Monday, October 31, 2011

Anugerah Demi Anugerah dalam Pernikahan Kami

Pernikahan saya dan Grace baru berumur sekitar 15 bulan. Masih sangat muda. Kalau Tuhan izinkan, maka perjalanan pernikahan kami masih sangat panjang. Masih banyak tantangan dan ujian di depan. Masih banyak PR yang juga harus kami kerjakan dalam hubungan pernikahan kami. Namun, saya sungguh merasakan, bisa memasuki usia pernikahan 15 bulan ini karena ada anugerah Allah yang menopang kami. Eben-haezer: sampai di sini Tuhan sudah menolong!
Saya ingin merenung dan melihat ke belakang perjalanan pernikahan kami. Dalam satu tahun pertama pernikahan kami, saya dan Grace tidak bisa berkumpul bersama-sama setiap hari. Ketika itu saya sedang menjalani masa praktik pelayanan satu tahun di salah satu gereja di Bandung, sedangkan Grace masih harus bekerja di salah satu sekolah Kristen di Jakarta. Praktik pelayanan satu tahun adalah tugas terakhir yang harus saya jalani setelah saya menyelesaikan semua kuliah saya di salah satu seminari di Jakarta. Ini adalah tugas terakhir yang harus saya selesaikan sebelum akhirnya saya diwisuda. Saya harus “meninggalkan” istri saya di Jakarta, sembilan hari setelah kami menikah. Baru saja kami menikah, akhirnya kami harus “berpisah” untuk sementara waktu.
Masih segar dalam ingatan saya, Senin, 9 Agustus 2010, pagi-pagi benar, Grace pamit akan berangkat kerja. Sementara di hari Senin itu juga, saya akan pergi ke Bandung untuk memulai praktik pelayanan satu tahun. Jujur, pada waktu itu, perasaan saya sepertinya belum siap untuk “berpisah” dengan Grace. Kami baru saja menikah. Baru saja selesai menjalani masa bulan madu kami, tetapi mengapa kami harus segera “berpisah”. Itulah yang berkecamuk di dalam hati saya. Namun, saya mencoba dengan lapang hati melepas Grace dan mengokohkan langkah kaki saya ke Bandung dengan keyakinan bahwa Tuhan pasti memberikan kekuatan kepada kami untuk melewati semua ini.
Selama saya praktik satu tahun di Bandung, saya hanya dua kali mengunjungi Grace di Jakarta. Walaupun pada waktu itu, ada kesepakatan antara pihak seminari dengan gereja tempat saya praktik, saya diberi kesempatan satu kali sebulan ke Jakarta (selama 2 hari) untuk bertemu dengan istri. Namun karena kondisi, kesempatan itu tidak selalu saya ambil. Pada akhirnya, Grace yang jauh lebih sering datang ke Bandung.
Biasanya Grace datang pada saat week-end. Jumat malam, dia tiba di Bandung, dan Minggu sore kembali lagi ke Jakarta. Namun, hari Sabtu dan Minggu adalah hari-hari yang cukup padat dengan jadwal pelayanan. Grace datang pada saat saya sedang sibuk-sibuknya dengan kegiatan pelayanan di gereja. Walaupun kualitas pertemuan itu belum ideal, kami bersyukur kepada Tuhan untuk kesempatan yang indah ini.
Biasanya Grace datang sebulan dua kali ke Bandung. Namun, kalau ada hari-hari libur lain, seperti libur Lebaran, Natal, Imlek, dan libur semester, Grace juga pasti datang ke Bandung. Pada saat-saat seperti itulah, kami sungguh menikmati kebersamaan lebih dari biasanya, karena masa libur yang cukup panjang. Mungkin, itulah salah satu “keuntungan” menjadi guru di sekolah, ada jadwal libur yang cukup banyak dan panjang!
Dalam satu tahun pertama pernikahan kami itu, walaupun kami belum bisa bersama-sama setiap hari, tetapi kami belajar untuk melihat semua ini sebagai sarana Tuhan untuk mendewasakan kami dan lebih menghargai pernikahan kami. Jujur, walaupun kadang-kadang, terlintas dalam pikiran dan terlontar dalam perkataan kami, mengapa hal ini harus kami alami, tetapi kami percaya bahwa Tuhan lebih besar dari kelemahan kami. Tuhan yang menggendong kami dengan tangan-Nya yang kuat dan penuh kuasa untuk melewati semuanya ini.
Akhirnya, tanggal 10 Agustus 2011 saya kembali ke Jakarta. Saya telah menyelesaikan praktik pelayanan satu tahun. Saat yang dinanti-nanti telah tiba. Sekarang saya dan Grace bisa berkumpul bersama-sama lagi setiap hari! Dalam kemurahan-Nya, pada tanggal 17 September 2011 yang lalu, saya juga telah diwisuda. Tuhan bukan hanya memimpin pernikahan saya, tetapi juga studi saya. Dia yang memanggil saya untuk menjadi hamba-Nya, Dia juga yang menolong dan menggenapi kehendak-Nya atas hidup saya. Tuhan sungguh luar biasa! Dia lebih besar daripada apa yang pernah saya bayangkan dan pikirkan.
Selama 15 bulan pernikahan kami, ada tantangan, pergumulan, dan konflik-konflik pernikahan yang kami hadapi. Namun kami juga merasakan ada pertumbuhan iman yang kami alami. Saya percaya, pernikahan Kristen adalah sekolah didikan Tuhan seumur hidup. Pernikahan adalah proses pembelajaran seumur hidup. Saya makin disadarkan bahwa pernikahan Kristen bukan sekadar untuk mengatasi rasa kesepian. Bukan sekadar untuk memenuhi hasrat biologis dan punya keturunan. Bukan sekadar hidup bersama dalam satu rumah. Bukan sekadar untuk bisa saling melengkapi antara pria dan wanita. Saya yakin, pernikahan Kristen terutama menjadi sarana yang Tuhan pakai untuk membentuk kita makin serupa dengan Kristus. Saya setuju dengan pernyataan Gary Thomas dalam bukunya berjudul Sacred Marriage (Pernikahan Kudus), “Allah merencanakan perkawinan bukan sekadar membuat kita bahagia, tetapi membuat kita lebih kudus. Pernikahan adalah disiplin spiritual yang dirancang oleh Allah untuk membantu kita mengenal Allah dengan lebih baik, mempercayai-Nya lebih penuh, dan mengasihi-Nya lebih dalam lagi”. Bagaimana dengan pernikahan kita? Apakah tujuan pernikahan kita? (Binsar)