Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang sangat mendambakan sebuah hidup yang sukses. Sukses dalam karir, studi, pernikahan, dan dalam segala hal yang dikerjakan dalam hidup ini. Namun, apakah arti sesungguhnya dari “kesuksesan” itu? Bagi saya, hal ini adalah salah satu pertanyaan mendasar yang sangat penting untuk dipikirkan oleh orang-orang Kristen. Oleh karena, pemahaman kita tentang arti “kesuksesan” sangat memengaruhi tujuan hidup dan cara kita menjalani kehidupan ini. Bagi mereka yang sudah mempunyai anak, maka pemahaman tentang kesuksesan turut memengaruhi pola pendidikan dan tuntutan orang tua terhadap anak-anak mereka.
Arti kata “sukses” (berhasil), dapat ditinjau dari sudut pandang manusia/duniawi (antroposentris), atau Allah (Theosentris). Definisi “success” menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary, seventh edition, 2005, dapat diringkas sebagai berikut:
1. Berhasil mencapai sesuatu yang diinginkan atau sesuatu yang dituju.
2. Menjadi kaya atau terkenal, atau mendapatkan sebuah posisi atau status sosial yang tinggi.
Jika kita merujuk pada pengertian nomor 1 di atas, maka “sukses” menjadi sebuah hal yang relatif, karena tergantung pada cara pandang seseorang. Dalam pengertian ini, tercapainya tujuan atau cita-cita hidup seseorang menjadi ukuran sebuah kesuksesan. Jika ada orang yang tujuan hidupnya adalah untuk menjadi orang yang kaya-raya dan terkenal, lalu hal itu terwujud, maka dia menganggap dirinya adalah orang sukses. Namun, jika ada orang yang tujuan hidupnya untuk melayani orang-orang yang miskin dan hal itu terwujud, maka dia merasa berbahagia dan menganggap dirinya sukses, walaupun mungkin dia tidak mendapatkan upah uang dari pekerjaannya itu. Masalah dari definisi pertama berdasarkan kamus Oxford di atas adalah siapa sebenarnya yang berhak mendefinisikan tujuan hidup seseorang di dalam dunia ini? Apakah hal itu bergantung pada selera masing-masing orang? Dalam hal ini, Alkitab menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah, sehingga tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah memuliakan Allah sendiri (Yesaya 43:7). Manusia diciptakan untuk kepentingan Allah, dan bukan diciptakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini berarti, pada dasarnya manusia tidak berhak untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri terlepas dari rencana dan tujuan Allah yang semula menciptakan manusia.
Selanjutnya, definisi kedua dari “sukses” menurut kamus Oxford diukur berdasarkan apa yang telah dimiliki seseorang, baik kekayaan, popularitas, dan status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Inilah pandangan populer dari masyakarat kita tentang arti “kesuksesan”. Pada umumnya, menurut ukuran duniawi, seseorang dikatakan “sukses” jika mempunyai:
1. Kekayaan
2. Popularitas, seperti artis terkenal, pembicara terkenal yang diundang di sana-sini.
3. Kedudukan/kekuasaan, seperti menteri, direktur, manajer, atau pemimpin yang punya hak untuk mengatur dan memerintah orang lain.
4. Prestasi yang dapat dibanggakan dalam bidang tertentu, seperti juara Olimpiade Matematika, juara kelas, juara Indonesian Idol, dan sebagainya.
Namun, Alkitab menentang definisi kesuksesan seperti itu. Ketika kita tamak terhadap uang, posisi, kekuasaan, dan popularitas, maka kita akan tergoda untuk menghabiskan seluruh energi hidup kita untuk memeroleh semua itu, sehingga akan mengalihkan perhatian kita untuk mencari Allah dalam hidup ini. Manusia diciptakan bukan untuk menjadi hamba uang, popularitas, kekuasaan, dan prestasi, tetapi untuk menjadi hamba Allah, dalam pengertian hidup memuliakan dan melayani Allah dalam seluruh aspek hidupnya. Jika kesuksesan diukur hanya berdasarkan kekayaan, popularitas, kekuasaan, dan prestasi yang diperoleh, maka orang-orang seperti Yesus Kristus, rasul Petrus, dan rasul Paulus tidak dapat dikategorikan sebagai orang-orang sukses. Hidup mereka penuh dengan penderitaan, penghinaan, dan penolakan dari banyak orang. Mereka tidak memiliki kekayaan materi yang dapat dibanggakan. Mereka hanya memiliki kekayaan rohani, yaitu hidup yang menghambakan diri bagi kemuliaan Allah dan pelayanan bagi sesama manusia. Nilai hidup mereka bukan ditentukan oleh berapa banyak (harta, kuasa, dll) yang mereka punya, tetapi apa yang telah mereka berikan bagi sesama.
Apakah arti sesungguhya dari “sukses” di mata Allah? Life Application Bible dalam bagian Bible Topics mengenai “succes” memberikan beberapa kriteria, yaitu:
1. Beriman kepada Yesus Kristus.
Dalam Markus 8:36-37, Yesus Kristus berkata: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Segala sesuatu (harta, kedudukan, kekuasaan, dll) yang kita miliki dalam dunia ini hanya bersifat sementara, dan semua hal itu tidak dapat membeli keselamatan jiwa kita. Tanpa iman kepada Yesus Kristus, maka segala sesuatu yang kita miliki dalam hidup ini adalah sia-sia belaka. Kepuasan hidup yang sejati dan hidup kekal hanya diperoleh di dalam dan melalui Yesus Kristus. Itulah sebabnya, Alkitab mengecam keras orang-orang yang menyandarkan hidupnya pada hal-hal yang tidak menentu dan hanya bersifat sementara, seperti kekayaan, kedudukan, dan kuasa.
2. Melayani Allah dan sesama manusia.
Mengasihi Allah dengan segenap keberadaan diri kita dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri merupakan inti Hukum Taurat (Matius 22:37-40). Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia adalah 2 hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kasih kepada Allah harus diwujudnyatakan melalui kasih kepada sesama manusia. Dengan kata lain, seberapa besar kasih kita kepada Allah terlihat dari seberapa besar kasih kita kepada sesama manusia (Bandingkan dgn. 1 Yohanes 3:17-18; 4:20-21). Orang yang hidupnya mengasihi Allah dan sesama adalah orang yang sukses di mata Allah, karena hal itu merupakan sesuatu yang sangat menyukakan hati Allah.
3. Menaati firman Allah.
Dalam Lukas 11:28, Tuhan Yesus berkata: “Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya” (TB LAI). Tidak pernah Yesus mengatakan bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang punya harta yang banyak, kekuasaan, dan kedudukan yang tinggi. Bukan berarti harta, kuasa, dan kedudukan tidak bernilai sama sekali, tetapi semua itu hanyalah alat/sarana untuk melayani Allah dan sesama, sehingga harus digunakan di dalam ketaatan kepada firman Allah, bukan digunakan dengan sesuka hati untuk memuaskan keinginan diri sendiri.
Blaise Pascal pernah menyatakan, “The measure of our love God is our obedience” (Ukuran kasih kita kepada Allah adalah ketaatan kita). Seberapa besar kasih kita kepada Allah, diukur dari seberapa besar ketaatan kita kepada Allah dan firman-Nya. Surat 1 Yohanes 2:3 dengan tegas menyatakan: “Kalau kita taat kepada perintah-perintah Allah, itu tandanya bahwa kita mengenal Allah” (BIS).
4. Menempatkan Allah sebagai yang terutama dalam hidup ini, dengan melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Allah.
Tidak ada tujuan hidup yang lebih tinggi dan mulia selain daripada hidup memuliakan Allah. Rasul Paulus menyatakan: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31). Kita harus melakukan segala sesuatu dengan segenap hati untuk Tuhan sendiri, dan bukan untuk mencari pujian manusia (Kolose 3:23). William Tyndale, seorang reformator Inggris menyatakan: “Tidak ada pekerjaan yang lebih baik selain pekerjaan untuk menyenangkan Allah; menuangkan air, mencuci piring, menjahit sepatu yang robek, atau menjadi rasul. Semua adalah satu; mencuci piring dan berkhotbah itu satu. Pekerjaan yang hebat, untuk menyenangkan Allah” (Paul Stevens, God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani, BPK Gunung Mulia, 2008, hal. 292).
Dengan demikian, dapat disimpulkan, secara sederhana, “orang yang sukses di mata Allah” adalah orang yang hidup memuliakan Allah, setia, dan taat kepada firman-Nya. Jika kita memahami kesuksesan dengan cara seperti ini, maka kesuksesan lebih tepat dilihat sebagai sebuah “journey” (perjalanan) daripada sebuah “goal” (tujuan) dalam hidup ini. Jika kita memandang kesuksesan sebagai sebuah perjalanan hidup, maka kita akan termotivasi untuk terus berjuang hidup lebih setia dan taat kepada Tuhan hari demi hari, walaupun mungkin dalam perjalanan itu ada kegagalan, tetapi kita tidak pernah berhenti untuk menyukakan hati Tuhan. Kesuksesan yang dilihat sebagai sebuah perjalanan hidup, bukan sebagai tujuan akhir, membawa kita untuk tidak pernah merasa puas diri dan sombong ketika telah mencapai prestasi tertentu, karena apa yang telah kita raih itu bukanlah klimaks (titik puncak) dari perjalanan hidup kita. Perjalanan dan kisah hidup kita belum selesai. Kesuksesan di masa lalu dan di masa kini, tidak menjamin kesuksesan di hari esok. Kita lulus “ujian hidup” di hari ini, tetapi belum tentu lulus “ujian” di hari esok. Demikian pula sebaliknya, kegagalan di masa lalu dan di masa kini, tidak menjamin bahwa kita pasti gagal di hari esok. Pada akhirnya Tuhan sendirilah yang menilai dengan sempurna segala sesuatu yang kita perbuat di dalam dunia ini. Hal ini akan membawa kita kepada sikap kerendahan hati dan kebutuhan untuk terus-menerus bergantung pada Tuhan.
Kisah hidup Yusuf merupakan kisah yang baik dalam membantu kita untuk memahami bahwa kesuksesan lebih ke arah sebuah perjalanan hidup daripada sebuah tujuan akhir. Jika kita menganggap kesuksesan sebagai tujuan akhir yang telah terwujud, maka orang-orang duniawi akan berpendapat bahwa Yusuf mencapai kesuksesan pada saat dia telah menjadi “penguasa kedua” di Mesir setelah Raja Firaun. Namun, Alkitab menyatakan bahwa Tuhan menyertai dan memberkati Yusuf, bukan hanya pada saat dia telah mencapai kedudukan yang tinggi di Mesir, tetapi jauh sebelum hal itu terjadi, Tuhan telah membuat segala sesuatu yang dikerjakan oleh Yusuf menjadi berhasil/sukses. Ketika di rumah Potifar, Kejadian 39:3-4 mencatat: “Setelah dilihat oleh tuannya, bahwa Yusuf disertai TUHAN dan bahwa TUHAN membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya, maka Yusuf mendapat kasih tuannya, dan ia boleh melayani dia; kepada Yusuf diberikannya kuasa atas rumahnya dan segala miliknya diserahkannya pada kekuasaan Yusuf” (NIV: “When his master saw that the LORD was with him and that the LORD gave him success in everything he did...”). Bahkan ketika Yusuf berada di dalam penjara, Kejadian 39:23 kembali menegaskan penyertaan Allah terhadap Yusuf: “The warden paid no attention to anything under Joseph's care, because the LORD was with Joseph and gave him success in whatever he did“ (NIV).
Dengan demikian, Yusuf sukses di mata Allah, bukan hanya ketika dia sudah mencapai kedudukan yang tinggi di Mesir, tetapi di dalam keseluruhan perjalanan hidupnya yang penuh penderitaan menuju ke istana Mesir, Yusuf dipandang sukses oleh Allah, karena telah menyatakan kesetiaan dan ketaatannya kepada Allah. Di mata orang-orang duniawi, ketika Yusuf berada di penjara, dia dianggap tidak sukses, tetapi di mata Allah Yusuf adalah orang sukses, karena Yusuf tetap taat kepada Tuhan untuk tidak mau berzinah dengan istri Potifar (Kejadian 39). Sekalipun ketaatan Yusuf itu menggiring dirinya ke dalam penjara karena telah difitnah oleh istri Potifar. Kisah hidup Yusuf menjungkirbalikkan pandangan kebanyakan orang bahwa kesuksesan berarti hidup dalam kenyamanan, kelancaran, dan kemapanan.
Orang yang kaya dan berkedudukan tinggi, mungkin saja dia sukses di mata Allah, karena dia memeroleh kekayaan dan kedudukannya dengan cara yang benar, dan menggunakan semua itu untuk kemuliaan Allah dan pelayanan bagi sesama manusia. Namun, kita tidak boleh menyimpulkan sebaliknya, orang yang kaya dan berkedudukan tinggi, pasti sukses di mata Allah. Mengapa? Karena kita harus bertanya, apakah kekayaan dan kedudukan itu diperoleh dengan cara yang benar? Apakah semua itu digunakan untuk kemuliaan Allah dan pelayanan bagi sesama, atau hanya untuk memuaskan hawa nafsu diri sendiri? Ada orang yang memeroleh kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar, seperti korupsi, melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum, mengambil hak-hak orang lain, dan menindas orang lain. Kita tidak dapat mengklaim bahwa Tuhan menyertai dan memberkati kita, jika harta dan kedudukan yang kita miliki itu, diperoleh dengan cara yang tidak benar, yang bertentangan dengan firman Tuhan.
Kesuksesan bukan terutama diukur dari hasil yang telah kita capai, tetapi terutama diukur dari kesetiaan kita kepada Tuhan di dalam mengelola dan mengembangkan segala kepercayaan yang Tuhan berikan kepada kita. Setia dan taat kepada Tuhan bukan berarti kita pasif dan pasrah dengan segala keadaan dalam hidup ini, tetapi justru aktif berusaha sebaik-baiknya untuk menyelaraskan agenda hidup kita sesuai dengan agenda Tuhan. Orang Kristen dipanggil untuk tekun bekerja, bertanggung jawab, memiliki semangat juang hidup yang tinggi, dan merencanakan segala sesuatu sebaik mungkin di dalam tuntunan firman Allah. Almarhum Ibu Teresa pernah menyatakan “Allah memanggil kita untuk setia, bukan untuk memeroleh kesuksesan menurut ukuran duniawi.” Allah akan mengerjakan kehendak-Nya melalui usaha kita.
Kita dipanggil untuk bertumbuh secara maksimal dalam mengembangkan segala potensi dan talenta yang Tuhan berikan kepada kita. Perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30) mengingatkan kita bahwa bagi Allah, kesetiaan jauh lebih penting daripada hasil yang nampak. Dalam perumpamaan itu diceritakan, hamba yang memiliki 5 talenta, setelah mengusahakannya dengan baik, maka dia beroleh laba 5 talenta lagi. Demikian pula halnya, hamba yang memiliki 2 talenta, beroleh laba 2 talenta. Menurut penilaian duniawi, hamba yang memiliki laba 5 talenta lebih sukses daripada hamba yang memiliki laba 2 talenta, karena dari segi jumlah/kuantitas yang dihasilkan, maka hamba 5 talenta lebih banyak memberikan hasil daripada hamba 2 talenta. Namun yang menarik adalah pujian yang diberikan oleh sang tuan kepada kedua orang itu adalah sama, tidak ada beda sama sekali. Sang tuan mengatakan hal yang sama: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21, 23). Dengan demikian, kedua hamba itu sama-sama sukses di mata Allah karena telah mengerjakan bagiannya dengan sebaik-baiknya. Tuhan menuntut pertanggungjawaban sesuai dengan talenta yang diberikan-Nya kepada kita. Orang yang diberi banyak dituntut banyak, orang yang diberi sedikit dituntut sedikit. Dalam Lukas 12:48b, Tuhan Yesus berkata: “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” Hal ini adalah pola pertanggungjawaban yang adil dan proporsional.
Pada akhirnya, Tuhan sendirilah yang dapat menilai dengan tepat, apakah kita adalah orang yang sukses atau tidak di mata-Nya. Namun firman Tuhan dapat menjadi tempat kita bercermin untuk melihat seberapa besar kasih, kesetiaan, dan ketaatan kita kepada Allah. Alangkah indah dan bahagianya kita, ketika kita bertemu dengan Tuhan, maka Dia menyambut kita dengan tersenyum dan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan Tuanmu.” (Binsar)