (Binsar)